MENULIS puisi -- dalam tulisan ini, kali ini -- akan kita ibaratkan membuat karangan bunga. Daun-daun, tangkainya, kelopak, mahkota dan bahkan urat-urat daun, adalah kata-kata yang berserak, terpisah dan tugas kita merangkainya, membuatnya jadi puisi, menjadi karangan bunga. Kita bisa memulainya dengan menyusun urat-urat daun, lalu memasang tangkai, mengurut daunnya di batang; sementara itu kita juga menyusun kelopak demi kelopak. Mematut-matut warna. Mengolah frasa.
    Mengolah frasa? Ya, karena kata terbatas. Tetapi frasa bisa kita maksimalkan. Tanpa batasan. Berlatihlah membuat frasa. Kalau pelukis penting kita Fadjar Sidik mewajibkan mahasiswanya membuat 1.000 sketsa, kenapa tidak paksa diri kita membuat 1.000 frasa? Mari kita mulai membuatnya...: jatuh ke dalam air mata, menjemput yang tak ada di dada, dada langit, jari-jari bernafas, tato dalam ingatan, poster lupa, dinding-dinding berkejaran, perangkap sayap, jebak inbox, garam-garam program, ke langit laut surut.... nah, belum seribu!
    Rangkaian puisi yang baik, seperti bunga sesungguhnya. Pembaca bebas membayangkan ada titik embun di sana, mencium wangi puisi kita. Atau wangi dan embun itu memang ada di kelopak-kelopak puisi kita? [hah]