BAIK juga kita renungkan petikan wawancara Abdul Wachid BS dengan penyair D Zawawi Imron. Wawancara itu dilampirkan dalam kumpulan sajak "Bantalku Ombak, Selimutku Angin" (Ittaqa Press, Agustus 1996).
APAKAH menurut Anda sajak mampu berkomunikasi dalam arti mengubah kebekuan daya kritis sosial?
SAYA memahami sajak sebagai representasi diri penyairnya. Hal ini sangat terkait dengan keterbatasan penyair itu sendiri. Saya harus mengerti keterbatasan saya. Jadi, sajak posisinya bisa seperti ceramah agama, jika orang tertarik mendengarkannya kemudian melakukannya, ya silahkan. Tapi, paling tidak sajak kan sasarannya ialah lubuk hati manusia, karenanya, tugas sajak ya memberi kesegaran-kesegeran rohani kepada manusia. Kesegaran ini macam-macam bentuknya, bisa kesegaran iman, kemanusiaan, ataupun pencerahan batiniah. Dan ada pula yang memberi gelitikan-gelitikan menghibur. Di sini peran pembaca atau apresiator menjadi penting. Sajak Chairil Anwar, misalnya, menjadi tak ada artinya apa-apa di tangan pembaca yang daya apresiasinya rendah.
DALAM kerja sajak, Anda lebih banyak menghayati atau menemukan pengertiannya terlebih dahulu?
SAYA lebih banyak menghayati, meskipun juga berusaha untuk mengerti. Latar pendidikan saya, pengetahuan saya tentang filsafat hanya sepenggal-sepenggal. Tapi, bukan berarti tidak berfikir. Kalau toh pun kini banyak menulis di luar sajak, ini pun karena penghayatan terhadap sesuatu. Dengan penghayatan ini saja, saya tak menyesal, saya telah memilih pada akhirnya terhadap apa yan saya bisa tanpa tekanana, serta dengan itikad tidak merugikan orang lain. Bersikap begini setidaknya saya telah dapat membebaskan diri dari ancaman buldozer-buldoszer spritual, juga dari berhala-berhala di luar dan dalam diri saya.
BAGAIMANA vitalitas yang demikian itu terwakili?
YA, karena keakraban dengan alam sekeliling itu lama-lama terbangun dengan rasa cinta yang mendalam. Setiap sesuatu dari alam yang saya hayati terasa ada dialog. Dan dialog itu akhirnya membawa kita kepada Yang Takterumuskan, tapi kita menghayati-Nya.
DARI dialog itu juga menjadikan benda-benda dan alam menjadi mampu mewakii diri saya. Menyebut mereka dalam sajak, seakan memandang telunjuk ajaib yang menunjukkan bayang kasih dan rida Tuhan. Mereka menjadi personifikasi. Hidup. Memang, tak terlalu jelas dan bukan melahirkan dogma-dogma. Apakah diri saya yang melebur kepada benda dan alam, ataukah benda dan alam yang melebur ke dalam diri saya. Yang penting saya telah mengalami pemenuhan spiritual dalam begitu.
TERMASUK dalam pembahasaan pengalaman itu?
KATA-KATA dengan benda sudah saling menangkap, melebur, ah maaf, saya sulit menjelaskan....