Sajak Pablo Neruda
Pagi yang penuh dengan badai ganas
di hati yang kini musim panas.
Awan mengembara bagai sapu tangan putih perpisahan,
angin, bepergian, melambaikannya di segenap tangan.
Hati angin yang tak terbilang ada
berdebaran pada kebisuan cinta kita.
Seperti takdir dan orkestra, bersuara di antara pepohonan
seperti bahasa yang disesaki perang dan tembang.
Sehembus lekas angin membawa dedaunan mati
menangkis anak panah beruntuntun burung-burung.
Seombak angin menghembusnya telanjang dada
tanpa percik, ringan tapi ada, seperti api.
Kecupan-kecupannya pecah dan lalu tenggelam,
Menyerbu memburu ke pintu angin musim panas.
The Morning is Full
The morning is full of storm
in the heart of summer.
The clouds travel like white handkerchiefs of goodbye,
the wind, travelling, waving them in its hands.
The numberless heart of the wind
beating above our loving silence.
Orchestral and divine, resounding among the trees
like a language full of wars and songs.
Wind that bears off the dead leaves with a quick raid
and deflects the pulsing arrows of the birds.
Wind that topples her in a wave without spray
and substance without weight, and leaning fires.
Her mass of kisses breaks and sinks,
assailed in the door of the summer's wind.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Saturday, October 30, 2004
Nyaris Saja Melampaui Angkasa
Sajak Pablo Neruda
Nyaris saja melampaui angkasa, separo bulan
menautkan jangkar di antara dua pegunungan.
Bertukaran, malam melayah, si penggali mata.
Tengok, ada bintang-bintang terbanting di kolam.
Ada persimpangan duka antara dua mataku, dan lekas berlalu.
Menempa logam biru, malam bagi pertempuran kesunyian.
Hatiku bergulung bertukar, seperti roda-roda gila.
Gadis yang datang dari jauh, terbawa dari jauh,
sesekali kelebatmu menyambar di lengkung langit.
Gemuruh, badai guruh, puting beliung kemarahan,
kau memapas di atas hatiku tanpa terhentikan.
Angin dari pemakaman terbawa lari, merongsokkan,
menghamburkan akarmu yang tadinya lelap damai.
Pohon besar di sisian lain, sisiannya, terbantun.
Tapi kau, gadis tanpa awan, pertanyaan kabut, malai jagung.
Di belakang gunung-gunung malam, lily putih lautan api,
Ah, tak ada yang bisa kusebut lagi! Kau adalah segalanya.
Rindu yang mengiris dadaku berkepingan, inilah saatnya
melintasi ke jalan lain, mengelakinya, menghindar senyuman.
Badai mengubur lonceng-lonceng, pusaran lumpur penyiksaan,
kenapa menyentuhnya sekarang, kenapa memurungkannya.
Oh, ikuti saja jalan yang membawamu jauh dari segalanya.
tanpa nestapa, kematian, musim dingin menanti di sana
dengan matanya terbuka karena embun yang ada.
Almost Out of the Sky
Almost out of the sky, half of the moon
anchors between two mountains.
Turning, wandering night, the digger of eyes.
Let's see how many stars are smashed in the pool.
It makes a cross of mourning between my eyes, and runs away.
Forge of blue metals, nights of stilled combats,
my heart revolves like a crazy wheel.
Girl who have come from so far, been brought from so far,
sometimes your glance flashes out under the sky.
Rumbling, storm, cyclone of fury,
you cross above my heart without stopping.
Wind from the tombs carries off, wrecks, scatters your sleepy root.
The big trees on the other side of her, uprooted.
But you, cloudless girl, question of smoke, corn tassel.
You were what the wind was making with illuminated leaves.
Behind the nocturnal mountains, white lily of conflagration,
ah, I can say nothing! You were made of everything.
Longing that sliced my breast into pieces,
it is time to take another road, on which she does not smile.
Storm that buries the bells, muddy swirl of torments,
why touch her now, why make her sad.
Oh to follow the road that leads away from everything,
without anguish, death, winter waiting along it
with their eyes open through the dew.
Nyaris saja melampaui angkasa, separo bulan
menautkan jangkar di antara dua pegunungan.
Bertukaran, malam melayah, si penggali mata.
Tengok, ada bintang-bintang terbanting di kolam.
Ada persimpangan duka antara dua mataku, dan lekas berlalu.
Menempa logam biru, malam bagi pertempuran kesunyian.
Hatiku bergulung bertukar, seperti roda-roda gila.
Gadis yang datang dari jauh, terbawa dari jauh,
sesekali kelebatmu menyambar di lengkung langit.
Gemuruh, badai guruh, puting beliung kemarahan,
kau memapas di atas hatiku tanpa terhentikan.
Angin dari pemakaman terbawa lari, merongsokkan,
menghamburkan akarmu yang tadinya lelap damai.
Pohon besar di sisian lain, sisiannya, terbantun.
Tapi kau, gadis tanpa awan, pertanyaan kabut, malai jagung.
Di belakang gunung-gunung malam, lily putih lautan api,
Ah, tak ada yang bisa kusebut lagi! Kau adalah segalanya.
Rindu yang mengiris dadaku berkepingan, inilah saatnya
melintasi ke jalan lain, mengelakinya, menghindar senyuman.
Badai mengubur lonceng-lonceng, pusaran lumpur penyiksaan,
kenapa menyentuhnya sekarang, kenapa memurungkannya.
Oh, ikuti saja jalan yang membawamu jauh dari segalanya.
tanpa nestapa, kematian, musim dingin menanti di sana
dengan matanya terbuka karena embun yang ada.
Almost Out of the Sky
Almost out of the sky, half of the moon
anchors between two mountains.
Turning, wandering night, the digger of eyes.
Let's see how many stars are smashed in the pool.
It makes a cross of mourning between my eyes, and runs away.
Forge of blue metals, nights of stilled combats,
my heart revolves like a crazy wheel.
Girl who have come from so far, been brought from so far,
sometimes your glance flashes out under the sky.
Rumbling, storm, cyclone of fury,
you cross above my heart without stopping.
Wind from the tombs carries off, wrecks, scatters your sleepy root.
The big trees on the other side of her, uprooted.
But you, cloudless girl, question of smoke, corn tassel.
You were what the wind was making with illuminated leaves.
Behind the nocturnal mountains, white lily of conflagration,
ah, I can say nothing! You were made of everything.
Longing that sliced my breast into pieces,
it is time to take another road, on which she does not smile.
Storm that buries the bells, muddy swirl of torments,
why touch her now, why make her sad.
Oh to follow the road that leads away from everything,
without anguish, death, winter waiting along it
with their eyes open through the dew.
Thursday, October 28, 2004
Tiga Baris Cinta
Aku mau tenggelam dalam cinta yang menggenggam
tak ada lagi arus sungai, tak kita cari lagi jembatan
hanya tangan berpegangan. hanya kita berangkulan.
tak ada lagi arus sungai, tak kita cari lagi jembatan
hanya tangan berpegangan. hanya kita berangkulan.
Wednesday, October 27, 2004
Bayangan Mencair
: fotografi kegundahan
jika bukan tersebab basah disentuh lidah ombak,
tak kan tampak bayang di pantai: lantai batu itu.
jika bukan karena aku yang terdampar telanjang,
tak kan kucari wajahku pada bayang mencair itu.
jika tidak pada senja hitam, matahari nyaris silam,
hempas ombak itu tanpa suara. Laut yang diam.
kukira inilah fotografi kegundahan itu. Sehelai potret,
tanpa studio: ruang gelap membasuh selembar diriku.
jika bukan tersebab basah disentuh lidah ombak,
tak kan tampak bayang di pantai: lantai batu itu.
jika bukan karena aku yang terdampar telanjang,
tak kan kucari wajahku pada bayang mencair itu.
jika tidak pada senja hitam, matahari nyaris silam,
hempas ombak itu tanpa suara. Laut yang diam.
kukira inilah fotografi kegundahan itu. Sehelai potret,
tanpa studio: ruang gelap membasuh selembar diriku.
Pada Sebuah Senja di Langitku
Sajak Pablo Neruda
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jadi cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, bagiku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
In My Sky at Twilight
This poem is a paraphrase
of the 30th poem in
Rabindranath Tagore's
The Gardener
In my sky at twilight you are like a cloud
and your form and color are the way I love them.
You are mine, mine, woman with sweet lips
and in your life my infinite dreams live.
The lamp of my soul dyes your feet,
My sour wine is sweeter on your lips,
oh reaper of my evening song,
how solitary dreams believe you to be mine!
You are mine, mine, I go shouting it to the afternoon's
wind, and the wind hauls on my widowed voice.
Huntress of the depths of my eyes, you plunder
stills your nocturnal regard as though it were water.
You are taken in the net of my music, my love,
and my nets of music are wide as the sky.
My soul is born on the shore of your eyes of mourning.
In your eyes of mourning the land of dreams begins.
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jadi cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, bagiku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
In My Sky at Twilight
This poem is a paraphrase
of the 30th poem in
Rabindranath Tagore's
The Gardener
In my sky at twilight you are like a cloud
and your form and color are the way I love them.
You are mine, mine, woman with sweet lips
and in your life my infinite dreams live.
The lamp of my soul dyes your feet,
My sour wine is sweeter on your lips,
oh reaper of my evening song,
how solitary dreams believe you to be mine!
You are mine, mine, I go shouting it to the afternoon's
wind, and the wind hauls on my widowed voice.
Huntress of the depths of my eyes, you plunder
stills your nocturnal regard as though it were water.
You are taken in the net of my music, my love,
and my nets of music are wide as the sky.
My soul is born on the shore of your eyes of mourning.
In your eyes of mourning the land of dreams begins.
Cukup Dadamu Saja Buatku
Sajak Pablo Neruda
Cukup dadamu saja buat hatiku,
dan sayapku untuk kebebasanmu.
Apa yang tertidur di jiwamu kelak
bangun dari mulutku, ke surga menuju.
