Sajak Pablo Neruda
Hari ini, Sekarang ini, gelas penuh terisi.
Hari ini, Sekarang ini, ombak membenam diri.
Hari ini, hari bagi segenap Bumi.
Hari ini, badai memandu arus laut
kita terjunjung dalam sekecup kecupan
kita tersanjung, lalu berguncang bergetaran
dalam sekilau sambar sinar halilintar
kita terikat satu, lalu rebah jatuh,
beruntuhan, tanpa lagi ada ikatan.
Hari ini tubuh-tubuh kita tumbuh
meraksasa hingga batas bumi jauh,
lalu mengorbit di sana, meluluh di sana,
bagai globa lilin, atau nyala ekor api meteor.
Ada pintu asing membuka, di antara kita,
dan seseorang, yang tak berwajah juga,
menunggu kita, di sana.
* Dari The Eigth of September dalam Versos del Capitan.
-----
The Eighth of September
This day, Today, was a brimming glass.
This day, Today, was an immense wave.
This day was all the Earth.
This day, the storm-driven ocean
lifted us up in a kiss
so exalted we trembled
at the lightning flash
and bound as one, fell,
and drowned, without being unbound.
This day our bodies grew
stretched out to Earth’s limits,
orbited there, melded there
to one globe of wax, or a meteor’s flame.
A strange door opened, between us,
and someone, with no face as yet,
waited for us there.
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Saturday, January 31, 2004
Serat Pinus Rambutmu*
Sajak Pablo Neruda
Dari gugus pulau, serat pinus rambutmu,
daging tubuhmu diramu ribuan abad waktu,
urat nadi yang tahu sesamudera kayu,
hujan darah, hijau, dari langit ke kenangku.
Tak ada yang mampu memerangkap hatiku,
sesat di akar-akar, dingin sekali matahari,
dalam didih air, cahayanya mengganda diri:
di sana hidup bayang, tak terpisah dariku.
Maka kau bangkit di Selatan bak pulau kecil,
memuncak, berbiak, bulu burung dan kayu,
dan kuinderai bebauan: hutan pengembaraan.
Kutemukan madu hitam, madu dari hutan,
kusentuh pinggulmu, kelopak-kelopak bayang
yang lahir mengembariku, membentuk jiwaku.
*Sajak ke-30 dalam "Cien Sonetos de Amor"
----
From the archipelago you have hair of larch fibres,’
From the archipelago you have hair of larch fibres,
flesh that was realised by aeons of time,
veins that have known oceans of timber,
green blood dropped from the sky into memory.
No one can recapture my heart, lost
among so many roots, in the bitter cool
of the sun’s rays multiplied by seething of waters:
there lives the shadow that does not depart with me.
So you rose out of the South like an islet,
crowned, populated, by plumage and timber,
and I sensed the fragrance of wandering woodland.
I found the dark honey I knew in the forest,
and touched at your hips the petals of shadow
that were born with me and that formed my soul.
Dari gugus pulau, serat pinus rambutmu,
daging tubuhmu diramu ribuan abad waktu,
urat nadi yang tahu sesamudera kayu,
hujan darah, hijau, dari langit ke kenangku.
Tak ada yang mampu memerangkap hatiku,
sesat di akar-akar, dingin sekali matahari,
dalam didih air, cahayanya mengganda diri:
di sana hidup bayang, tak terpisah dariku.
Maka kau bangkit di Selatan bak pulau kecil,
memuncak, berbiak, bulu burung dan kayu,
dan kuinderai bebauan: hutan pengembaraan.
Kutemukan madu hitam, madu dari hutan,
kusentuh pinggulmu, kelopak-kelopak bayang
yang lahir mengembariku, membentuk jiwaku.
*Sajak ke-30 dalam "Cien Sonetos de Amor"
----
From the archipelago you have hair of larch fibres,’
From the archipelago you have hair of larch fibres,
flesh that was realised by aeons of time,
veins that have known oceans of timber,
green blood dropped from the sky into memory.
No one can recapture my heart, lost
among so many roots, in the bitter cool
of the sun’s rays multiplied by seething of waters:
there lives the shadow that does not depart with me.
So you rose out of the South like an islet,
crowned, populated, by plumage and timber,
and I sensed the fragrance of wandering woodland.
I found the dark honey I knew in the forest,
and touched at your hips the petals of shadow
that were born with me and that formed my soul.
Permainan*
Syair Rabindranath Tagore
Alangkah riang bahagianya engkau, Nak, duduk di tanah
penuh debu, sepanjang pagi itu, bermain patahan ranting.
Aku tersenyum melihat engkau, bermain patahan ranting.
Saat itu, aku disibukkan hitungan, menjumlah bilangan.
Mungkin saja saat itu, engkau mengilaskan pandang
ke padaku, dan berfikir, "Mau-maunya, sepagi ini
waktu dihabiskan dengan permainan bodoh itu."
Aku sudah lupa, nak, bagaiamanakah cara menikmati
seni bermain dengan tongkat-tongkat dan kue lumpur.
Aku mencari permainan yang mahal-mahal, dan
mengumpul bongkah-bongkah emas dan perak.
Dengan apa saja kau jumpai, kau cipta permainan,
kau buat kegembiraan, sementara aku habis waktu
habis pula tenaga mencari yang tak terdapatkan.
Dengan kanu rapuh, hendak kulawan laut keinginan,
Terlupa: permainan, yang mestinya menggembirakan.
* Syair ke-12 The Crescent Moon.
Alangkah riang bahagianya engkau, Nak, duduk di tanah
penuh debu, sepanjang pagi itu, bermain patahan ranting.
Aku tersenyum melihat engkau, bermain patahan ranting.
Saat itu, aku disibukkan hitungan, menjumlah bilangan.
Mungkin saja saat itu, engkau mengilaskan pandang
ke padaku, dan berfikir, "Mau-maunya, sepagi ini
waktu dihabiskan dengan permainan bodoh itu."
Aku sudah lupa, nak, bagaiamanakah cara menikmati
seni bermain dengan tongkat-tongkat dan kue lumpur.
Aku mencari permainan yang mahal-mahal, dan
mengumpul bongkah-bongkah emas dan perak.
Dengan apa saja kau jumpai, kau cipta permainan,
kau buat kegembiraan, sementara aku habis waktu
habis pula tenaga mencari yang tak terdapatkan.
Dengan kanu rapuh, hendak kulawan laut keinginan,
Terlupa: permainan, yang mestinya menggembirakan.
* Syair ke-12 The Crescent Moon.
Kusebut Kursi Kesekian Kali
Javier Manriq, "Breton Chairs" 2000-1, mixed media on board
...Katakan padaku, hai Tukang Kayu
bagaimana caranya membuat Kursi?
