Dingin tak tercatat
pada termometer
Kota hanya basah
DALAM puisi yang buruk mungkin kita akan menulis, "...betapa dingin suhu saat itu, cuaca di bawah nol derajat celcius. Seluruh kota basah..." Tetapi, penyair mencari pengucapan yang otentik atas dingin yang ia rasakan. Dingin itu dia tafsirkan. Bait berikutnya:
Angin sepanjang sungai
mengusir, tetapi kita tetap saja
di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
ANGIN yang mengusir? Kita mestinya menghindar dari hembusan angin yang dinginnya tak tercatat pada termometer. Dingin banget. Dalam bahasa puisi ini - bahasa yang melengkapi bangunan puisi ini - disebutkan angin mengusir. Tetatapi sang aku dalam puisi itu tak beranjak. Lihat bagaimana bait-bait dimainkan. Bagaimana pemenggalan kalimat jadi alat untuk memaksimalkan efek puitis. Ada perasaan terbata-bata. Gemeletuk dingin dari kalimat-kalimat yang putus dan tersambung lagi, sampai akhirnya dilengkapkan. Lalu ditutuplah puisi ini dengan semacam kesimpulan perasaan dari seluruh paparan sebelumnya:
Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?
1971
SEBUAH pertanyaan. Pertanyaan yang tak lazim. Yang hanya dimungkinkan apabila diajukan di dalam puisi. Tetapi, ketika bahagia itu dipertanyakan, justru semakin terasa bahwa bahagia itu ada. Pertanyaan itu bukan sebuah gugatan. Tapi sebagai ucapan syukur bagi Tuhan sang pemberi rasa bahagia itu. Semacam pertanyaan seorang anak kepada ayahnya yang baru saja memberi hadiah. "Ayah, kok saya dikasih baju baru, sih?"[hah]