Syair Rabindranath Tagore
Melangkah sendiri aku di jalan itu, di seberang
padang padi, matahari di sana sedang tenggelam
bagai si kikir menyembunyi kilauan emas terakhir.
Terang siang tenggelam dalam dan lebih dalam
ke peluk gelap, dan panen telah dipungut dari ladang,
menjanda ditinggal petani, ia terhampar menyepi.
Tiba-tiba ada lengking suara bocah nyaring, menuding
ke langit. Tak tampak mata dilintasnya gelap angkasa,
lihat jejak nada lagunya, memintasi diamnya malam.
Kampung halamannya ada di sana, di ujung lahan kosong,
di antara ladang tebu, tersembunyi di antara bayang
pisang dan lampai pinang, pohon kelapa, dan nangka
hijau tua.
Aku sejenak menjeda langkah, diam sendiri di sinar bintang,
dan menebar pandang ke belakang, bumi mengelam,
mengepungkan gelap dengan lengan-lengannya, rumah
tak terbilang berperkakas buaian dan ranjang nyaman,
hati ibu dan lentera malam, dan hidup mula yang gembira
dengan kegirangan yang tak pernah tahu betapa bernilainya
dia bagi dunia.
* Dari The Home, syair pertama dari rangkaia 40 syair
dalam The Crescent Moon.
///
THE HOME
I paced alone on the road across the field while the sunset was
hiding its last gold like a miser.
The daylight sank deeper and deeper into the darkness, and the
widowed land, whose harvest had been reaped, lay silent.
Suddenly a boy's shrill voice rose into the sky. He traversed
the dark unseen, leaving the track of his song across the hush of
the evening.
His village home lay there at the end of the waste land, beyond
the sugar-cane field, hidden among the shadows of the banana and
the slender areca palm, the cocoa-nut and the dark green
jack-fruit trees.
I stopped for a moment in my lonely way under the starlight, and
saw spread before me the darkened earth surrounding with her arms
countless homes furnished with cradles and beds, mothers' hearts
and evening lamps, and young lives glad with a gladness that
knows nothing of its value for the world.