Thursday, January 29, 2004
Sajak Sajak Jimmy Santiago Baca
Bagiku, Diri Sendiri
Tanganku Tonggak,
badai menggantung topinya di sana,
Dadaku badai Arroyo,
amuk angin menghempas air,
Alisku Cakrawala,
ada matahari terbit di situ,
Hatiku Fajar,
melambaikan biru benang hari,
Dan Jiwaku,
adalah Lagu seluruh hidup....
Seperti Binatang
Di belakang halus tekstur pandang
mataku, jalan di sampingku,
Sebagian dari tubuhku mati:
kugerakkan jemariku berdarah
menyentuh tubuhku, sekeras kayu,
terus kugerakkan jariku,
Kapur putih takut memucat
di papan itu tertulis: AKU TAKUT,
takut kelak jadi apa aku?
sesungguh-sungguhnya aku,
di balik dinding penjara ini.
Tanganku Tonggak,
badai menggantung topinya di sana,
Dadaku badai Arroyo,
amuk angin menghempas air,
Alisku Cakrawala,
ada matahari terbit di situ,
Hatiku Fajar,
melambaikan biru benang hari,
Dan Jiwaku,
adalah Lagu seluruh hidup....
Seperti Binatang
Di belakang halus tekstur pandang
mataku, jalan di sampingku,
Sebagian dari tubuhku mati:
kugerakkan jemariku berdarah
menyentuh tubuhku, sekeras kayu,
terus kugerakkan jariku,
Kapur putih takut memucat
di papan itu tertulis: AKU TAKUT,
takut kelak jadi apa aku?
sesungguh-sungguhnya aku,
di balik dinding penjara ini.
Wednesday, January 28, 2004
Pohon Banyan*
Syair Rabindranath Tagore
O, kau pohon banyan bertajuk kusut
bertegak diri di bantaran tepian danau,
sudahkah kau lupakan dia: bocah kecil,
bagai burung-burung mungil yang pernah
bersarang di cabangmu, lalu pergilah ia?
Tidak ingatkah kau? Dia di bingkai jendela
mengagumi liuk akarmu menembus bumi?
Para perempuan datang ke danau, menimba
air, mengisi kendi-kendi, dan bayanganmu
- besar dan hitam - bergeliat di muka air
bagai tidur yang hendak dibangunkan.
Sinar matahari menari dari riak ke riak kecil,
serabut kecil, tak letih menenun tapestri.
Dua bebek berenangan, batas rumpun rumput,
di keteduhanmu, bocah duduk nerawang diam.
Dia rindu: jadi angin hembus di kelidan cabangmu,
ingin jadi bayang memanjang bersama lalu siang,
ingin jadi burung hinggap di ranting paling pucukmu,
ingin terapung bagai bebek, di sela rumput & bayang.
* Syair ke-35, The Crescent Moon.
THE BANYAN TREE
O you shaggy-headed banyan tree standing on the bank of the pond,
have you forgotten the little child, like the birds that have
nested in your branches and left you?
Do you not remember how he sat at the window and wondered at the
tangle of your roots that plunged underground?
The women would come to fill their jars in the pond, and your
huge black shadow would wriggle on the water like sleep
struggling to wake up.
Sunlight danced on the ripples like restless tiny shuttles
weaving golden tapestry.
Two ducks swam by the weedy margin above their shadows, and the
child would sit still and think.
He longed to be the wind and blow through your rustling branches,
to be your shadow and lengthen with the day on the water, to be a
bird and perch on your top-most twig, and to float like those
ducks among the weeds and shadows.
O, kau pohon banyan bertajuk kusut
bertegak diri di bantaran tepian danau,
sudahkah kau lupakan dia: bocah kecil,
bagai burung-burung mungil yang pernah
bersarang di cabangmu, lalu pergilah ia?
Tidak ingatkah kau? Dia di bingkai jendela
mengagumi liuk akarmu menembus bumi?
Para perempuan datang ke danau, menimba
air, mengisi kendi-kendi, dan bayanganmu
- besar dan hitam - bergeliat di muka air
bagai tidur yang hendak dibangunkan.
Sinar matahari menari dari riak ke riak kecil,
serabut kecil, tak letih menenun tapestri.
Dua bebek berenangan, batas rumpun rumput,
di keteduhanmu, bocah duduk nerawang diam.
Dia rindu: jadi angin hembus di kelidan cabangmu,
ingin jadi bayang memanjang bersama lalu siang,
ingin jadi burung hinggap di ranting paling pucukmu,
ingin terapung bagai bebek, di sela rumput & bayang.
* Syair ke-35, The Crescent Moon.
THE BANYAN TREE
O you shaggy-headed banyan tree standing on the bank of the pond,
have you forgotten the little child, like the birds that have
nested in your branches and left you?
Do you not remember how he sat at the window and wondered at the
tangle of your roots that plunged underground?
The women would come to fill their jars in the pond, and your
huge black shadow would wriggle on the water like sleep
struggling to wake up.
Sunlight danced on the ripples like restless tiny shuttles
weaving golden tapestry.
Two ducks swam by the weedy margin above their shadows, and the
child would sit still and think.
He longed to be the wind and blow through your rustling branches,
to be your shadow and lengthen with the day on the water, to be a
bird and perch on your top-most twig, and to float like those
ducks among the weeds and shadows.
Tuesday, January 27, 2004
[Ruang Renung # 58] Hawking di Celana Joko Pinurbo
Celana (2)
Sajak Joko Pinurbo
Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar
celana yang bagus dan sopan, tapi tak pernah
diajar melukis seluk-eluk yang di dalam celana
sehingga kami tumbuh menjadi anak-anak manis
yang penakut dan pengecut, bahkan terhadap
nasibnya sendiri.
Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi
membuat coretan dan gambar porno di tembok
kamar mandi, sehingga kami pun terbiasa menjadi
orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri.
Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi
tentang hal-ihwal yang di dalam celana:
   ada raja kecil yang galak dan suka
     memberontak
   ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk
     merenungi rahasia alam semesta
   ada gunung berapi yang menyimpan
     sejuta magma
   ada juga gua garba yang diziarahi
     pada pendosa dan pendoa.
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana
dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
(1996)
* Dari buku Celana, Indonesia Tera, 1999.
     TENGOK pada bait terakhir saja. Ada nama Columbus dan Stephen Hawking disebut oleh penyair di sana. Renungannya adalah: sesekali kita boleh menculik nama tokoh mahsyur ke dalam puisi kita. Pertimbangannya adalah: tokoh tersebut harus sudah menjadi ikon dalam sejarah, menjadi legenda. Sehingga dengan menyebut namanya saja terbentanglah sederetan panjang kisah, dan seperangkat pengetahuan umum yang memperkuat bangunan puisi kita. Apalagi bila kita dukung nama-nama yang kita culik itu dengan kalimat yang pas. Pada contoh diatas Columbus diberi kalimat .."menemukan sebuah benua baru..." Sementara Hawking ... "khusyuk bertapa". Si pembaca yang tidak tahu siapa Hawking dan Columbus tentu tidak banyak menarik makna dari kalimat itu. Kesimpulannya: menjadi penulis dan pembaca puisi yang baik harus punya bekal pengetahuan umum yang banyak.[hah]
2 Pantun & 2 Larik
Di meja gambar, pucat selembar kertas
dibayangkannya engkau tertidur. Pulas,
Di jarak tak terkejar itu, tak berbatas
direncanakannya petualangan. Buas!