Padamu ada ilusi segenap hari-hari.
Kau datang seperti embun ke mangkuk bunga-bunga.
Ketika kau tiada, kau guyahkan kaki langit.
Seperti ombak: terbang, mengangkasa, selamanya.
Telah kusabdakan: kau bernyanyi di deru angin
seperti guruh pinus, seperti dentang tiang.
Seperti keduanya, engkau tinggi, berdiam,
dirudung murung. Kau: bagai pelayaran itu.
Kau libatkan segalanya seperti jalanan tua.
Kau dihuni gema-gema dan suara nostalgia.
Aku bangun ketika burung terbang dan beralih benua
aku dan burung yang telah lama tidur di jiwamu.
Your Breast is Enough
Your breast is enough for my heart,
and my wings for your freedom.
What was sleeping above your soul will rise
out of my mouth to heaven.
In you is the illusion of each day.
You arrive like the dew to the cupped flowers.
You undermine the horizon with your absence.
Eternally in flight like the wave.
I have said that you sang in the wind
like the pines and like the masts.
Like them you are tall and taciturn,
and you are sad, all at once, like a voyage.
You gather things to you like an old road.
You are peopled with echoes and nostalgic voices.
I awoke and at times birds fled and migrated
that had been sleeping in your soul.
Cukup dadamu saja buat hatiku,
dan sayapku untuk kebebasanmu.
Apa yang tertidur di jiwamu kelak
bangun dari mulutku, ke surga menuju.
Padamu ada ilusi segenap hari-hari.
Kau datang seperti embun ke mangkuk bunga-bunga.
Ketika kau tiada, kau guyahkan kaki langit.
Seperti ombak: terbang, mengangkasa, selamanya.
Telah kusabdakan: kau bernyanyi di deru angin
seperti guruh pinus, seperti dentang tiang.
Seperti keduanya, engkau tinggi, berdiam,
dirudung murung. Kau: bagai pelayaran itu.
Kau libatkan segalanya seperti jalanan tua.
Kau dihuni gema-gema dan suara nostalgia.
Aku bangun ketika burung terbang dan beralih benua
aku dan burung yang telah lama tidur di jiwamu.
Your Breast is Enough
Your breast is enough for my heart,
and my wings for your freedom.
What was sleeping above your soul will rise
out of my mouth to heaven.
In you is the illusion of each day.
You arrive like the dew to the cupped flowers.
You undermine the horizon with your absence.
Eternally in flight like the wave.
I have said that you sang in the wind
like the pines and like the masts.
Like them you are tall and taciturn,
and you are sad, all at once, like a voyage.
You gather things to you like an old road.
You are peopled with echoes and nostalgic voices.
I awoke and at times birds fled and migrated
that had been sleeping in your soul.
Lebah Putih
Sajak Pablo Neruda
Lebah putih, kau mendengung di jiwaku, mabuk madu,
angin kibasan sayapmu melingkarkan asap perlahan.
Akulah dia yang tak berharapan, kata tanpa suara gema.
Akulah dia yang kehilangan, dan mendapatkan segalanya.
Pada tambang kapal penghabisan, berderit rinduku.
Pulauku kering, kau di sana bunga mawar terakhirku.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Biarkan ceruk matamu mengatup. Di sana malam gugup.
Ah tubuhmu, patung yang ketakutan. Sempurna telanjang.
Matamu, mata yang dalam, di mana melecut malam.
Lengan dingin bunga-bunga, dan selingkar mawar.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Ada kesunyian itu, tersebab engkau tak ada.
Hujan turun. Angin laut memburu camar tersasar.
Maka tampak payudaramu bagai siput putih.
Kupu-kupu bayang singgah tidur di perutmu.
Di jalanan basah, air melangkah dengan kaki telanjang.
Di pohon itu, dedaunan demam menggerutu.
Lebah putih, ketika kau tak ada pun, kau berdengung di jiwaku
Dalam waktu kau hadir lagi, tak kasat mata, tak bersuara.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
White Bee
White bee, you buzz in my soul, drunk with honey,
and your flight winds in slow spirals of smoke.
I am the one without hope, the word without echoes,
he who lost everything and he who had everything.
Last hawser, in you creaks my last longing.
In my barren land you are the final rose.
Ah you who are silent!
Let your deep eyes close. There the night flutters.
Ah your body, a frightened statue, naked.
You have deep eyes in which the night flails.
Cool arms of flowers and a lap of rose.
Your breasts seem like white snails.
A butterfly of shadow has come to sleep on your belly.
Ah you who are silent!
Here is the solitude from which you are absent.
It is raining. The sea wind is hunting stray gulls.
The water walks barefoot in the wet streets.
From that tree the leaves complain as though they were sick.
White bee, even when you are gone you buzz in my soul
You live again in time, slender and silent.
Ah you who are silent!
Lebah putih, kau mendengung di jiwaku, mabuk madu,
angin kibasan sayapmu melingkarkan asap perlahan.
Akulah dia yang tak berharapan, kata tanpa suara gema.
Akulah dia yang kehilangan, dan mendapatkan segalanya.
Pada tambang kapal penghabisan, berderit rinduku.
Pulauku kering, kau di sana bunga mawar terakhirku.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Biarkan ceruk matamu mengatup. Di sana malam gugup.
Ah tubuhmu, patung yang ketakutan. Sempurna telanjang.
Matamu, mata yang dalam, di mana melecut malam.
Lengan dingin bunga-bunga, dan selingkar mawar.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Ada kesunyian itu, tersebab engkau tak ada.
Hujan turun. Angin laut memburu camar tersasar.
Maka tampak payudaramu bagai siput putih.
Kupu-kupu bayang singgah tidur di perutmu.
Di jalanan basah, air melangkah dengan kaki telanjang.
Di pohon itu, dedaunan demam menggerutu.
Lebah putih, ketika kau tak ada pun, kau berdengung di jiwaku
Dalam waktu kau hadir lagi, tak kasat mata, tak bersuara.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
White Bee
White bee, you buzz in my soul, drunk with honey,
and your flight winds in slow spirals of smoke.
I am the one without hope, the word without echoes,
he who lost everything and he who had everything.
Last hawser, in you creaks my last longing.
In my barren land you are the final rose.
Ah you who are silent!
Let your deep eyes close. There the night flutters.
Ah your body, a frightened statue, naked.
You have deep eyes in which the night flails.
Cool arms of flowers and a lap of rose.
Your breasts seem like white snails.
A butterfly of shadow has come to sleep on your belly.
Ah you who are silent!
Here is the solitude from which you are absent.
It is raining. The sea wind is hunting stray gulls.
The water walks barefoot in the wet streets.
From that tree the leaves complain as though they were sick.
White bee, even when you are gone you buzz in my soul
You live again in time, slender and silent.
Ah you who are silent!
Tuesday, October 26, 2004
Saturday, October 23, 2004
Pada Sebuah Senja di Langitku
Sajak Pablo Neruda
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jatuh cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, milikku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jatuh cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, milikku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
Friday, October 22, 2004
[Ruang Renung # 99] Baris Pertama Begitu Menggoda
SAYA tiba-tiba begitu tertarik dengan baris pertama puisi. Dalam sajak-sajak Pablo Neruda dan William Shakespeare, terutama yang tak berjudul, pada daftar isi bukunya hanya dituliskan baris pertama setiap sajak. Neruda pada usia dini sudah menulis kumpulan puisi "100 Soneta Cinta" dan "20 Sajak Cinta dan Nyanyian Putus Harapan". Keduanya hanya mengurutkan puisi dengan angka Romawi. Tanpa judul. Demikian halnya soneta-soneta Shakespeare.
MEMBACA sajak-sajak kedua penyair itulah saya jadi tiba-tiba tertarik dengan barit pertama. Ternyata, baris pertama bisa menjadi penanda sebuah puisi. Bisa menjadi semacam judul, yang membuat sang isi puisi jadi lebih nyaman dinikmati.
KARENA itu saya berpikir: barangkali memang ada sesuatu, semacam kekuatan, semacam daya tarik dalam baris pertama sebuah puisi. Dengan atau tanpa judul. Karena itu saya jadi menyusun semacam kecurigaan: barangkali memang harus begitulah puisi. Bukankah dalam tulisan jurnalistik ada yang dinamakan kepala berita. Pada kepala berita itulah dipertaruhkan apakah berita itu menarik dibaca atau tidak. Barangkali ada baiknya juga kita menulis kepala bait dalam puisi kita.
SAYA hanya membarangkalikan saja. Kalaupun mau dipercaya, mungkin kita harus mengutip kalimat dari sebuah iklan wewangian. "Kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah Anda." Kalau pada bait pertama saja kita berhasil menggoda pembaca, maka seharusnya pada bait-bait berikutnya godaan itu bisa lebih besar lagi adanya. Dan yang menggoda itu akan lebih menggoda kalau kita seolah membebaskan pembaca untuk terus membaca atau tidak. Pokoknya: terserah Anda, Pembaca. Juga terserah Anda, mau percaya tulisan ini atau tidak.[hah]
MEMBACA sajak-sajak kedua penyair itulah saya jadi tiba-tiba tertarik dengan barit pertama. Ternyata, baris pertama bisa menjadi penanda sebuah puisi. Bisa menjadi semacam judul, yang membuat sang isi puisi jadi lebih nyaman dinikmati.
KARENA itu saya berpikir: barangkali memang ada sesuatu, semacam kekuatan, semacam daya tarik dalam baris pertama sebuah puisi. Dengan atau tanpa judul. Karena itu saya jadi menyusun semacam kecurigaan: barangkali memang harus begitulah puisi. Bukankah dalam tulisan jurnalistik ada yang dinamakan kepala berita. Pada kepala berita itulah dipertaruhkan apakah berita itu menarik dibaca atau tidak. Barangkali ada baiknya juga kita menulis kepala bait dalam puisi kita.
