Monday, October 4, 2004

[Ruang Renung # 91] Melirik Mata Pisau

PISAU, kapak, sepatu, botol parfum, celana, tumpukan pakaian adalah kata benda. Adalah benda-benda mati. Di dalam puisi kita boleh membuatnya jadi hidup. Mereka boleh kita bayangkan memiliki indra seperti kita. Tentu kita harus punya alasan untuk itu, dan alasan itu harus kita hadirkan dalam puisi kita, tanpa harus terasa kehadirannya. Biarlah dia ada lewat tafsir saja. Itulah tantangannya, itulah asyiknya. Mari kita lihat kerja penyair berikut ini.



Mata Pisau

Sajak Sapardi Djoko Damono



mata pisau itu tak berkejap menatapmu;

kau yang baru saja mengasahnya

berpikir: ia tajam untuk mengiris apel

yang tersedia di atas meja

sehabis makan malam;

ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.



1971




(Mata Pisau, Balai Pustaka; Cetakan Pertama 1982, Cetakan Keenam, 2000).



KEBETULAN bahasa sudah menyediakan bahan yang bagus untuk sajak ini. Kita memang menyebut bagian yang tajam pada pisau sebagai mata, bukan? Oleh penyair bahan ini diolah. Dihidupkan. Jadilah mata pisau yang tak berkejap menatapmu. Selebihnya adalah kalimat yang biasa. Pisau yang memang untuk mengiris apel. Apel yang tersedia di atas meja, sehabis makam malam.



BAHWA mata pisau itu kalau tajam tampak berkilat juga hal yang biasa. Tetapi penyair kemudian mengartikan itu sebagai kilasan pikiran sang pisau yang membayangkan urat lehermu, maka sekali lagi penyair sudah menunjukkan jerih payah kerja menyairnya. Dan dia berhasil.



RUH dari puisi ini adalah aroma pengkhianatan. Kamu yang mengasahnya justru ditatap tak berkejap dan dibayangkan urat lehernya. Memangnya, mau diapakan, sih? Ditetak? Disembelih? Ah, jangan disebutkan, biar itu menjadi bagian pembaca untuk membayangkannya. Mungkin juga, roh itu adalah kebosanan sang pisau yang selama ini hanya dipertajam untuk mengiris apel. Kita memang harus rajin merenungkan apa saja yang mungkin sedang dirudung rasa bosan. Lalu kita bantu dia menyusun sebuah pengkhianatan. Atau setidaknya menolong dia keluar dari rasa bosan. Atau mungkin kebosanan kita sendiri? Boleh juga, dan biasanya penyair pemula akan keasyikan bermain di situ. Tetapi, apapun semua jadi mungkin - antara lain - dengan menyairkannya.[hah]