+ Di luar garis langit, ada suara jerit.
Gambar gagal, kertas beribu lembar.
"Aku tak pandai melukis suara lapar!"
Beribu pada padang luas, belukar,
"Aku lahirkan diri sendiri. Dengar!"
+ Darah tinta, satu-satunya warna.
Jan 2004
dibayangkannya engkau tertidur. Pulas,
Di jarak tak terkejar itu, tak berbatas
direncanakannya petualangan. Buas!
+ Di luar garis langit, ada suara jerit.
Gambar gagal, kertas beribu lembar.
"Aku tak pandai melukis suara lapar!"
Beribu pada padang luas, belukar,
"Aku lahirkan diri sendiri. Dengar!"
+ Darah tinta, satu-satunya warna.
Jan 2004
Sunday, January 25, 2004
[Ruang Renung # 57] Berburu Kata Lama
daitia: sl. raksasa
daksina : sl. selatan
danawa: sl. raksasa
derana: sabar
derji : tukang jahit pakaian dsb.
deruji: terali, kisi-kisi
desur: tiruan bunyi hampir sama dengan desar, desir.
detas: tiruan bunyi seperti kulit telur pecah, dsb.
dewana: sl edan, gila, kasmaran.
    KATA-kata di atas beserta uraiannya dikutip dari Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS Poerwadarminta, diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, terbitan Balai Pustaka. SL menunjukkan kata itu ada dalam sastra lama. Kata itu tidak atau jarang dipakai lagi dalam bahasa tulis terlebih lagi bahasa percakapan saat ini.
    Rasanya, kata-kata unik itu bisa kita pakai untuk memperkaya puisi-puisi kita. Kapan? Mungkin beberapa hal berikut bisa dipertimbangkan. Pertama, jangan memaksa kata-kata ajaib itu masuk ke dalam puisi. Nanti jadi lucu. Dia akan terasa asing.
   Kedua, karena itu susunlah seperangkat alasan puitik, agar kata itu memang pantas hadir di dalam puisi yang hendak kita buat. Mungkin kita mempertimbangkan bunyi, mungkin kita menginginkan variasi kata agar terhindar mengucap kata yang sama, padahal kita memang perlu mengulangnya. Ketiga, nah ternyata menyair itu asyik. Keasyikan itu juga bisa dinikmati dari berburu kata-kata lama dan menghadirkannya (atau tidak menghadirkannya) di dalam puisi.
   Ada sejumlah kosa kata di luar sana yang jauh dari ucap lidah kita. Padahal kata itu adalah bagian dari bahasa kita. Bahkan seorang Sapardi Djoko Damono mengaku tersesat ketika membaca puisi-puisi Rida K Liamsi dalam kumpulan sajak Tempuling. Rida akrab dengan laut, karena lahir dan besar di Kepulauan Riau. Sapardi yang besar di gunung itu mengaku harus berkali-kali membuka kamus, dan kata itu memang ada di sana. Kata 'tempuling' itu contohnya. Cobalah buka kamus untuk tahu apa artinya. Rida tidak. Dia akrab dengan kata itu. Dia langsung mencomotnya dari bahasa yang menghidupinya.
    Tetapi, sekali lagi jangan paksa diri kita. Bila dengan kata-kata yang umum saja kita bisa membuat sebuah puisi yang dahsyat, kenapa kita harus merumitkannya? Tetapi, bila memang kata "aneh" itu memang punya alasan untuk hadir dalam puisi kita, kenapa juga kita menolaknya?[hah]
daksina : sl. selatan
danawa: sl. raksasa
derana: sabar
derji : tukang jahit pakaian dsb.
deruji: terali, kisi-kisi
desur: tiruan bunyi hampir sama dengan desar, desir.
detas: tiruan bunyi seperti kulit telur pecah, dsb.
dewana: sl edan, gila, kasmaran.
    KATA-kata di atas beserta uraiannya dikutip dari Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS Poerwadarminta, diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, terbitan Balai Pustaka. SL menunjukkan kata itu ada dalam sastra lama. Kata itu tidak atau jarang dipakai lagi dalam bahasa tulis terlebih lagi bahasa percakapan saat ini.
    Rasanya, kata-kata unik itu bisa kita pakai untuk memperkaya puisi-puisi kita. Kapan? Mungkin beberapa hal berikut bisa dipertimbangkan. Pertama, jangan memaksa kata-kata ajaib itu masuk ke dalam puisi. Nanti jadi lucu. Dia akan terasa asing.
   Kedua, karena itu susunlah seperangkat alasan puitik, agar kata itu memang pantas hadir di dalam puisi yang hendak kita buat. Mungkin kita mempertimbangkan bunyi, mungkin kita menginginkan variasi kata agar terhindar mengucap kata yang sama, padahal kita memang perlu mengulangnya. Ketiga, nah ternyata menyair itu asyik. Keasyikan itu juga bisa dinikmati dari berburu kata-kata lama dan menghadirkannya (atau tidak menghadirkannya) di dalam puisi.
   Ada sejumlah kosa kata di luar sana yang jauh dari ucap lidah kita. Padahal kata itu adalah bagian dari bahasa kita. Bahkan seorang Sapardi Djoko Damono mengaku tersesat ketika membaca puisi-puisi Rida K Liamsi dalam kumpulan sajak Tempuling. Rida akrab dengan laut, karena lahir dan besar di Kepulauan Riau. Sapardi yang besar di gunung itu mengaku harus berkali-kali membuka kamus, dan kata itu memang ada di sana. Kata 'tempuling' itu contohnya. Cobalah buka kamus untuk tahu apa artinya. Rida tidak. Dia akrab dengan kata itu. Dia langsung mencomotnya dari bahasa yang menghidupinya.
    Tetapi, sekali lagi jangan paksa diri kita. Bila dengan kata-kata yang umum saja kita bisa membuat sebuah puisi yang dahsyat, kenapa kita harus merumitkannya? Tetapi, bila memang kata "aneh" itu memang punya alasan untuk hadir dalam puisi kita, kenapa juga kita menolaknya?[hah]
Komik-komik Satu Panel
/1/
Telah ditulisnya sebuah surat.
"Nah, ini saat mencari alamat!"
/2/
Dikoyaknya juga amplop bertepi
merah biru itu. Surat yang berkali-kali
ditolaknya, bertulisan nama & alamat
yang sudah lama ia sembunyikan.