SAYA hanya membarangkalikan saja. Kalaupun mau dipercaya, mungkin kita harus mengutip kalimat dari sebuah iklan wewangian. "Kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah Anda." Kalau pada bait pertama saja kita berhasil menggoda pembaca, maka seharusnya pada bait-bait berikutnya godaan itu bisa lebih besar lagi adanya. Dan yang menggoda itu akan lebih menggoda kalau kita seolah membebaskan pembaca untuk terus membaca atau tidak. Pokoknya: terserah Anda, Pembaca. Juga terserah Anda, mau percaya tulisan ini atau tidak.[hah]
Tubuhnya: Tubuh Seorang Perempuan
Sajak Pablo Neruda
Tubuh seorang perempuan, putih pebukitan, putih dua paha,
Engkau tampak bagai dunia, pada pasrah menghampar.
Tubuh jumudku, akulah petani menggali pada tubuhmu
lalu kuciptakan anak berlompatan dari kedalaman bumi.
Aku sendiri bagai terowongan. Burung-burung berhamburan,
dan malam membanjiriku dengan invasi, sebenar serangan.
Aku bertahan, aku menempamu jadi serupa hunus senjata,
seperti panah di busurku, sebongkah batu dalam tali umban.
Tapi saat pembalasan dendam luruh, maka kucintai engkau.
Tubuhmu: kulit, lumut, desak hasrat, susu yang memadu.
O, gelas piala payudara. O, mata yang nyimpan ketiadaan!
O, mawar pinka di pupumu. O, suaramu, hanya bisik berduka.
Tubuh seorang perempuan. Aku bertahan dalam semarakmu.
Haus rasaku, tak berbatas hasratku, tak berujung jalanku.
Sungai bertebing gelap, di sana mengalir haus yang kekal
dan rasa letih menyusul. Lalu pedih yang terus berterusan.
Woman on Her Deathbed, April 1883, Vincent Van Gohg
Tubuh seorang perempuan, putih pebukitan, putih dua paha,
Engkau tampak bagai dunia, pada pasrah menghampar.
Tubuh jumudku, akulah petani menggali pada tubuhmu
lalu kuciptakan anak berlompatan dari kedalaman bumi.
Aku sendiri bagai terowongan. Burung-burung berhamburan,
dan malam membanjiriku dengan invasi, sebenar serangan.
Aku bertahan, aku menempamu jadi serupa hunus senjata,
seperti panah di busurku, sebongkah batu dalam tali umban.
Tapi saat pembalasan dendam luruh, maka kucintai engkau.
Tubuhmu: kulit, lumut, desak hasrat, susu yang memadu.
O, gelas piala payudara. O, mata yang nyimpan ketiadaan!
O, mawar pinka di pupumu. O, suaramu, hanya bisik berduka.
Tubuh seorang perempuan. Aku bertahan dalam semarakmu.
Haus rasaku, tak berbatas hasratku, tak berujung jalanku.
Sungai bertebing gelap, di sana mengalir haus yang kekal
dan rasa letih menyusul. Lalu pedih yang terus berterusan.
Woman on Her Deathbed, April 1883, Vincent Van Gohg
Nyanyian Putus Harapan
Sajak Pablo Neruda
Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.
Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, O aku yang tinggal sepi.
Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
O lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.
Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.
Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.
Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!
Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!
Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.
Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.
Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.
Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.
Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.
Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.
Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan
Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.
Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.
Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.
Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.
Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!
O puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.
Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.
Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
O puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.
Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.
Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.
Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku
.
O jauh dari segala, O terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. O seorang telah disiakan!
Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.
Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, O aku yang tinggal sepi.
Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
O lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.
Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.
Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.
Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!
Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!
Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.
Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.
Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.
Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.
Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.
Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.
Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan
Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.
Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.
Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.
Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.
Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!
O puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.
Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.
Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
O puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.
Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.
Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.
Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku
.
O jauh dari segala, O terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. O seorang telah disiakan!
Wednesday, October 20, 2004
Kursus Kebohongan
/1/
aku sedang belajar bahasa diam
agar bisa kuterjemahkan
yang hendak, sedang dan telah
Engkau katakan, Puisiku.
/2/
aku sedang belajar bahasa puisi
agar bisa kutafsirkan
yang hendak, sedang dan telah
Engkau rahasiakan, Diamku.
Hae Kyong Lee Dancer
aku sedang belajar bahasa diam
agar bisa kuterjemahkan
yang hendak, sedang dan telah
Engkau katakan, Puisiku.
/2/
aku sedang belajar bahasa puisi
agar bisa kutafsirkan
yang hendak, sedang dan telah
Engkau rahasiakan, Diamku.
Hae Kyong Lee Dancer
Tuesday, October 19, 2004
Setelah Setahun Kesunyian
Syair Jalaluddin Rumi
Tentang seseorang di pintu Sang Kekasih
dan mengetuk. Ada suara bertanya, "Siapa di sana?"
Dia menjawab, "Ini Aku."
Sang suara berkata, "Tak ada ruang untuk Aku dan Kamu."
Pintu tetap menutup.
Setelah setahun kesunyian dan kehilangan, dia kembali
dan mengetuk lagi. Suara dari dalam bertanya, "Siapa di sana?"
Dia berkata, "Inilah Engkau."
Maka, sang pintu pun membuka untuknya.
Tentang seseorang di pintu Sang Kekasih
dan mengetuk. Ada suara bertanya, "Siapa di sana?"
Dia menjawab, "Ini Aku."
Sang suara berkata, "Tak ada ruang untuk Aku dan Kamu."
Pintu tetap menutup.
Setelah setahun kesunyian dan kehilangan, dia kembali
dan mengetuk lagi. Suara dari dalam bertanya, "Siapa di sana?"
Dia berkata, "Inilah Engkau."
Maka, sang pintu pun membuka untuknya.
Kegamangan Musim Semi
Syair Jalaluddin Rumi
Hari ini, seperti hari-hari lain, kita terbangun dengan perasaan
kosong dan dicekam ketakutan. Jangan buka pintu menuntut ilmu
dan mulailah saja membaca. Letakkan saja perangkat musik.
Biarkan keindahan yang kita cinta, menjadi apa yang kita kerjakan.
Ada seratus cara untuk bersujud dan mencium wajah tanah.
Hari ini, seperti hari-hari lain, kita terbangun dengan perasaan
kosong dan dicekam ketakutan. Jangan buka pintu menuntut ilmu
dan mulailah saja membaca. Letakkan saja perangkat musik.
Biarkan keindahan yang kita cinta, menjadi apa yang kita kerjakan.
Ada seratus cara untuk bersujud dan mencium wajah tanah.
Sejumlah Kartu yang Tak Pernah Kukirim Padamu
/1/
WALAU pun minta maaf itu sebuah kesalahan
aku akan terus memohonkannya padamu atas
kesalahan-kesalahanku, sampai aku menemukan
cara lain untuk menebus rasa salah ini hingga
tak tercatat sehuruf pun di buku tagihan piutangmu.
HINGGA lunas kau dan aku. Tutup buku.
/2/
AKU punya dua buku. Buku pertama untuk mencatat
kebaikan-kebaikanmu. Dan buku kedua untuk mengingat
kesalahan-kesalahanku padamu. Hanya saja aku kadang
lupa, lalai membedakan sebuah peristiwa harus dicatat
di buku pertama atau buku yang kedua. Maafkan aku,
"MUNGKIN kau perlu buku ketiga," dulu rasanya kau pernah
menyarankan itu. Tapi, aku tak mengingat apalagi mencatat.
/3/
AKU punya selembar kartu khusus buatmu. Aku sudah
lama ingin menuliskan sesuatu yang khusus buatmu
di kartu itu. Aku sejak dulu terus berupaya menggubah
kalimat khusus yang hendak kutulis di kartu buatmu itu.
TAPI, aku selalu merasa tidak teramat khusus buatmu,
jadi kutuliskan saja kalimat ini, dan tentu kau tidak tahu,
betapa bahagianya aku karena hingga saat ini aku bisa
menyimpannya di tempat yang khusus di dalam diriku.
WALAU pun minta maaf itu sebuah kesalahan
aku akan terus memohonkannya padamu atas
kesalahan-kesalahanku, sampai aku menemukan
cara lain untuk menebus rasa salah ini hingga
tak tercatat sehuruf pun di buku tagihan piutangmu.
HINGGA lunas kau dan aku. Tutup buku.
/2/
AKU punya dua buku. Buku pertama untuk mencatat
kebaikan-kebaikanmu. Dan buku kedua untuk mengingat
kesalahan-kesalahanku padamu. Hanya saja aku kadang
lupa, lalai membedakan sebuah peristiwa harus dicatat
di buku pertama atau buku yang kedua. Maafkan aku,
"MUNGKIN kau perlu buku ketiga," dulu rasanya kau pernah
menyarankan itu. Tapi, aku tak mengingat apalagi mencatat.
/3/
AKU punya selembar kartu khusus buatmu. Aku sudah
lama ingin menuliskan sesuatu yang khusus buatmu
di kartu itu. Aku sejak dulu terus berupaya menggubah
kalimat khusus yang hendak kutulis di kartu buatmu itu.
TAPI, aku selalu merasa tidak teramat khusus buatmu,
jadi kutuliskan saja kalimat ini, dan tentu kau tidak tahu,
betapa bahagianya aku karena hingga saat ini aku bisa
menyimpannya di tempat yang khusus di dalam diriku.
Saturday, October 16, 2004
Selalu Sesegar Cinta
Syair Jalaluddin Rumi
Taman Cinta
hijau tak berbatas warna
memberi panen seluruh buah
lebih dari derita
dan bahagia.
Cinta melampaui seluruh
musim yang ada:
tanpa musim semi,
tanpa musim gugur,
ia selalu sesegar Cinta.
Taman Cinta
hijau tak berbatas warna
memberi panen seluruh buah
lebih dari derita
dan bahagia.
Cinta melampaui seluruh
musim yang ada:
tanpa musim semi,
tanpa musim gugur,
ia selalu sesegar Cinta.
