Oleh: Medy Loekito
      Ada teori yang mengatakan, bahwa nilai sebuah puisi tak bisa lepas dari kepekaan menemukan kata dan menempatkan kata yang tepat di dalam sebuah komposisi. Pilihan kata dan tempat ini secara bersama dalam keseluruhan puisi, membawa pembaca kepada perenungan atau penemuan makna puisi. Setiap puisi pastilah memiliki satu konsep makna utama, tetapi nilai puisi tidak dapat begitu saja ditetapkan dengan mengetahui makna atau buah pikiran utamanya.
      Ketika membaca puisi-puisi Hasan Aspahani yang terbaru, timbul sebuah pertentangan mengenai konsep puisi secara umum, dan juga karakter puisi Hasan yang selama ini saya kenal. Puisi-puisi Hasan dahulu dikenal dari pilihan dan penempatan katanya yang tertata apik [baca: Cybersastra, Februari 04 2002 . Sekarang, puisi-puisi Hasan lebih mengutamakan makna dari isi.
      Misalnya bait pertama puisinya yang berjudul “Pada Suatu Sabtu Sore Bersama Kata yang Melarikan Diri”:
Pulang dari nonton film di bioskop, Sabtu sore, Penyair itu bertemu dengan serombongan kata yang berjalan tergesa-gesa tetapi tampak jelas bingung hendak pergi ke mana. Sebagai penyair yang baik tentu saja dia harus sangat peduli pada kata-kata, apalagi yang terlunta-lunta seperti kata yang dia temui saat itu.
      Ide atau makna yang dikemukakan Hasan sangat menarik dan dapat dikatakan luar biasa, yakni bahwa kata adalah harta utama penyair. Hubungan antara kata dan penyair adalah hubungan mutual saling ketergantungan, kata terlunta-lunta tanpa penyair, dan penyair tak bisa berbuat apa-apa tanpa kata. Makna ini dapat langsung terbaca pada tahap satu kali baca bait ini. Mengapa? Karena Hasan menggunakan kata-kata ungkapan yang biasa, mudah, dan langsung menuju sasaran. Sehingga kenikmatan proses “membaca puisi” terasa kurang lengkap.
      Bahasa puisi di atas terasa berbeda apabila disejajarkan dengan bahasa puisi Hasan yang berjudul “Pesan-pesan Pendek yang Dikirim dari Satu Nomor Telepon Selular ke Nomor Telepon Selular Lainnya”:
bibirku bersujud di bibirmu
lalu kita lafazkan zikir pasir
bibirku bersujud di bibirmu
hampar mulut yang pesisir
      Dalam puisi kedua ini, hanya melalui empat baris kalimat, imaginasi pembaca telah dibawa mengembara ke dataran maha luas. Mungkin kita membayangkan bibir mendekat bibir seperti saat bertemu sepasang kekasih, mungkin kita terbayang suara yang tak berwujud berusaha menyatu dengan suara lain dengan wujud yang entah, mungkin kita bayangkan dosa-dosa yang tak terhitung seperti halnya pasir, dan seterusnya. Sementara sensor visual kita mengembara dari bibir ke pasir, rasa spiritual kita pada saat yang sama tergugah untuk mencari arti dari gambaran visual maya tersebut. Seluruh indra kita bekerja sama mencari makna atau arti dari puisi tersebut sebagai akhir dari pembacaan atas sebuah puisi. Termasuk juga keindahan yang ditimbulkan dari aplikasi perfect rime yang diperhatikan dengan baik oleh Hasan.
      Meskipun judul dari puisi kedua ini agak terlalu menyimpang jauh dari kandungan isi, tetapi tampak nyata bahwa kalimat-kalimat pada contoh kedua ini adalah kalimat sebuah puisi. “Kenakalan” yang ingin ditampilkan Hasan melalui judul memang menjadi kurang total dan agak menyesatkan ketika bait-bait di dalamnya bersifat sangat religius dan serius. Untunglah, gangguan ringan dari kenakalan judul ini agak terhibur dengan bait terakhir puisi yang bergaya vers de société ini:
ini pesanku terakhir,
pulsaku habis ---
adakah voucher untuk
mengisi ulang usia?
      Bait penutup ini terasa nakal, sekaligus sakral, sarat makna dan komunikatif. Bait ini dengan patuh memenuhi kriteria sebuah puisi. Ada beberapa interpretasi yang bisa timbul dari bait ini, semisal apakah pelaku sedang berharap untuk berusia panjang? Apakah pelaku secara tersamar menyatakan bahwa lawan bicaranya sangat penting dan tersayang sehingga ia membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat bersama? Apakah penulis sedang menyindir para ilmuwan zaman sekarang yang semakin mengada-ada? Ataukah pelaku cuma hendak menyampaikan, bahwa dia tak punya uang lagi untuk isi pulsa? Pembaca diberi kebebasan penuh untuk menterjemahkan, tentu saja setelah dirunut dari bait-bait sebelumnya.