"Salah alamat, Tuan!" Selalu begitu
katanya kepada Tukang Pos yang
makin lama terasa makin asing.
Dibacanya juga, selembar kertas
yang cuma bertulisan, "Selamat.
Telah lama, kami salah alamat!"
/3/
Dia bepergian jauh sekali.
Rumahnya ditinggalkan terkunci.
Kepada Tukang Pos, dia berpesan:
"Kalau ada surat, masukkan saja lewat
celah jendela. Prangkonya ambil saja.
Buat koleksi. Filateli."
Dia bepergian jauh sekali.
Mencari kartu pos yang paling indah,
untuk dikirimkannya ke rumah sendiri.
"Anda mau gambar apa, Tuan?"
tanya cewek penjaga kedai cindera mata,
di sebuah kota yang iseng disinggahinya.
Dia memilih-milih kartu
yang berserak di keranjang: ikan,
burung, gunung, jam, langit, gadis,
senyum, kanak-kanak....
Dia tak memilih apa-apa, hanya
bertanya, "peti mati ada?"
"Apa? Peta?"
"Ah, tidak. Lupakan saja..."
/4/
Setiap kali melewati rumah itu,
Si Tukang Pos selalu merasa
ada selembar surat yang harus
diantarnya ke sana. Tapi tak ada.
Ia hanya merasa ada. Hanya.
"Mungkin besok," bisiknya.
Seperti ada yang bertanya,
di rumah itu tak ada siapa.
"Besok. Mungkin. Besok?
Mungkin?" Lama-lama dia makin
terpesona dengan keduanya.
Jan 2004
Telah ditulisnya sebuah surat.
"Nah, ini saat mencari alamat!"
/2/
Dikoyaknya juga amplop bertepi
merah biru itu. Surat yang berkali-kali
ditolaknya, bertulisan nama & alamat
yang sudah lama ia sembunyikan.
"Salah alamat, Tuan!" Selalu begitu
katanya kepada Tukang Pos yang
makin lama terasa makin asing.
Dibacanya juga, selembar kertas
yang cuma bertulisan, "Selamat.
Telah lama, kami salah alamat!"
/3/
Dia bepergian jauh sekali.
Rumahnya ditinggalkan terkunci.
Kepada Tukang Pos, dia berpesan:
"Kalau ada surat, masukkan saja lewat
celah jendela. Prangkonya ambil saja.
Buat koleksi. Filateli."
Dia bepergian jauh sekali.
Mencari kartu pos yang paling indah,
untuk dikirimkannya ke rumah sendiri.
"Anda mau gambar apa, Tuan?"
tanya cewek penjaga kedai cindera mata,
di sebuah kota yang iseng disinggahinya.
Dia memilih-milih kartu
yang berserak di keranjang: ikan,
burung, gunung, jam, langit, gadis,
senyum, kanak-kanak....
Dia tak memilih apa-apa, hanya
bertanya, "peti mati ada?"
"Apa? Peta?"
"Ah, tidak. Lupakan saja..."
/4/
Setiap kali melewati rumah itu,
Si Tukang Pos selalu merasa
ada selembar surat yang harus
diantarnya ke sana. Tapi tak ada.
Ia hanya merasa ada. Hanya.
"Mungkin besok," bisiknya.
Seperti ada yang bertanya,
di rumah itu tak ada siapa.
"Besok. Mungkin. Besok?
Mungkin?" Lama-lama dia makin
terpesona dengan keduanya.
Jan 2004
[Ruang Renung # 56] Rangkain Kata, Rangkaian Bunga
     MENULIS puisi -- dalam tulisan ini, kali ini -- akan kita ibaratkan membuat karangan bunga. Daun-daun, tangkainya, kelopak, mahkota dan bahkan urat-urat daun, adalah kata-kata yang berserak, terpisah dan tugas kita merangkainya, membuatnya jadi puisi, menjadi karangan bunga. Kita bisa memulainya dengan menyusun urat-urat daun, lalu memasang tangkai, mengurut daunnya di batang; sementara itu kita juga menyusun kelopak demi kelopak. Mematut-matut warna. Mengolah frasa.
    Mengolah frasa? Ya, karena kata terbatas. Tetapi frasa bisa kita maksimalkan. Tanpa batasan. Berlatihlah membuat frasa. Kalau pelukis penting kita Fadjar Sidik mewajibkan mahasiswanya membuat 1.000 sketsa, kenapa tidak paksa diri kita membuat 1.000 frasa? Mari kita mulai membuatnya...: jatuh ke dalam air mata, menjemput yang tak ada di dada, dada langit, jari-jari bernafas, tato dalam ingatan, poster lupa, dinding-dinding berkejaran, perangkap sayap, jebak inbox, garam-garam program, ke langit laut surut.... nah, belum seribu!
    Rangkaian puisi yang baik, seperti bunga sesungguhnya. Pembaca bebas membayangkan ada titik embun di sana, mencium wangi puisi kita. Atau wangi dan embun itu memang ada di kelopak-kelopak puisi kita? [hah]
    Mengolah frasa? Ya, karena kata terbatas. Tetapi frasa bisa kita maksimalkan. Tanpa batasan. Berlatihlah membuat frasa. Kalau pelukis penting kita Fadjar Sidik mewajibkan mahasiswanya membuat 1.000 sketsa, kenapa tidak paksa diri kita membuat 1.000 frasa? Mari kita mulai membuatnya...: jatuh ke dalam air mata, menjemput yang tak ada di dada, dada langit, jari-jari bernafas, tato dalam ingatan, poster lupa, dinding-dinding berkejaran, perangkap sayap, jebak inbox, garam-garam program, ke langit laut surut.... nah, belum seribu!
    Rangkaian puisi yang baik, seperti bunga sesungguhnya. Pembaca bebas membayangkan ada titik embun di sana, mencium wangi puisi kita. Atau wangi dan embun itu memang ada di kelopak-kelopak puisi kita? [hah]
Saturday, January 24, 2004
Oda bagi Benda Rusak
Sajak Pablo Neruda
Banyak barang rusak
di rumah
rusak karena jatuh
terdorong tangan tak tampak,
memang kerja si pelabrak.
Tapi itu bukan tanganku
juga bukan tanganmu
Itu juga bukan para gadis
yang kuku-kuku jarinya keras
juga bukan gerak planet bumi.
Itu bukan seseorang, bukan sesuatu
Itu bukan angin
Itu juga bukan petang warna oranye
Atau malam mengepung bumi
Itu juga bukan hidung atau siku
Itu bukan pinggul yang membesar
atau tungkai kaki
atau udara.