[Ruang Renung # 98] Puisi yang Cepat Berakhir
SEPANJANG apakah puisi harus ditulis? Tak ada ketentuan, kecuali untuk puisi-puisi yang memili bentuk tetap. Haiku misalnya. Puisi yang tidak tiga baris, dan tidak 17 suku kata dalam bahasa Jepang, pasti tak bisa disebut haiku. Kalau pantun pasti dia harus empat baris. Sebait gurindam isinya harus dua baris.
PUISI bebas tidak punya batasan panjang. Namanya juga bebas. Satu baris boleh. Satu kata saja pun boleh. Mau panjang? Tentu boleh juga. Ada lho puisi yang menghabiskan sembilan halaman buku.
TIDAK menulis apa-apa juga bisa disebut puisi. Beri judul lalu isikan saja titik-titik pada isinya. Asal judulnya cocok, bisa saja orang percaya bahwa apa yang kita tulis itu memang punya alasan untuk disebut puisi. Kalau pembaca tak menerima, berarti kita yang tidak bisa menyediakan alasan yang cukup untuk itu.
BEGITU juga kalau pembaca merasa puisi kita terlalu cepat berakhir. Mungkin saja dia benar, mungkin juga salah. Mungkin saja kita memang kurang menggali bahan yang tersedia untuk sebuah puisi kita. Mungkin saja kalau kita panjangkan lagi, puisi itu malah jadi tidak kompak. Isinya malah berceceran. Beberapa puisi pendek populer bisa kita beri contohnya di sini. Puisi yang panjang, cari saja sendiri contohnya.[hah]
Contoh 1.
Malam Lebaran
Sajak Sitor Situmorang
Bulan di atas kuburan.
Contoh 2.
Luka
Sajak Sutardji Calzhoum Bachri
Ha ha!
Contoh 3.
Tuan
Sajak Sapardi Djoko Damono
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
Contoh 4.
Kepada Puisi
Sajak Joko Pinurbo
Kau adalah mata, aku airmatamu.
PUISI bebas tidak punya batasan panjang. Namanya juga bebas. Satu baris boleh. Satu kata saja pun boleh. Mau panjang? Tentu boleh juga. Ada lho puisi yang menghabiskan sembilan halaman buku.
TIDAK menulis apa-apa juga bisa disebut puisi. Beri judul lalu isikan saja titik-titik pada isinya. Asal judulnya cocok, bisa saja orang percaya bahwa apa yang kita tulis itu memang punya alasan untuk disebut puisi. Kalau pembaca tak menerima, berarti kita yang tidak bisa menyediakan alasan yang cukup untuk itu.
BEGITU juga kalau pembaca merasa puisi kita terlalu cepat berakhir. Mungkin saja dia benar, mungkin juga salah. Mungkin saja kita memang kurang menggali bahan yang tersedia untuk sebuah puisi kita. Mungkin saja kalau kita panjangkan lagi, puisi itu malah jadi tidak kompak. Isinya malah berceceran. Beberapa puisi pendek populer bisa kita beri contohnya di sini. Puisi yang panjang, cari saja sendiri contohnya.[hah]
Contoh 1.
Malam Lebaran
Sajak Sitor Situmorang
Bulan di atas kuburan.
Contoh 2.
Luka
Sajak Sutardji Calzhoum Bachri
Ha ha!
Contoh 3.
Tuan
Sajak Sapardi Djoko Damono
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
Contoh 4.
Kepada Puisi
Sajak Joko Pinurbo
Kau adalah mata, aku airmatamu.
Friday, October 15, 2004
[Ruang Renung # 95] Puisi yang Tak Bisa Diulangi
ADA puisi yang begitu uniknya, hingga keunikan itu abadi menjadi miliknya sendiri. Sayang rasanya mengulang bentuknya dengan ide isi yang lain - sayang puisi baru itu, sayang juga puisi yang unik itu. Saya kira ini adalah salah satu bentuk dari sebuah puisi yang berhasil. Puisi yang unik seperti itu, kepada kita ia menantang: ayo, cari keunikan lain dari puisi yang hendak kau tulis, buktinya si penyair yang menulis saya sudah berhasil menemukan saya!
INI salah satu contoh puisi yang unik seperti itu. Apa keunikan puisi ini? Silakan temukan sendiri. Kalau menemukan saja kita tidak mampu, apatah lagi mau menciptakan keunikan lain!
Peristiwa Pagi Tadi
Sajak Sapardi Djoko Damono
             kepada GM
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor
     tentang seorang lelaki yang terlanggar motor wakt menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang
     sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, mem-
     bentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang
     terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu
     diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah
     jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai
     di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita kepadaku tentang peristiwa
     itu.
SUDAH ketemu?[hah]
INI salah satu contoh puisi yang unik seperti itu. Apa keunikan puisi ini? Silakan temukan sendiri. Kalau menemukan saja kita tidak mampu, apatah lagi mau menciptakan keunikan lain!
Peristiwa Pagi Tadi
Sajak Sapardi Djoko Damono
             kepada GM
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor
     tentang seorang lelaki yang terlanggar motor wakt menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang
     sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, mem-
     bentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang
     terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu
     diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah
     jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai
     di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita kepadaku tentang peristiwa
     itu.
SUDAH ketemu?[hah]
Jiwa Kita Berdansa
Syair Jalaluddin Rumi
Terang siang, penuh partikel kecil yang berdansa
dan sebuah perputaran besar, jiwa-jiwa kita
berdansa bersamamu, tanpa kaki, mereka berdansa.
Bisakah kau lihat? Ketika aku berbisik di telingamu?
Terang siang, penuh partikel kecil yang berdansa
dan sebuah perputaran besar, jiwa-jiwa kita
berdansa bersamamu, tanpa kaki, mereka berdansa.
Bisakah kau lihat? Ketika aku berbisik di telingamu?
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal L, 2
Lengar: Dia menyebutku dengan maksud yang lain,
     kau mengartikanku dengan niat yang juga berbeda,
     Dan pada akhirnya aku juga tak tahu dalam
     percakapan sesederha apa hingga bisa memaknai
     diri sendiri sepenuh-penuhnya. "Selamat pingsan
     sajalah. Dalam kamus yang nyaman, kau sebaiknya
     tidur saja."
Lenggana: Yang paling malang - atau paling beruntung - adalah
     menjadi kata, yang bisa meramalkan takdir sendiri. Siapa yang
     kini menyebutmu? Tak ada. Siapa yang kini mengertimu?
     Tak ada. Siapa yang kini mengalimatkanmu? Semua
     bisa menjawab dengan menyebutmu saja. Semua segan,
     semua enggan, semua tidak lagi sudi meyakinkanmu sebagai
     kata yang pernah ada.
Lengkara: Berapa usia sebuah kata? Sebab ucap yang basah kelak
     mengering jua; Sebab lidah yang tak bertulang tak pernah
     mengingat apa yang dikatakannya; Sebab bibir yang punya
     bahasa sendiri tak pernah minta disusun dalam kamus abadi;
     maka kuucap saja kata yang terdengar mustahil, kata yang
     seperti sesuatu yang tidak mungkin ada. Tapi ada. Tapi ia kata.
Lengking: Dalam setiap kata, ada nyaring yang sama. Dalam setiap
     suara ada makna yang bertahan meski telah lama mengabut gema.
     Di dalam kamus, kau temui dia diam, sebisik pun tak bersuara.
     Dalam jeritmu, dia mendengar kau meyakinkannya bahwa
     dia memang ada. Dia punya makna.
     kau mengartikanku dengan niat yang juga berbeda,
     Dan pada akhirnya aku juga tak tahu dalam
     percakapan sesederha apa hingga bisa memaknai
     diri sendiri sepenuh-penuhnya. "Selamat pingsan
     sajalah. Dalam kamus yang nyaman, kau sebaiknya
     tidur saja."
Lenggana: Yang paling malang - atau paling beruntung - adalah
     menjadi kata, yang bisa meramalkan takdir sendiri. Siapa yang
     kini menyebutmu? Tak ada. Siapa yang kini mengertimu?
     Tak ada. Siapa yang kini mengalimatkanmu? Semua
     bisa menjawab dengan menyebutmu saja. Semua segan,
     semua enggan, semua tidak lagi sudi meyakinkanmu sebagai
     kata yang pernah ada.
Lengkara: Berapa usia sebuah kata? Sebab ucap yang basah kelak
     mengering jua; Sebab lidah yang tak bertulang tak pernah
     mengingat apa yang dikatakannya; Sebab bibir yang punya
     bahasa sendiri tak pernah minta disusun dalam kamus abadi;
     maka kuucap saja kata yang terdengar mustahil, kata yang
     seperti sesuatu yang tidak mungkin ada. Tapi ada. Tapi ia kata.
Lengking: Dalam setiap kata, ada nyaring yang sama. Dalam setiap
     suara ada makna yang bertahan meski telah lama mengabut gema.
     Di dalam kamus, kau temui dia diam, sebisik pun tak bersuara.
     Dalam jeritmu, dia mendengar kau meyakinkannya bahwa
     dia memang ada. Dia punya makna.
Ia Lindap, Kita Lenyap
Syair Jalaluddin Rumi
Sepanjang hari sepanjang siang,
musik kumandang, musik yang tenang
buluh perindu, musik yang cemerlang.
Bila musik itu melindap,
kita pun perlahan lenyap.
Sepanjang hari sepanjang siang,
musik kumandang, musik yang tenang
buluh perindu, musik yang cemerlang.
Bila musik itu melindap,
kita pun perlahan lenyap.
Wednesday, October 13, 2004
Karikatur Orang Kedinginan
: ziarah di awal Ramadan
/1/
Bumi mati,
hujan memandikan jenazahnya.
Di mana kita berkubur bersama?
/2/
Hujan di pekuburan,
menziarahi aku.
Basah ini seperti kenangan, bukan?
/3/
Kita masih punya waktu.
Ayo, jalan-jalan bersama hujan.
"Ayo bikin nyanyian," kata ranting. Atau batu nisan?
/4/
Rintikmu, hujan. Rintihku, beban.
Ini pekuburan kok seperti pelabuhan?
