Tuesday, November 24, 2009

[Personal Esai] Mamaku, 2

AKU percaya, tak ada yang lebih membahagiakan Mama selain ketika orang lain bicara tentang kebaikan anak-anaknya. Karena itu, bagiku, tak ada yang lebih utama selain membahagiakan Mama, dengan cara apapun yang bisa dilakukan oleh anak seusiaku waktu itu, dan aku menemukan banyak cara.


Sesekali aku suka azan di masjid. Aku paling suka azan subuh. Hening sekali rasanya, membayangkan suara azan kita mencapai relung-relung kampung. Membangunkan orang-orang untuk sembahyang. Yang selalu kubayangkan adalah mama mendengar azanku. Mama, setiap hari, jauh sebelum azan subuh sudah bangun untuk menyiapkan kue-kue, yang nanti pagi harinya kuantar ke warung-warung dan kujajakan keliling kampung.

"Kamu tadi azan ya?" Mama selalu bertanya begitu setelah aku pulang dari masjid salat subuh berjamaah, jika subuh itu aku azan. Dia kenal suaralui: suara anaknya. Sesungguhnya aku bukan muazin yang baik. Suaraku seperti kumbang dalam buluh. Rendah. Susah mencapai nada tinggi. Suara yang bagus - ini istilah mama - seperti kemiri ditampi di nyiru. Bergemerincing nyaring.

Mama selalu menceritakan jika di pengajian ada yang bertanya tentang aku - anaknya yang tiap pagi menjual kue. "Aku beli kuemu tadi pagi. Siapa itu anakmu yang jualan itu? Rajin dia ya, tak malu-malu," begitu kata Mama menirukan si penanya.

Pertanyaan-pertanyaan dan cerita-cerita kecil seperti itulah, yang bagiku menunjukkan betapa besar perhatiannya, yang kini kurasakan membuat aku jadi berani menghadapi masalah apapun dalam hidup kelak.

Satu hal yang tak pernah kulupakan adalah ketika suatu magrib, ketika Abah sedang tidak di rumah, Mama menggelar sajadah di rumah untuk kami sembahyang berjamaah. "Kan Abah tak ada. Siapa imamnya?" kata saya.

"Mama tidak boleh. Imam harus laki-laki. Kamulah yang jadi imam," kata Mama. Waktu itu saya masih SD, belum lagi disunat, dan tentu belum akil balig. Tapi, waktu itu aku sudah hafal semua bacaan salat. Mama tahu itu, karena di rumah, dia yang membantu aku menghafal. Dia yang memastikan aku sudah benar-benar hafal sebelum ujian hafalan di sekolah.

Aku tidak akan pernah melupakan itu. Peristiwa kecil yang sekian puluh tahun kemudian terus-menerus membentuk kesadaran bahwa aku adalah laki-laki, dan laki-laki adalah imam yang harus berani memimpin.(bersambung)