Piring pecah, lampu jatuh
Semua pot bunga-bunga terjungkal
satu per satu. Pot itu
pot yang terluapi warna merah tua
pertengahan Oktober,
pot yang jemu bunga violeta
dan pot yang kosong
bergelinding, berputaran, berputaran
menembus musim salju
hingga hanya tersisa serbuk
debu pot bunga,
kenangan terluka, abu bercahaya.
Dan jam itu
yang tiktoknya
adalah
tiktok hidup kita,
benang rahasia
pekan-pekan kita,
yang membebaskan
satu per satu, berjam-jam waktu
untuk manis madu dan kebisuan
bagi banyak kelahiran dan pekerjaan,
jam itu juga yang
jatuh
dan lembut biru talinya
bergetaran
di antara gelas pecah
hatinya yang leluasa
tak terbebaskan.
Hidup berterusan, menggilas
gelas, berbaju hingga lusuh,
membuatnya terbagi
bentuk-bentuk
tak utuh lagi
dan apa yang di ujung waktu
seperti pulau di sebuah kapal di lautan,
yang lekas busuk
di sekitarnya bahaya dari barang mudah pecah
bahaya dari air tak kenal ampun
dan segala ancaman.
Mari letakkan harta benda kita bersama
-- jam, piring, mangkuk diretakkan dingin udara --
ke dalam karung masukkan semua,
bawa ke laut
dan biarkan milik kita tenggelam
ke dalam penghancur kekhawatiran
seperti sungai suaranya.
Mungkin apa saja yang rusak
bisa dibentuk lagi oleh laut
oleh pekerja di sepanjang pasang.
Banyak sekali barang tak berguna
tak ada yang merusaknya
lalu rusak sendiri, cara sendiri.
Banyak barang rusak
di rumah
rusak karena jatuh
terdorong tangan tak tampak,
memang kerja si pelabrak.
Tapi itu bukan tanganku
juga bukan tanganmu
Itu juga bukan para gadis
yang kuku-kuku jarinya keras
juga bukan gerak planet bumi.
Itu bukan seseorang, bukan sesuatu
Itu bukan angin
Itu juga bukan petang warna oranye
Atau malam mengepung bumi
Itu juga bukan hidung atau siku
Itu bukan pinggul yang membesar
atau tungkai kaki
atau udara.
Piring pecah, lampu jatuh
Semua pot bunga-bunga terjungkal
satu per satu. Pot itu
pot yang terluapi warna merah tua
pertengahan Oktober,
pot yang jemu bunga violeta
dan pot yang kosong
bergelinding, berputaran, berputaran
menembus musim salju
hingga hanya tersisa serbuk
debu pot bunga,
kenangan terluka, abu bercahaya.
Dan jam itu
yang tiktoknya
adalah
tiktok hidup kita,
benang rahasia
pekan-pekan kita,
yang membebaskan
satu per satu, berjam-jam waktu
untuk manis madu dan kebisuan
bagi banyak kelahiran dan pekerjaan,
jam itu juga yang
jatuh
dan lembut biru talinya
bergetaran
di antara gelas pecah
hatinya yang leluasa
tak terbebaskan.
Hidup berterusan, menggilas
gelas, berbaju hingga lusuh,
membuatnya terbagi
bentuk-bentuk
tak utuh lagi
dan apa yang di ujung waktu
seperti pulau di sebuah kapal di lautan,
yang lekas busuk
di sekitarnya bahaya dari barang mudah pecah
bahaya dari air tak kenal ampun
dan segala ancaman.
Mari letakkan harta benda kita bersama
-- jam, piring, mangkuk diretakkan dingin udara --
ke dalam karung masukkan semua,
bawa ke laut
dan biarkan milik kita tenggelam
ke dalam penghancur kekhawatiran
seperti sungai suaranya.
Mungkin apa saja yang rusak
bisa dibentuk lagi oleh laut
oleh pekerja di sepanjang pasang.
Banyak sekali barang tak berguna
tak ada yang merusaknya
lalu rusak sendiri, cara sendiri.
Hujan Lebat Sekali di Isla Negra*
Sajak Pablo Neruda
Di selatan, hujan lebat sekali mengguyur Isla Negra
bagai tetes yang bersendiri, lebat, tembus tatap mata:
lalu laut nengadahkan daun-daunnya sejuk menerima:
bumi belajar mengaji pada takdir basah cermin kaca.
Jiwaku, takluk pada bujuk rasa masin kecupanmu,
seperti air laut bulan ini, madu dari wilayah ini sendiri,
aroma wangi, dilembabkan berjuta bibir langit itu,
ketabahan hati laut, musim dingin ini, laut yang suci.
ada yang memanggil kita: semua pintu membuka,
percik air bercerita kisah hebat kepada kaca jendela,
dan langit menyentuh akar, menggelembang turun.
begitulah hari merajut dan merenggut jejaring angkasa
dengan waktu, asin garam, yang tumbuh, bisik suara,
setapak jalan, perempuan, lelaki. Bumi musim dingin.
* Soneta ke-67 dari Cien Sonetos de Amor.
Di selatan, hujan lebat sekali mengguyur Isla Negra
bagai tetes yang bersendiri, lebat, tembus tatap mata:
lalu laut nengadahkan daun-daunnya sejuk menerima:
bumi belajar mengaji pada takdir basah cermin kaca.
Jiwaku, takluk pada bujuk rasa masin kecupanmu,
seperti air laut bulan ini, madu dari wilayah ini sendiri,
aroma wangi, dilembabkan berjuta bibir langit itu,
ketabahan hati laut, musim dingin ini, laut yang suci.
ada yang memanggil kita: semua pintu membuka,
percik air bercerita kisah hebat kepada kaca jendela,
dan langit menyentuh akar, menggelembang turun.
begitulah hari merajut dan merenggut jejaring angkasa
dengan waktu, asin garam, yang tumbuh, bisik suara,
setapak jalan, perempuan, lelaki. Bumi musim dingin.
* Soneta ke-67 dari Cien Sonetos de Amor.
Bunga Champa*
Syair Rabindranath Tagore
Katakan saja aku menjelma jadi bunga champa,
ini sekadar kelakar, tapi akulah bunga yang tumbuh
di dahan pohon tinggi, berayun lambai di lalu angin,
tertawa dan menari di atas pucuk-pucuk daunan,
tahukah kau adalah itu aku, ibu?
Kau akan berseru, "Sayangku, dimana kau, anakku?"
Aha, aku tergelak sendiri tapi tetap diam sembunyi.
Aku akan memekarkan mahkotaku, perlahan tersipu,
dan menyaksikan engkau, ibu, sibuk dengan kerjamu.
Usai mandi, rambutmu basah terurai di bahumu,
kau melangkah di bawah bayang pohon champa,
ke sudut halaman di mana kau lafalkan doa-doa,
kau nikmati aroma bunga, wangiku yang tak kau tahu.