Berangkat sajalah. Atau mau ketinggalan?
/5/
Ada sebuah hujan.
Kusimpan lebatnya dalam ingatan.
Sejak saat itu, aku rindu dimandikan.
/6/
Berteduh di gerbangmu, Kuburan.
Kita berbagi hujan. Aku dapat dinginnya,
kau dapat basahnya. Adilkan?
/7/
Aku bertemu lagi dengan hujan
di sebuah taman. "Hei itu makammu, kan?" ujarnya
menunjuk sebuah nisan: karikatur orang kedinginan.
/1/
Bumi mati,
hujan memandikan jenazahnya.
Di mana kita berkubur bersama?
/2/
Hujan di pekuburan,
menziarahi aku.
Basah ini seperti kenangan, bukan?
/3/
Kita masih punya waktu.
Ayo, jalan-jalan bersama hujan.
"Ayo bikin nyanyian," kata ranting. Atau batu nisan?
/4/
Rintikmu, hujan. Rintihku, beban.
Ini pekuburan kok seperti pelabuhan?
Berangkat sajalah. Atau mau ketinggalan?
/5/
Ada sebuah hujan.
Kusimpan lebatnya dalam ingatan.
Sejak saat itu, aku rindu dimandikan.
/6/
Berteduh di gerbangmu, Kuburan.
Kita berbagi hujan. Aku dapat dinginnya,
kau dapat basahnya. Adilkan?
/7/
Aku bertemu lagi dengan hujan
di sebuah taman. "Hei itu makammu, kan?" ujarnya
menunjuk sebuah nisan: karikatur orang kedinginan.
Seperti Mandi yang Terakhir Kali
Changing Feelings, Jaroslaw Kukowski
/1/
Dia akhirnya bisa juga menidurkan diri, setelah
sukses menjadi satu-satunya pembicara
dalam seminar sehari: "Cara Praktis dan Mudah
Menyelenggarakan Jenazah. Bukan Jenazah Sendiri."
Kepada panitia, dia tak minta honor apa-apa.
Kecuali beberapa hadiah sponsor:
segulung kafan langsung dari pabrik kain;
kupon diskon 50 persen toko keranda;
gratis mobil jenazah kapan saja perlunya;
dan kavling kuburan di taman pemakaman.
"Lumayan," katanya. Sebelum terpejam.
"Sekarang aku tinggal memikirkan, kapan
saat yang paling tepat untuk ditalkinkan..."
/2/
Dia akhirnya bisa juga menidurkan diri. Lelap
sekali. Di tengah tidurnya, tiba-tiba ada mimpi
menginterupsi. "Tunggu, Saudara! Kamu sudah mati?"
"Belum," katanya. "Memangnya kau tak dengar
dengkurku yang khusyuk dan syahdu ini?"
/3/
Dia akhirnya bisa juga menidurkan diri. Lalu,
terbangun subuh hari. Dan terus mandi.
Di sumur tua, yang belum juga bisa
menimba airnya sendiri, ia menikmati
tiap guyuran air di tubuhnya.
Seperti sedang menikmati mandi
untuk yang
terakhir
kali.
Saatnya untuk Pulang
Syair Jalaluddin Rumi
Malam larut, malam memulai hujan
inilah saatnya untuk kembali pulang.
Kita sudah cukup jauh mengembara
menjelajah rumah-rumah kosong.
Aku tahu: teramat menggoda untuk tinggal saja
dan bertemua orang-orang baru ini.
Aku tahu: bahkan lebih pantas
untuk menuntaskan malam di sini bersama mereka,
tapi aku hanya ingin kembali pulang.
Sudah kita lihat cukup destinasi indah
dengan isyarat dalam ucap mereka
Inilah Rumah Tuhan. Melihat
butir padi seperti perangai semut,
tanpa ingin memanennya. Biar tinggalkan saja
sapi menggembala sendiri dan kita pergi
ke sana: ke tempat semua orang sungguh menuju
ke sana: ke tempat kita leluasa melangkah telanjang.
ANGEL, Jaroslaw Kukowski
Syair Jalaluddin Rumi
Malam larut, malam memulai hujan
inilah saatnya untuk kembali pulang.
Kita sudah cukup jauh mengembara
menjelajah rumah-rumah kosong.
Aku tahu: teramat menggoda untuk tinggal saja
dan bertemua orang-orang baru ini.
Aku tahu: bahkan lebih pantas
untuk menuntaskan malam di sini bersama mereka,
tapi aku hanya ingin kembali pulang.
Sudah kita lihat cukup destinasi indah
dengan isyarat dalam ucap mereka
Inilah Rumah Tuhan. Melihat
butir padi seperti perangai semut,
tanpa ingin memanennya. Biar tinggalkan saja
sapi menggembala sendiri dan kita pergi
ke sana: ke tempat semua orang sungguh menuju
ke sana: ke tempat kita leluasa melangkah telanjang.
ANGEL, Jaroslaw Kukowski
Tertutuplah Pintu-Bahasa
Syair Jalaluddin Rumi
Ada kecupan yang sungguh kami ingini
pada sepanjang hidup kami,
sentuhan sang Jiwa pada tubuh kami.
Air laut memohon mutiara
agar memecahkan cangkangnya.
Dan bunga lili, sepenuh nafsu
menunggu Kekasih yang liar!
Ketika malam, kubuka jendela
kupinta bulan datang bertandang
dan membenamkan wajahnya pada wajahku.
Bernafas ke dalam diriku.
Menutup pintu-bahasa
Membuka jendela-cinta.
Bulan yang tak memerlukan pintu
ia hanya rindu jendela yang membuka.
Syair Jalaluddin Rumi
Ada kecupan yang sungguh kami ingini
pada sepanjang hidup kami,
sentuhan sang Jiwa pada tubuh kami.
Air laut memohon mutiara
agar memecahkan cangkangnya.
Dan bunga lili, sepenuh nafsu
menunggu Kekasih yang liar!
Ketika malam, kubuka jendela
kupinta bulan datang bertandang
dan membenamkan wajahnya pada wajahku.
Bernafas ke dalam diriku.
Menutup pintu-bahasa
Membuka jendela-cinta.
Bulan yang tak memerlukan pintu
ia hanya rindu jendela yang membuka.
Tuesday, October 12, 2004
Lansekap Matahari
Sajak Tomas Transtromer
Matahari menggelincir di sisi rumah
berdiri di batas tengah jalanan
dan nafasnya mendengus di atas kita
mengembuskan angin merah.
Innsbruck, mesti kutinggalkan engkau.
Tapi esok hari,
akan ada matahari berpendaran
di tengah hutan abu-abu
di sana kita kelak bekerja dan hidup.
Landscape with Suns
The sun slides out from behind the house
stands in the middle of the street
and breathes on us
with its red wind.
Innsbrück I must leave you.
But tomorrow
there will be a glowing sun
in the half-dead grey forest
where we shall work and live.
Sajak Tomas Transtromer
Matahari menggelincir di sisi rumah
berdiri di batas tengah jalanan
dan nafasnya mendengus di atas kita
mengembuskan angin merah.
Innsbruck, mesti kutinggalkan engkau.
Tapi esok hari,
akan ada matahari berpendaran
di tengah hutan abu-abu
di sana kita kelak bekerja dan hidup.
Landscape with Suns
The sun slides out from behind the house
stands in the middle of the street
and breathes on us
with its red wind.
Innsbrück I must leave you.
But tomorrow
there will be a glowing sun
in the half-dead grey forest
where we shall work and live.
Saturday, October 9, 2004
Setelah Kematian Seseorang
Sajak Tomas Transtromer
Sekali pernah ada yang menyentak
yang tercecer dari pendar pudar ekor kemukus.
Kita ada di sana. Gambar TV buram dibuatnya.
Lalu ia menyisa sendiri sebagai tetes beku di angkasa.
Kau masih bisa jejaki jejaknya di langit matahari musim dingin
di antara belukar berdaun sisa tahun sebelumnya.
Lihat, mereka bagai robekan halaman buku telepon tua -
nama-nama habis dimakan dingin udara.
Masih terasa nikmatnya, merasai jantungmu berdebar.
Tapi seringkali bayangan terasa lebih nyata dari tubuh sendiri.
Sebilah samurai tampak tak lagi terperhitungkan
ketika ada di sisi baju besi hitam bersisik naga.
After Someone’s Death
Tomas Transtromer
Once there was a shock
which left behind a long pale glimmering comet’s tail.
It contains us. It makes TV pictures blurred.
It deposits itself as cold drops on the aerials.
You can still shuffle along on skis in the winter sun
among groves where last year’s leaves still hang.
They are like pages torn from old telephone directories -
the subscribers’ names are eaten up by the cold.
It is still beautiful to feel your heart throbbing.
But often the shadow feels more real than the body.
The samurai looks insignificant
beside his armor of black dragon-scales.
Friday, October 8, 2004
Menu Khusus pada Sebuah Restoran
Hari yang sudahsenja menyusun sembilan meja
bayang-bayang pelengkap di kanan sisisisinya.
Taplak antelas hitam sewarna langit. Warna kelam.
Ini restoran kehidupan. Tanpa kursi. Tanpa keranda.
Pada daftar hanya sebuah menu khusus: Kematian.
Kau, mestinya sudah pula dapat tempat. Istimewa.
Kau sudah lama memesan. Datanglah sendirian.
Anak-anak tak berayah jadi pelayan. Piring kosong,
sendok dan pisau, menata risau. "Tak ada yang
sempat menyantap, apa yang telah disuguhkan."
Demi perjalanan. Demi sopan santun perjamuan.
bayang-bayang pelengkap di kanan sisisisinya.
Taplak antelas hitam sewarna langit. Warna kelam.
Ini restoran kehidupan. Tanpa kursi. Tanpa keranda.
Pada daftar hanya sebuah menu khusus: Kematian.
Kau, mestinya sudah pula dapat tempat. Istimewa.
Kau sudah lama memesan. Datanglah sendirian.
