/1/
Telah ditulisnya sebuah surat.
"Nah, ini saat mencari alamat!"
/2/
Dikoyaknya juga amplop bertepi
merah biru itu. Surat yang berkali-kali
ditolaknya, bertulisan nama & alamat
yang sudah lama ia sembunyikan.
"Salah alamat, Tuan!" Selalu begitu
katanya kepada Tukang Pos yang
makin lama terasa makin asing.
Dibacanya juga, selembar kertas
yang cuma bertulisan, "Selamat.
Telah lama, kami salah alamat!"
/3/
Dia bepergian jauh sekali.
Rumahnya ditinggalkan terkunci.
Kepada Tukang Pos, dia berpesan:
"Kalau ada surat, masukkan saja lewat
celah jendela. Prangkonya ambil saja.
Buat koleksi. Filateli."
Dia bepergian jauh sekali.
Mencari kartu pos yang paling indah,
untuk dikirimkannya ke rumah sendiri.
"Anda mau gambar apa, Tuan?"
tanya cewek penjaga kedai cindera mata,
di sebuah kota yang iseng disinggahinya.
Dia memilih-milih kartu
yang berserak di keranjang: ikan,
burung, gunung, jam, langit, gadis,
senyum, kanak-kanak....
Dia tak memilih apa-apa, hanya
bertanya, "peti mati ada?"
"Apa? Peta?"
"Ah, tidak. Lupakan saja..."
/4/
Setiap kali melewati rumah itu,
Si Tukang Pos selalu merasa
ada selembar surat yang harus
diantarnya ke sana. Tapi tak ada.
Ia hanya merasa ada. Hanya.
"Mungkin besok," bisiknya.
Seperti ada yang bertanya,
di rumah itu tak ada siapa.
"Besok. Mungkin. Besok?
Mungkin?" Lama-lama dia makin
terpesona dengan keduanya.
Jan 2004