Lalu setelah makan tengah hari berlalu, kau duduk
di jendela membaca Ramayana, dan tedung bayang
pohon menyentuh rambut dan pangkuanmu, musti
kujatuhkan juga mungil bayanganku di halaman
bukumu, pada huruf-huruf halaman yang kau baca.
Kau duga, ibu? Bayang kecil itu bocah cilikmu?
Lalu di malam hari, kau menengok kandang sapi,
di tanganmu nyala lentera, aku tiba-tiba menjatuhkan
diri ke bumi, dan menjelma kembali bocah kecilmu,
dan memohon engkau mendongengkan cerita.
"Dari mana saja, kau anak nakal?"
"Aha, tak akan kuberi tahu, ibu." Begitulah kataku
dan begitulah juga katamu, kelak kemudian, kan?
* Syair ke-15 dari rangkaian 40 Syair The Crescent Moon.
THE CHAMPA FLOWER
Supposing I became a champa flower, just for fun, and
grew on a branch high up that tree, and shook in the wind with
laughter and danced upon the newly budded leaves, would you know
me, mother?
You would call, "Baby, where are you?" and I should laugh to
myself and keep quite quiet.
I should slyly open my petals and watch you at your work.
When after your bath, with wet hair spread on your shoulders, you
walked through the shadow of the champa tree to the
little court where you say your prayers, you would notice the
scent of the flower, but not know that it came from me.
When after the midday meal you sat at the window reading
Ramayana, and the tree's shadow fell over your hair and
your lap, I should fling my wee little shadow on to the page of
your book, just where you were reading.
But would you guess that it was the tiny shadow of your little
child?
When in the evening you went to the cow-shed with the lighted
lamp in your hand, I should suddenly drop on to the earth again
and be your own baby once more, and beg you to tell me a story.
"Where have you been, you naughty child?"
"I won't tell you, mother." That's what you and I would say
then.
Katakan saja aku menjelma jadi bunga champa,
ini sekadar kelakar, tapi akulah bunga yang tumbuh
di dahan pohon tinggi, berayun lambai di lalu angin,
tertawa dan menari di atas pucuk-pucuk daunan,
tahukah kau adalah itu aku, ibu?
Kau akan berseru, "Sayangku, dimana kau, anakku?"
Aha, aku tergelak sendiri tapi tetap diam sembunyi.
Aku akan memekarkan mahkotaku, perlahan tersipu,
dan menyaksikan engkau, ibu, sibuk dengan kerjamu.
Usai mandi, rambutmu basah terurai di bahumu,
kau melangkah di bawah bayang pohon champa,
ke sudut halaman di mana kau lafalkan doa-doa,
kau nikmati aroma bunga, wangiku yang tak kau tahu.
Lalu setelah makan tengah hari berlalu, kau duduk
di jendela membaca Ramayana, dan tedung bayang
pohon menyentuh rambut dan pangkuanmu, musti
kujatuhkan juga mungil bayanganku di halaman
bukumu, pada huruf-huruf halaman yang kau baca.
Kau duga, ibu? Bayang kecil itu bocah cilikmu?
Lalu di malam hari, kau menengok kandang sapi,
di tanganmu nyala lentera, aku tiba-tiba menjatuhkan
diri ke bumi, dan menjelma kembali bocah kecilmu,
dan memohon engkau mendongengkan cerita.
"Dari mana saja, kau anak nakal?"
"Aha, tak akan kuberi tahu, ibu." Begitulah kataku
dan begitulah juga katamu, kelak kemudian, kan?
* Syair ke-15 dari rangkaian 40 Syair The Crescent Moon.
THE CHAMPA FLOWER
Supposing I became a champa flower, just for fun, and
grew on a branch high up that tree, and shook in the wind with
laughter and danced upon the newly budded leaves, would you know
me, mother?
You would call, "Baby, where are you?" and I should laugh to
myself and keep quite quiet.
I should slyly open my petals and watch you at your work.
When after your bath, with wet hair spread on your shoulders, you
walked through the shadow of the champa tree to the
little court where you say your prayers, you would notice the
scent of the flower, but not know that it came from me.
When after the midday meal you sat at the window reading
Ramayana, and the tree's shadow fell over your hair and
your lap, I should fling my wee little shadow on to the page of
your book, just where you were reading.
But would you guess that it was the tiny shadow of your little
child?
When in the evening you went to the cow-shed with the lighted
lamp in your hand, I should suddenly drop on to the earth again
and be your own baby once more, and beg you to tell me a story.
"Where have you been, you naughty child?"
"I won't tell you, mother." That's what you and I would say
then.
[Ruang Renung # 55] Tulisan Ini Judulnya: Judul Puisi
    BAHKAN sepotong kue pun harus diberi nama. Lalu kenapa puisi kita tidak? Nama puisi, yang kita maksudkan di sini adalah judul. Ya, sebuah judul bagi puisi seperti sebuah nama. Ketika potongan-potongan ayat dikumpulkan dalam sebuah kita, masing-masing diberi nama dibagi dalam surat-surat. Lalu kenapa puisi tidak?
    "Saya paling tidak bisa memberi judul kepada puisi. Tolong, dong." Bila kau temukan ada kata pengantar semacam ini mengiringi sebuah puisi, maka tengoklah, biasanya puisinya tak terlalu istimewa. Judul harus istimewa. Maka bila puisinya tidak istimewa, tentu susah untuk memberi nama istimewa buatnya.
    Tidak ada peraturan untuk membuat sebuah judul puisi. Tetapi, membaca puisi jadi semakin asyik jika kita menemukan sebuah puisi berjudul unik dan kandungan puisinya juga menarik. Kita bisa menghubung-hubungkan antara judul dan isi. Kita bisa menebak-nebak maksud penyair dari judulnya dulu, lalu mencari jawabnya dalam puisinya. Kita bisa menyimpulkan: oh ternyata judulnya menipu karena sama sekali tidak berhubungan dengan isi; atau kita juga bisa bikin kata akhir hmm kalau judulnya bukan ini puisi ini tak berarti apa-apa. Ya, ada puisi-puisi yang seperti itu.
    Tetapi, kalau kita memang punya alasan, dan tidak ada cara lain untuk mengelaki alasan itu, maka kau bisa biarkan saja puisimu tak berjudul. Atau ditulis tanda titik sederet dan sebut saja itu judul. Atau judulnya: Belum Dijuduli. Sekali lagi asal kau memang punya alasan untuk melakukan itu, maka lakukanlah. Orang akan tahu, itu bukan karena ketidakmampuanmu membuat judul yang baik, dengan kata lain, itu juga bukan karena ketidakmampuanmu merangkai puisi yang baik.
    Mestinya judul bagi puisi bisa juga diperlakukan seperti judul dalam sebuah berita. Dalam jurnalistik, judul harus membuat pembaca penasaran, tetapi juga mewakili isi beritanya. Tapi, untuk puisi? Tapi, ah tidak usah harus persis seperti itu. Pada judul itu, disitu juga ada tantangan untuk jadi kreatif: seberapa berani kita berdegil usil mucil dengan puisi.