Anak-anak tak berayah jadi pelayan. Piring kosong,
sendok dan pisau, menata risau. "Tak ada yang
sempat menyantap, apa yang telah disuguhkan."
Demi perjalanan. Demi sopan santun perjamuan.
[Ruang Renung # 94] Perlukah Bertanya Apakah Puisi?
PERLUKAH kau tanya juga apakah puisi? Memangnya kalau kau sudah ketemu jawabannya, apakah lantas kau jadi lebih pandai menulis puisi? Jadi lebih fasih menyelami makna puisi? Kalau ya, cari saja. Banyak orang sudah menyediakan jawabannya. Puisi adalah apa yang diniatkan oleh penyairnya sebagai puisi. Itu kata Sutardji. Orang lain juga boleh membuat rumusan sendiri. Simonides yang hidup sebelum penanggalan Masehi sudah pula menjajal perumusan sendiri. Katanya, "lukisan adalah puisi bisu, dan puisi adalah lukisan yang dihadiahi pengucapan."
DEFENISI itu mungkin sangat diperlukan bila kau ambil kuliah di Fakultas Sastra. Kau perlu hafalkan, siapa tahu itu ditanyakan dalam ujian akhir semesteran. Saya sendiri sudah lama tidak peduli dengan pertanyaan itu lagi. Saya hanya asyik menuliskan dan sejauh yang saya yakini, apa yang saya tuliskan itu adalah puisi. Kenapa saya yakin? Karena saya juga menulis cerita pendek yang bukan puisi, saya menulis berita untuk surat kabar saya. Saya tahu berita itu bukan puisi.
LALU, saya merasa cara terbaik untuk menjawab pertanyaan itu - kalau ia memang hendak dipedulikan - adalah dengan menuliskannya. Dengan membacanya. Sebanyak-banyak. Membanding-bandingkannya. Menghadirkannya selalu dalam setiap melintas pikiran. Dijadikan sahabat dijadikan teman.
"SAYA dan puisi cukup mesra, dekat dan sangat bersahabat Ya, seperti suami-istri selama ini kami saling menolong, dalam suka dan duka. Puisi ternyata tidak hanya minta untuk selalu dituliskan, tetapi juga untuk dilakukan. Untuk menjadi perbuatan sehari-hari," itu kata penyair Acep Zamzam Noor.
DENGAN demikian kita akan akan tahu, mana puisi yang baik. Mana puisi yang buruk. Syukur-syukur kelak kita - lewat puisi - juga jadi tahu mana bagian buruk dalam diri kita dan mana yang baik. Apalah itu tujuan akhir puisi? Mungkin. Karena kalau itu tujuannya, tak lewat puisi pun kau bisa mencapai kesana. Saya tahu jawaban ini mungkin membingungkan. Mungkin sama sekali tak tersambung dengan apa yang ditanyakan. Jadi, selamat terjerumus dalam kebingungan. Saya juga sudah lama ada di dalam kebingunan itu. Dan saya betah, lho.[hah]
DEFENISI itu mungkin sangat diperlukan bila kau ambil kuliah di Fakultas Sastra. Kau perlu hafalkan, siapa tahu itu ditanyakan dalam ujian akhir semesteran. Saya sendiri sudah lama tidak peduli dengan pertanyaan itu lagi. Saya hanya asyik menuliskan dan sejauh yang saya yakini, apa yang saya tuliskan itu adalah puisi. Kenapa saya yakin? Karena saya juga menulis cerita pendek yang bukan puisi, saya menulis berita untuk surat kabar saya. Saya tahu berita itu bukan puisi.
LALU, saya merasa cara terbaik untuk menjawab pertanyaan itu - kalau ia memang hendak dipedulikan - adalah dengan menuliskannya. Dengan membacanya. Sebanyak-banyak. Membanding-bandingkannya. Menghadirkannya selalu dalam setiap melintas pikiran. Dijadikan sahabat dijadikan teman.
"SAYA dan puisi cukup mesra, dekat dan sangat bersahabat Ya, seperti suami-istri selama ini kami saling menolong, dalam suka dan duka. Puisi ternyata tidak hanya minta untuk selalu dituliskan, tetapi juga untuk dilakukan. Untuk menjadi perbuatan sehari-hari," itu kata penyair Acep Zamzam Noor.
DENGAN demikian kita akan akan tahu, mana puisi yang baik. Mana puisi yang buruk. Syukur-syukur kelak kita - lewat puisi - juga jadi tahu mana bagian buruk dalam diri kita dan mana yang baik. Apalah itu tujuan akhir puisi? Mungkin. Karena kalau itu tujuannya, tak lewat puisi pun kau bisa mencapai kesana. Saya tahu jawaban ini mungkin membingungkan. Mungkin sama sekali tak tersambung dengan apa yang ditanyakan. Jadi, selamat terjerumus dalam kebingungan. Saya juga sudah lama ada di dalam kebingunan itu. Dan saya betah, lho.[hah]
[Ruang Renung # 96] Mencari Bahan Mencari Cara
KALAU kita lapar, ada banyak cara untuk mengatakannya. Apalagi kita sangat tahu bahwa memang sudah tiga hari kita tidak makan apa-apa.
Kita bisa bilang, "Sudah tiga hari saya tidak makan."
Atau, "Sudah tiga hari saya tidak ketemu nasi."
Atau juga, "Sudah 1/10 bulan saya tak mengisi perut."
Bisa juga, "Saya sudah lupa apa artinya kenyang."
Kalau begini?, "Duh, inikah arti lapar yang sebenarnya?"
Atau mungkin, "....lagu paling merdu tengah dinyanyikan oleh perutku..."
SAYA kira begitulah kerja menyair. Mencari apa yang hendak dipuisikan, lalu mencari cara untuk memuisikannya. Mencari? Kadang tidak harus. Kadang kita didesak, dipaksa, dipergoki, diperangkap, disudutkan, oleh sesuatu dan kita tak bisa mengelak untuk tidak memuisikannya. Kita bisa menemukannya dalam diri kita, dalam diri orang lain, atau dimana saja. Kita bisa mendapatkannya dalam peristiwa-peristiwa besar atau kejadian paling remeh sekalipun.
LALU bagaimana memuisikannya, itulah tugas dari kerja menyair berikutnya. Untuk contoh di atas, rasa lapar bisa jadi bahan yang baik untuk sebuah puisi. Bisa juga tidak. Tetapi, puisi yang baik adalah ketika kita menemukan cara paling unik, paling otentik, paling khas yang bisa kita temukan ketika mengucapkan apa yang sudah disediakan oleh bahan puisi tadi.[hah]
Kita bisa bilang, "Sudah tiga hari saya tidak makan."
Atau, "Sudah tiga hari saya tidak ketemu nasi."
Atau juga, "Sudah 1/10 bulan saya tak mengisi perut."
Bisa juga, "Saya sudah lupa apa artinya kenyang."
Kalau begini?, "Duh, inikah arti lapar yang sebenarnya?"
Atau mungkin, "....lagu paling merdu tengah dinyanyikan oleh perutku..."
SAYA kira begitulah kerja menyair. Mencari apa yang hendak dipuisikan, lalu mencari cara untuk memuisikannya. Mencari? Kadang tidak harus. Kadang kita didesak, dipaksa, dipergoki, diperangkap, disudutkan, oleh sesuatu dan kita tak bisa mengelak untuk tidak memuisikannya. Kita bisa menemukannya dalam diri kita, dalam diri orang lain, atau dimana saja. Kita bisa mendapatkannya dalam peristiwa-peristiwa besar atau kejadian paling remeh sekalipun.
LALU bagaimana memuisikannya, itulah tugas dari kerja menyair berikutnya. Untuk contoh di atas, rasa lapar bisa jadi bahan yang baik untuk sebuah puisi. Bisa juga tidak. Tetapi, puisi yang baik adalah ketika kita menemukan cara paling unik, paling otentik, paling khas yang bisa kita temukan ketika mengucapkan apa yang sudah disediakan oleh bahan puisi tadi.[hah]
Thursday, October 7, 2004
[Ruang Renung # 94] Kata dan Benda Melebur Menangkap....
BAIK juga kita renungkan petikan wawancara Abdul Wachid BS dengan penyair D Zawawi Imron. Wawancara itu dilampirkan dalam kumpulan sajak "Bantalku Ombak, Selimutku Angin" (Ittaqa Press, Agustus 1996).
APAKAH menurut Anda sajak mampu berkomunikasi dalam arti mengubah kebekuan daya kritis sosial?
SAYA memahami sajak sebagai representasi diri penyairnya. Hal ini sangat terkait dengan keterbatasan penyair itu sendiri. Saya harus mengerti keterbatasan saya. Jadi, sajak posisinya bisa seperti ceramah agama, jika orang tertarik mendengarkannya kemudian melakukannya, ya silahkan. Tapi, paling tidak sajak kan sasarannya ialah lubuk hati manusia, karenanya, tugas sajak ya memberi kesegaran-kesegeran rohani kepada manusia. Kesegaran ini macam-macam bentuknya, bisa kesegaran iman, kemanusiaan, ataupun pencerahan batiniah. Dan ada pula yang memberi gelitikan-gelitikan menghibur. Di sini peran pembaca atau apresiator menjadi penting. Sajak Chairil Anwar, misalnya, menjadi tak ada artinya apa-apa di tangan pembaca yang daya apresiasinya rendah.
DALAM kerja sajak, Anda lebih banyak menghayati atau menemukan pengertiannya terlebih dahulu?
SAYA lebih banyak menghayati, meskipun juga berusaha untuk mengerti. Latar pendidikan saya, pengetahuan saya tentang filsafat hanya sepenggal-sepenggal. Tapi, bukan berarti tidak berfikir. Kalau toh pun kini banyak menulis di luar sajak, ini pun karena penghayatan terhadap sesuatu. Dengan penghayatan ini saja, saya tak menyesal, saya telah memilih pada akhirnya terhadap apa yan saya bisa tanpa tekanana, serta dengan itikad tidak merugikan orang lain. Bersikap begini setidaknya saya telah dapat membebaskan diri dari ancaman buldozer-buldoszer spritual, juga dari berhala-berhala di luar dan dalam diri saya.