Selanjutnya, pada puisi “Tentang Seorang Pengemis”, Hasan berkata:
Si pengemis yang berangkat subuh tadi, diam-diam menyingkir. Dengan sisa tenaga melenggang pulang ke gubuk masa lalunya. Sambil menggerutu: huh, mau dapat sehelai puisi saja minta ampun susahnya. Tapi, diam-diam dia bersyukur juga telah memilih jadi pengemis, bukan penyair yang kerap direpotkan oleh puisi-puisi sendiri.
      Puisi ini juga memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Tetapi, sebagaimana pada puisi pertama di atas, pembaca tidak perlu bersusah-payah berkonsentrasi, merenung dan mencari arti kata. Tahapan-tahapan mencapai arti yang biasanya terbaca melalui baris demi baris kalimat dalam puisi, tidak terjadi dalam puisi ini. Padahal salah satu keunikan puisi, adalah perjalanan pembaca memahami kalimat demi kalimat.
      Membaca puisi adalah sebuah proses penciptaan arti yang bebas dilakukan oleh setiap pembaca, bahkan oleh satu pembaca tetapi pada saat yang berbeda. Suatu proses yang membutuhkan waktu, dan setiap proses selalu terdiri dari tahapan-tahapan atau jenjang-jenjang. Itulah sebabnya puisi selalu mengandung kata-kata yang oleh beberapa orang dianggap misterius dan bahkan tidak memiliki arti. Semisal puisi Hasan yang berjudul “Bermain Kertas Bersama Ikra”:
selembar kertas putih kulipat rapi dalam ingatan
di antara tekukannya, kuselip nama-nama. Dan
kadang aku ingin sekali, ikut sembunyi di sana
menyusup hilang, diam di serat-seratnya. Tapi
      Emosi, relasi keputusasaan atas kehidupan, kenangan, atau mungkin juga kebahagiaan, bermain-main bersama di saat membaca larik-larik puisi ini. Di dalam puisi ini Hasan menggunakan simbol konvensional, yang boleh diartikan dari kedua sudutnya, yakni arti simbolis maupun arti literalnya. Simbol kertas putih bisa berarti lembar kehidupan, bisa juga diartikan sebagai selembar kertas sesungguhnya.
      Pada kalimat-kalimat puisi terakhir ini, dari pengartian emosi kata dan simbol saja, berbagai interpretasi bisa muncul. Pembaca diberi kebebasan untuk memaknai puisi ini, meskipun sekali lagi, pemilihan judul agak membatasi kebebasan tersebut. Hasan kembali terperangkap dalam pemilihan judul yang secara tidak disadari menyekap keluasan makna puisinya. Apabila, misalnya, Hasan memilih judul “Bermain Kertas” saja, maka puisi dapat bergerak bebas, baik menjadi kertas senyata lembar tipis untuk menulis, juga bisa menjadi lembar-lembar berkonotasi lain yang tak terbatas, seperti lembar kehidupan, lembar rasa hati, lembar pertengkaran, lembar usia, dan lain sebagainya.
      Pada akhirnya, saya pikir ada baiknya apabila Hasan memilah-milah dengan lebih jeli, mana yang disebut puisi, dan mana yang disebut cerpen. Apabila karya, seperti contoh pertama di atas, disebut sebagai cerpen, tentulah dia akan menjadi cerpen yang sukses. Tetapi tidak demikian halnya apabila disebutnya sebagai puisi. Pendapat yang pernah dilontarkan secara enteng oleh Sutardji Calzoum Bachri, bahwa “puisi adalah tulisan yang kau niatkan sebagai puisi”, seyogyanya tidak diartikan secara sederhana untuk menghibur diri atau berkelit dari tanggung-jawab. Sama halnya dengan memasak soto tapi kita memberi halusinasi pada diri sendiri bahwa kita memasak cap cay.
      Pendapat atas karya Hasan ini tentu tidak utuh, sebab contoh-contoh yang saya amati tidak dapat dianggap mewakili. Terlepas dari penamaan jenis tulisannya, menurut saya, Hasan menyimpan ide-ide yang menakjubkan. Hasan juga memiliki kelebihan berbahasa komunikatif, di samping kepiawaian berbahasa puitik.
      Sebagai penutup, saya kutipkan tulisan Hasan:
Kenapa kita tidak menetap saja di sini, tak musti
disiksa oleh jarak-jarak yang kita bikin sendiri,
.....
Kenapa kita tidak berumah saja pada sepatu kita yang tak
pernah ingin berhenti? Melepas tamu dan dilepas sebagai
tamu juga.....
Selamat berkarya, kawan!
Jakarta, Januari 2004