    Tak ada ketentuan dalam membuat judul. Neruda dalam buku 100 Soneta Cinta, memberi judul masing-masing sonetanya dengan urutan angka romawi. Shakespeare juga. Memang begitukah? Tidak juga. Jika orang kini mengutip satu dari rangkain soneta itu, ada yang kemudian menyebut baris pertama seperti menyebut itu adalah judul puisinya.
    Jadi, berilah judul yang istimewa pada puisi kita. Karena, seperti kata penyair TS Pinang, judul itu setidaknya akan bermanfaat banyak ketika kelak kita menyusun daftar isi untuk buku puisi kita.[hah]
    "Saya paling tidak bisa memberi judul kepada puisi. Tolong, dong." Bila kau temukan ada kata pengantar semacam ini mengiringi sebuah puisi, maka tengoklah, biasanya puisinya tak terlalu istimewa. Judul harus istimewa. Maka bila puisinya tidak istimewa, tentu susah untuk memberi nama istimewa buatnya.
    Tidak ada peraturan untuk membuat sebuah judul puisi. Tetapi, membaca puisi jadi semakin asyik jika kita menemukan sebuah puisi berjudul unik dan kandungan puisinya juga menarik. Kita bisa menghubung-hubungkan antara judul dan isi. Kita bisa menebak-nebak maksud penyair dari judulnya dulu, lalu mencari jawabnya dalam puisinya. Kita bisa menyimpulkan: oh ternyata judulnya menipu karena sama sekali tidak berhubungan dengan isi; atau kita juga bisa bikin kata akhir hmm kalau judulnya bukan ini puisi ini tak berarti apa-apa. Ya, ada puisi-puisi yang seperti itu.
    Tetapi, kalau kita memang punya alasan, dan tidak ada cara lain untuk mengelaki alasan itu, maka kau bisa biarkan saja puisimu tak berjudul. Atau ditulis tanda titik sederet dan sebut saja itu judul. Atau judulnya: Belum Dijuduli. Sekali lagi asal kau memang punya alasan untuk melakukan itu, maka lakukanlah. Orang akan tahu, itu bukan karena ketidakmampuanmu membuat judul yang baik, dengan kata lain, itu juga bukan karena ketidakmampuanmu merangkai puisi yang baik.
    Mestinya judul bagi puisi bisa juga diperlakukan seperti judul dalam sebuah berita. Dalam jurnalistik, judul harus membuat pembaca penasaran, tetapi juga mewakili isi beritanya. Tapi, untuk puisi? Tapi, ah tidak usah harus persis seperti itu. Pada judul itu, disitu juga ada tantangan untuk jadi kreatif: seberapa berani kita berdegil usil mucil dengan puisi.
    Tak ada ketentuan dalam membuat judul. Neruda dalam buku 100 Soneta Cinta, memberi judul masing-masing sonetanya dengan urutan angka romawi. Shakespeare juga. Memang begitukah? Tidak juga. Jika orang kini mengutip satu dari rangkain soneta itu, ada yang kemudian menyebut baris pertama seperti menyebut itu adalah judul puisinya.
    Jadi, berilah judul yang istimewa pada puisi kita. Karena, seperti kata penyair TS Pinang, judul itu setidaknya akan bermanfaat banyak ketika kelak kita menyusun daftar isi untuk buku puisi kita.[hah]
Tiga Petikan Adegan Pertempuran
: The Last Samurai
/1/
"Ceritakan padaku, kemana dia berlalu?"
Kuberi tahu saja, datang dari mana dia.
Ini medan pertempuran. Lubang paling dalam, bagi
tumpah darah prajurit yang lahir dalam rahim meriam.
Ada yang menunda kematianmu, menyarungkan
samurai yang berkilat tepat di urat-urat lehermu.
Lelaki berhutang tak terbayar, nolak jadi anjing liar.
"Aku telah membunuh saudaramu."
"Darahnya terhormat di tanganmu..."
Sejak itu, dosa pengkhianatan dan darah permusuhan
tak terperhitungkan lagi, tak tertunduk perintah lagi.
/2/
"Ceritakan padaku, siapa yang telah ia khianati?"
Kukisahkan saja, siapa yang percaya padanya.
Perang dan peluru, ternyata belum jadi masa lalu.
Begitu dekat desing itu, disimak maut menunggu.
Berlapis pertempuran, tak tertapis panah: api hujan.
Dia mengenang percakapan: petempur penghabisan.
Nyawa seayun pedang belaka, datang begitu gampang.
Dibunuh, tertawan, cuma sama: hanya selangkah kuda.
Dia datang, mungkin bukan untuk mencari jawaban.
Dia bertemu dengan beruntunan lain pertanyaan.
/3/
"Ceritakan padaku, bagaimana datang kematiannya?"
Akan kukisahkan padamu, tentang kehidupannya.
Pada pedang yang tersarung, ada letih para petarung,
waktu pulang para lelaki, saat ladang menanti ditanami.
Jan 2004
Thursday, January 22, 2004
Sang Pengarung Samudera *
Syair Rabindranath Tagore
Madhu si juru perahu, perahunya
ditambatkan di dermaga Rajgunj.
Perahunya dimuati rami, sia-sia
sebab perahunya sudah lama ada
tertambat di sana, tak kemana.
Kalau saja, dia pinjamkan perahunya,
akan kupasangi dengan seratus dayung,
kubentang layar, lima atau tujuh tiang.
Aku tak kan pernah mengemudikannya
untuk singgahi pasar-pasar bodoh saja.
Aku harus melayari tujuh samudera,
dan tiga belas sungai di negeri mimpi.
Tapi, ibu, jangan tangisi aku di sudut itu.
Aku tidak pergi ke hutan seperti Ramachandra,
untuk balik setelah hanya empat belas tahun.
Kelak aku akan jadi pangeran dalam dongeng,
dan mengisi perahuku apa saja yang kumau.
Akan kuajak Ashu, sahabatku. Lalu kami
berlayar bersuka cita, mengarungi tujuh samudera
dan tiga belas sungai di negeri mimpi.
Lalu kami memasang layar di pagi dini hari.
Bila naik pasang malam, engkau mandi di kolam,
kami saat itu ada di negeri asing, raja yang asing.
Kami mengarungi samudera Tirpuni, dan
di belakang kami, padang pasir Tepantar.
Bila kami kembali, hari mulai gelap, maka
kukisahkan padamu, apa yang kami temu.
Aku telah menyeberangi tujuh samudera, dan
tiga belas arus sungai di negeri mimpi.
* Syair ke-20 dalam rangkaan 40 syair The Crescent Moon.
THE SAILOR
The boat of the boatman Madhu is moored at the wharf of Rajgunj.