BAGAIMANA vitalitas yang demikian itu terwakili?
YA, karena keakraban dengan alam sekeliling itu lama-lama terbangun dengan rasa cinta yang mendalam. Setiap sesuatu dari alam yang saya hayati terasa ada dialog. Dan dialog itu akhirnya membawa kita kepada Yang Takterumuskan, tapi kita menghayati-Nya.
DARI dialog itu juga menjadikan benda-benda dan alam menjadi mampu mewakii diri saya. Menyebut mereka dalam sajak, seakan memandang telunjuk ajaib yang menunjukkan bayang kasih dan rida Tuhan. Mereka menjadi personifikasi. Hidup. Memang, tak terlalu jelas dan bukan melahirkan dogma-dogma. Apakah diri saya yang melebur kepada benda dan alam, ataukah benda dan alam yang melebur ke dalam diri saya. Yang penting saya telah mengalami pemenuhan spiritual dalam begitu.
TERMASUK dalam pembahasaan pengalaman itu?
KATA-KATA dengan benda sudah saling menangkap, melebur, ah maaf, saya sulit menjelaskan....
APAKAH menurut Anda sajak mampu berkomunikasi dalam arti mengubah kebekuan daya kritis sosial?
SAYA memahami sajak sebagai representasi diri penyairnya. Hal ini sangat terkait dengan keterbatasan penyair itu sendiri. Saya harus mengerti keterbatasan saya. Jadi, sajak posisinya bisa seperti ceramah agama, jika orang tertarik mendengarkannya kemudian melakukannya, ya silahkan. Tapi, paling tidak sajak kan sasarannya ialah lubuk hati manusia, karenanya, tugas sajak ya memberi kesegaran-kesegeran rohani kepada manusia. Kesegaran ini macam-macam bentuknya, bisa kesegaran iman, kemanusiaan, ataupun pencerahan batiniah. Dan ada pula yang memberi gelitikan-gelitikan menghibur. Di sini peran pembaca atau apresiator menjadi penting. Sajak Chairil Anwar, misalnya, menjadi tak ada artinya apa-apa di tangan pembaca yang daya apresiasinya rendah.
DALAM kerja sajak, Anda lebih banyak menghayati atau menemukan pengertiannya terlebih dahulu?
SAYA lebih banyak menghayati, meskipun juga berusaha untuk mengerti. Latar pendidikan saya, pengetahuan saya tentang filsafat hanya sepenggal-sepenggal. Tapi, bukan berarti tidak berfikir. Kalau toh pun kini banyak menulis di luar sajak, ini pun karena penghayatan terhadap sesuatu. Dengan penghayatan ini saja, saya tak menyesal, saya telah memilih pada akhirnya terhadap apa yan saya bisa tanpa tekanana, serta dengan itikad tidak merugikan orang lain. Bersikap begini setidaknya saya telah dapat membebaskan diri dari ancaman buldozer-buldoszer spritual, juga dari berhala-berhala di luar dan dalam diri saya.
BAGAIMANA vitalitas yang demikian itu terwakili?
YA, karena keakraban dengan alam sekeliling itu lama-lama terbangun dengan rasa cinta yang mendalam. Setiap sesuatu dari alam yang saya hayati terasa ada dialog. Dan dialog itu akhirnya membawa kita kepada Yang Takterumuskan, tapi kita menghayati-Nya.
DARI dialog itu juga menjadikan benda-benda dan alam menjadi mampu mewakii diri saya. Menyebut mereka dalam sajak, seakan memandang telunjuk ajaib yang menunjukkan bayang kasih dan rida Tuhan. Mereka menjadi personifikasi. Hidup. Memang, tak terlalu jelas dan bukan melahirkan dogma-dogma. Apakah diri saya yang melebur kepada benda dan alam, ataukah benda dan alam yang melebur ke dalam diri saya. Yang penting saya telah mengalami pemenuhan spiritual dalam begitu.
TERMASUK dalam pembahasaan pengalaman itu?
KATA-KATA dengan benda sudah saling menangkap, melebur, ah maaf, saya sulit menjelaskan....
Wednesday, October 6, 2004
[Ruang Renung # 93] Menghayati Alam Mempertanyakan Perasaan
INI salah satu sajak favorit saya. "Dingin tak Tercatat" hasil kerja menyair pujangga favorit saya Goenawan Mohamad. Sajak yang sangat sederhana. Contoh yang sangat mudah dinikmati. Bagaimana pengamatan dan penghayatan atas alam menjadi bahan baku sebuah puisi. Bahan baku itu kemudian diolah dengan menyelaraskan perasaan. Yang di luar dan yang di dalam itu kemudian hadir dalam sebuah puisi - dengan kata yang sungguh dipilih, dan kalimat yang ditarik ulur antara yang liar melintas dan yang jinak ditata. Tiga baris pada bait pertama:
Dingin tak tercatat
pada termometer
Kota hanya basah
DALAM puisi yang buruk mungkin kita akan menulis, "...betapa dingin suhu saat itu, cuaca di bawah nol derajat celcius. Seluruh kota basah..." Tetapi, penyair mencari pengucapan yang otentik atas dingin yang ia rasakan. Dingin itu dia tafsirkan. Bait berikutnya:
Angin sepanjang sungai
mengusir, tetapi kita tetap saja
di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
ANGIN yang mengusir? Kita mestinya menghindar dari hembusan angin yang dinginnya tak tercatat pada termometer. Dingin banget. Dalam bahasa puisi ini - bahasa yang melengkapi bangunan puisi ini - disebutkan angin mengusir. Tetatapi sang aku dalam puisi itu tak beranjak. Lihat bagaimana bait-bait dimainkan. Bagaimana pemenggalan kalimat jadi alat untuk memaksimalkan efek puitis. Ada perasaan terbata-bata. Gemeletuk dingin dari kalimat-kalimat yang putus dan tersambung lagi, sampai akhirnya dilengkapkan. Lalu ditutuplah puisi ini dengan semacam kesimpulan perasaan dari seluruh paparan sebelumnya:
Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?
1971
SEBUAH pertanyaan. Pertanyaan yang tak lazim. Yang hanya dimungkinkan apabila diajukan di dalam puisi. Tetapi, ketika bahagia itu dipertanyakan, justru semakin terasa bahwa bahagia itu ada. Pertanyaan itu bukan sebuah gugatan. Tapi sebagai ucapan syukur bagi Tuhan sang pemberi rasa bahagia itu. Semacam pertanyaan seorang anak kepada ayahnya yang baru saja memberi hadiah. "Ayah, kok saya dikasih baju baru, sih?"[hah]
Dingin tak tercatat
pada termometer
Kota hanya basah
DALAM puisi yang buruk mungkin kita akan menulis, "...betapa dingin suhu saat itu, cuaca di bawah nol derajat celcius. Seluruh kota basah..." Tetapi, penyair mencari pengucapan yang otentik atas dingin yang ia rasakan. Dingin itu dia tafsirkan. Bait berikutnya:
Angin sepanjang sungai
mengusir, tetapi kita tetap saja
di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
ANGIN yang mengusir? Kita mestinya menghindar dari hembusan angin yang dinginnya tak tercatat pada termometer. Dingin banget. Dalam bahasa puisi ini - bahasa yang melengkapi bangunan puisi ini - disebutkan angin mengusir. Tetatapi sang aku dalam puisi itu tak beranjak. Lihat bagaimana bait-bait dimainkan. Bagaimana pemenggalan kalimat jadi alat untuk memaksimalkan efek puitis. Ada perasaan terbata-bata. Gemeletuk dingin dari kalimat-kalimat yang putus dan tersambung lagi, sampai akhirnya dilengkapkan. Lalu ditutuplah puisi ini dengan semacam kesimpulan perasaan dari seluruh paparan sebelumnya:
Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?
1971
SEBUAH pertanyaan. Pertanyaan yang tak lazim. Yang hanya dimungkinkan apabila diajukan di dalam puisi. Tetapi, ketika bahagia itu dipertanyakan, justru semakin terasa bahwa bahagia itu ada. Pertanyaan itu bukan sebuah gugatan. Tapi sebagai ucapan syukur bagi Tuhan sang pemberi rasa bahagia itu. Semacam pertanyaan seorang anak kepada ayahnya yang baru saja memberi hadiah. "Ayah, kok saya dikasih baju baru, sih?"[hah]
[Tentang Puisi] Penyair Tidak Sendirian
.....Seorang penyair belajar dari banyak pihak: keluarga, penyair lain, kritikus, pembaca, teman, tetangga, masyarakat luas, koran, televisi dan sebagainya. Pada dasarnya, penyair memang tidak suka diganggu, namun sebenarnya ia suka juga, mungkin secara sembunyi-sembunyi, nguping pendapat pembaca. Itulah yang merupakan tanda bahwa ia tidak hidup sendirian saja di dunia; itulah pula tanda bahwa puisi yang ditulisnya benar-benar ada.
* Sapardi Djoko Damono dalam pengantar Hujan Bulan Juni, Grasindo, Jakarta, 1994.
* Sapardi Djoko Damono dalam pengantar Hujan Bulan Juni, Grasindo, Jakarta, 1994.
Siapkan Pulsa Untuk-Nya, Secukupnya
Setelah sekian lama bergaul akrab dengan sejumlah
pentolan handphone, lelaki itu kini fasih melafalkan:
"Halo...". Seperti zikir, seperti namanya sendiri.
Kadang-kadang, ketika Sang Handphone
tak berdering pun, ia suka memencet
tombol "yes", lalu serta merta bilang "Halo..."
Ia kini punya kartu nama, disana juga tertera
nomor Handphone-nya. "Hubungi aku di nomor ini,
ya!" ujarnya. "Akan kuperdengarkan, Halo yang paling khusyuk."
"Wah, nama Anda Halo, ya?" tanya seorang kolega
yang baru dijumpai pada sebuah pameran teknologi
telekomunikasi. "Ya, Halo. Itu saya. Memangnya kenapa?"
"Ah, tidak. Saya kira ada riwayat khusus, ya?"
"Ah, tidak juga. Bukankah kita harus terbiasa
dengan kata itu? Kau tahu apa yang diucapkan-Nya
ketika Dia menjawab atau memanggil kita?" - "Apa, ya?" -
"Nanti saja, kau cari dulu nomor cantik-Nya, lalu kau
hubungi Dia. Jangan lupa siapkan Pulsa. Secukupnya"
pentolan handphone, lelaki itu kini fasih melafalkan:
"Halo...". Seperti zikir, seperti namanya sendiri.
Kadang-kadang, ketika Sang Handphone
tak berdering pun, ia suka memencet
tombol "yes", lalu serta merta bilang "Halo..."
Ia kini punya kartu nama, disana juga tertera
nomor Handphone-nya. "Hubungi aku di nomor ini,
ya!" ujarnya. "Akan kuperdengarkan, Halo yang paling khusyuk."
"Wah, nama Anda Halo, ya?" tanya seorang kolega
yang baru dijumpai pada sebuah pameran teknologi
telekomunikasi. "Ya, Halo. Itu saya. Memangnya kenapa?"
"Ah, tidak. Saya kira ada riwayat khusus, ya?"
"Ah, tidak juga. Bukankah kita harus terbiasa
dengan kata itu? Kau tahu apa yang diucapkan-Nya
ketika Dia menjawab atau memanggil kita?" - "Apa, ya?" -
"Nanti saja, kau cari dulu nomor cantik-Nya, lalu kau
hubungi Dia. Jangan lupa siapkan Pulsa. Secukupnya"
[Ruang Renung # 91] Ritual Puisi Pagi Hari
SAYA tak ingin memberi catatan apapun, kali ini. Kita baca saja petikan wawancara penyair Amerika berdarah Norwegia, Robert Bly.
Pewawancara: Tahun 1998, Anda menerbitkan buku Morning Poems. Kenapa ambil judul itu?
Robert Bly: Puisi-puisi dalam buku itu saya tulis di tempat tidur, di awal pagi hari. Saya melakukan itu seperti Bill Stafford, yang seperti kau tahu, menulis puisi setiap pagi selama tak kurang dari 40 tahun.
Pewawancara: Apakah menulis pada pagi hari itu menghasilkan sejumlah puisi yang berbeda?
Robert Bly: Well, situasinya sangat tenang. Itu yang terasa sangat nyaman. Kau berbicara kepada dirimu sendiri, "Well, puisi ini mungkin tak akan jadi sesuatu yang istimewa, tapi saya akan menuliskannya dengan cara berbeda." Detail pertama yang sampai tersuguh seperti akhir sebuah jejak. Ketika sesuatu mengikuti jejak akhir itu, apa pun kemudian datang mengunjungi puisi itu. Bisa saja itu anjing berkaki tiga atau sebuah tongkat tua, atau karakter Madame Bovary. Apapun, saya menerimanya datang ke dalam puisi. Kau bisa juga membuangnya kemudian, membuang apa yang tak berseide dengan arah puisi itu. Itu yang saya suka. Kau mengikuti sebuah jejak. Kadang arusnya begitu mudahnya kita ikuti - bukankah Frost bilang, "Puisi seperti sebongkah es di atas kompor panas; es yang bergerak di atas lelehannya sendiri"? Ya, seperti itulah.[hah]
Pewawancara: Tahun 1998, Anda menerbitkan buku Morning Poems. Kenapa ambil judul itu?
Robert Bly: Puisi-puisi dalam buku itu saya tulis di tempat tidur, di awal pagi hari. Saya melakukan itu seperti Bill Stafford, yang seperti kau tahu, menulis puisi setiap pagi selama tak kurang dari 40 tahun.
Pewawancara: Apakah menulis pada pagi hari itu menghasilkan sejumlah puisi yang berbeda?
Robert Bly: Well, situasinya sangat tenang. Itu yang terasa sangat nyaman. Kau berbicara kepada dirimu sendiri, "Well, puisi ini mungkin tak akan jadi sesuatu yang istimewa, tapi saya akan menuliskannya dengan cara berbeda." Detail pertama yang sampai tersuguh seperti akhir sebuah jejak. Ketika sesuatu mengikuti jejak akhir itu, apa pun kemudian datang mengunjungi puisi itu. Bisa saja itu anjing berkaki tiga atau sebuah tongkat tua, atau karakter Madame Bovary. Apapun, saya menerimanya datang ke dalam puisi. Kau bisa juga membuangnya kemudian, membuang apa yang tak berseide dengan arah puisi itu. Itu yang saya suka. Kau mengikuti sebuah jejak. Kadang arusnya begitu mudahnya kita ikuti - bukankah Frost bilang, "Puisi seperti sebongkah es di atas kompor panas; es yang bergerak di atas lelehannya sendiri"? Ya, seperti itulah.[hah]
Tuesday, October 5, 2004
Kata Sebuah Angka
satu,
dua,
tiga,
empat,
lima,
enam,
tujuh,
delapan,
sembilan.
"Sudahkah
semua
bilangan
cacah,
kubilangkan?"
tanya
Sang
Pembilang
"Belum,"
kata
sebuah
angka.
dua,
tiga,
empat,
lima,
enam,
tujuh,
delapan,
sembilan.
"Sudahkah
semua
bilangan
cacah,
kubilangkan?"
tanya
Sang
Pembilang
"Belum,"
kata
sebuah
angka.
Monday, October 4, 2004
[Ruang Renung # 91] Melirik Mata Pisau
PISAU, kapak, sepatu, botol parfum, celana, tumpukan pakaian adalah kata benda. Adalah benda-benda mati. Di dalam puisi kita boleh membuatnya jadi hidup. Mereka boleh kita bayangkan memiliki indra seperti kita. Tentu kita harus punya alasan untuk itu, dan alasan itu harus kita hadirkan dalam puisi kita, tanpa harus terasa kehadirannya. Biarlah dia ada lewat tafsir saja. Itulah tantangannya, itulah asyiknya. Mari kita lihat kerja penyair berikut ini.
Mata Pisau
Sajak Sapardi Djoko Damono
mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.
1971
(Mata Pisau, Balai Pustaka; Cetakan Pertama 1982, Cetakan Keenam, 2000).
KEBETULAN bahasa sudah menyediakan bahan yang bagus untuk sajak ini. Kita memang menyebut bagian yang tajam pada pisau sebagai mata, bukan? Oleh penyair bahan ini diolah. Dihidupkan. Jadilah mata pisau yang tak berkejap menatapmu. Selebihnya adalah kalimat yang biasa. Pisau yang memang untuk mengiris apel. Apel yang tersedia di atas meja, sehabis makam malam.
BAHWA mata pisau itu kalau tajam tampak berkilat juga hal yang biasa. Tetapi penyair kemudian mengartikan itu sebagai kilasan pikiran sang pisau yang membayangkan urat lehermu, maka sekali lagi penyair sudah menunjukkan jerih payah kerja menyairnya. Dan dia berhasil.
RUH dari puisi ini adalah aroma pengkhianatan. Kamu yang mengasahnya justru ditatap tak berkejap dan dibayangkan urat lehernya. Memangnya, mau diapakan, sih? Ditetak? Disembelih? Ah, jangan disebutkan, biar itu menjadi bagian pembaca untuk membayangkannya. Mungkin juga, roh itu adalah kebosanan sang pisau yang selama ini hanya dipertajam untuk mengiris apel. Kita memang harus rajin merenungkan apa saja yang mungkin sedang dirudung rasa bosan. Lalu kita bantu dia menyusun sebuah pengkhianatan. Atau setidaknya menolong dia keluar dari rasa bosan. Atau mungkin kebosanan kita sendiri? Boleh juga, dan biasanya penyair pemula akan keasyikan bermain di situ. Tetapi, apapun semua jadi mungkin - antara lain - dengan menyairkannya.[hah]
Mata Pisau
Sajak Sapardi Djoko Damono
mata pisau itu tak berkejap menatapmu;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam;
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.
1971
(Mata Pisau, Balai Pustaka; Cetakan Pertama 1982, Cetakan Keenam, 2000).
KEBETULAN bahasa sudah menyediakan bahan yang bagus untuk sajak ini. Kita memang menyebut bagian yang tajam pada pisau sebagai mata, bukan? Oleh penyair bahan ini diolah. Dihidupkan. Jadilah mata pisau yang tak berkejap menatapmu. Selebihnya adalah kalimat yang biasa. Pisau yang memang untuk mengiris apel. Apel yang tersedia di atas meja, sehabis makam malam.
BAHWA mata pisau itu kalau tajam tampak berkilat juga hal yang biasa. Tetapi penyair kemudian mengartikan itu sebagai kilasan pikiran sang pisau yang membayangkan urat lehermu, maka sekali lagi penyair sudah menunjukkan jerih payah kerja menyairnya. Dan dia berhasil.
RUH dari puisi ini adalah aroma pengkhianatan. Kamu yang mengasahnya justru ditatap tak berkejap dan dibayangkan urat lehernya. Memangnya, mau diapakan, sih? Ditetak? Disembelih? Ah, jangan disebutkan, biar itu menjadi bagian pembaca untuk membayangkannya. Mungkin juga, roh itu adalah kebosanan sang pisau yang selama ini hanya dipertajam untuk mengiris apel. Kita memang harus rajin merenungkan apa saja yang mungkin sedang dirudung rasa bosan. Lalu kita bantu dia menyusun sebuah pengkhianatan. Atau setidaknya menolong dia keluar dari rasa bosan. Atau mungkin kebosanan kita sendiri? Boleh juga, dan biasanya penyair pemula akan keasyikan bermain di situ. Tetapi, apapun semua jadi mungkin - antara lain - dengan menyairkannya.[hah]
Subscribe to:
Posts (Atom)