It is uselessly laden with jute, and has been lying there idle
for ever so long.
If he would only lend me his boat, I should man her with a
hundred oars, and hoist sails, five or six or seven.
I should never steer her to stupid markets. I should sail the
seven seas and the thirteen rivers of fairyland.
But, mother, you won't weep for me in a corner.
I am not going into the forest like Ramachandra to come back only
after fourteen years.
I shall become the prince of the story, and fill my boat with
whatever I like.
I shall take my friend Ashu with me. We shall sail merrily
across the seven seas and the thirteen rivers of fairyland.
We shall set sail in the early morning light.
When at noontide you are bathing at the pond, we shall be in the
land of a strange king.
We shall pass the ford of Tirpurni, and leave behind us the
desert of Tepântar.
When we come back it will be getting dark, and I shall tell you
of all that we have seen.
I shall cross the seven seas and the thirteen rivers of
fairyland.
Madhu si juru perahu, perahunya
ditambatkan di dermaga Rajgunj.
Perahunya dimuati rami, sia-sia
sebab perahunya sudah lama ada
tertambat di sana, tak kemana.
Kalau saja, dia pinjamkan perahunya,
akan kupasangi dengan seratus dayung,
kubentang layar, lima atau tujuh tiang.
Aku tak kan pernah mengemudikannya
untuk singgahi pasar-pasar bodoh saja.
Aku harus melayari tujuh samudera,
dan tiga belas sungai di negeri mimpi.
Tapi, ibu, jangan tangisi aku di sudut itu.
Aku tidak pergi ke hutan seperti Ramachandra,
untuk balik setelah hanya empat belas tahun.
Kelak aku akan jadi pangeran dalam dongeng,
dan mengisi perahuku apa saja yang kumau.
Akan kuajak Ashu, sahabatku. Lalu kami
berlayar bersuka cita, mengarungi tujuh samudera
dan tiga belas sungai di negeri mimpi.
Lalu kami memasang layar di pagi dini hari.
Bila naik pasang malam, engkau mandi di kolam,
kami saat itu ada di negeri asing, raja yang asing.
Kami mengarungi samudera Tirpuni, dan
di belakang kami, padang pasir Tepantar.
Bila kami kembali, hari mulai gelap, maka
kukisahkan padamu, apa yang kami temu.
Aku telah menyeberangi tujuh samudera, dan
tiga belas arus sungai di negeri mimpi.
* Syair ke-20 dalam rangkaan 40 syair The Crescent Moon.
THE SAILOR
The boat of the boatman Madhu is moored at the wharf of Rajgunj.
It is uselessly laden with jute, and has been lying there idle
for ever so long.
If he would only lend me his boat, I should man her with a
hundred oars, and hoist sails, five or six or seven.
I should never steer her to stupid markets. I should sail the
seven seas and the thirteen rivers of fairyland.
But, mother, you won't weep for me in a corner.
I am not going into the forest like Ramachandra to come back only
after fourteen years.
I shall become the prince of the story, and fill my boat with
whatever I like.
I shall take my friend Ashu with me. We shall sail merrily
across the seven seas and the thirteen rivers of fairyland.
We shall set sail in the early morning light.
When at noontide you are bathing at the pond, we shall be in the
land of a strange king.
We shall pass the ford of Tirpurni, and leave behind us the
desert of Tepântar.
When we come back it will be getting dark, and I shall tell you
of all that we have seen.
I shall cross the seven seas and the thirteen rivers of
fairyland.
Sang Saudagar *
Syair Rabindranath Tagore
Bayangkan, ibu, bayangkan engkau tinggal di rumah,
dan aku bepergian jauh nun ke negeri-negeri asing.
Bayangkanlah, ibu, perahuku siap tambat sarat muat.
Dan sekarang coba sungguh pikirkan, ibu apa yang
engkau hendak aku bawakan bila kelak aku datang.
Ibu, maukah engkau kuberi emas bertimbun-timbun?
Di sana, di tepi arus sungai keemasan, ada ladang
penuh tumbuh, tanaman memberi panenan emas.
Dan di teduh jalan setapak, di tengah hutan, juga
ada bunga champa keemasan ke dasar berjatuhan.
Hendak kukumpulkan untukmu bunga itu, kubawa
dalam beratus-ratus keranjang. Ibu, maukah engkau
mutiara, butirnya bagai tetes-tetes hujan musim semi?
Lalu kuarungi lagi latu, ke pantai pulau mutiara. Di pagi
yang teramat awal, gigil cahaya mutiara di bunga-bunga
padang rumput, ada butir yang jatuh, ada butir berkilauan
di pasir, direnjis percik ombak dari yang tak hendak jinak.
Sepasang kuda bersayap, saudaraku kelak punya,
agar kami bisa menembus terbang di antara mega.
Dan untuk ayah, kubawakan pena ajaib untuknya
pena yang bisa menulis sendiri, tanpa setahunya.
Dan untukmu, ibu, aku mesti membawakanmu
berpeti-peti permata, senilai kekayaan tujuh raja.
* Syair ke-23 dari rangkaian 40 syair The Crescent Moon.
THE MERCHANT
Imagine, mother, that you are to stay at home and I am to travel
into strange lands.
Imagine that my boat is ready at the landing fully laden.
Now think well, mother, before you say what I shall bring for you
when I come back.
Mother, do you want heaps and heaps of gold?
There, by the banks of golden streams, fields are full of golden
harvest.
And in the shade of the forest path the golden champa
flowers drop on the ground.
I will gather them all for you in many hundred baskets.
Mother, do you want pearls big as the raindrops of autumn?
I shall cross to the pearl island shore. There in the early
morning light pearls tremble on the meadow flowers, pearls drop
on the grass, and pearls are scattered on the sand in spray by
the wild sea-waves.
My brother shall have a pair of horses with wings to fly among
the clouds.
For father I shall bring a magic pen that, without his knowing,
will write of itself.
For you, mother, I must have the casket and jewel that cost seven
kings their kingdoms.
Bayangkan, ibu, bayangkan engkau tinggal di rumah,
dan aku bepergian jauh nun ke negeri-negeri asing.
Bayangkanlah, ibu, perahuku siap tambat sarat muat.
Dan sekarang coba sungguh pikirkan, ibu apa yang
engkau hendak aku bawakan bila kelak aku datang.
Ibu, maukah engkau kuberi emas bertimbun-timbun?
Di sana, di tepi arus sungai keemasan, ada ladang
penuh tumbuh, tanaman memberi panenan emas.
Dan di teduh jalan setapak, di tengah hutan, juga
ada bunga champa keemasan ke dasar berjatuhan.
Hendak kukumpulkan untukmu bunga itu, kubawa
dalam beratus-ratus keranjang. Ibu, maukah engkau
mutiara, butirnya bagai tetes-tetes hujan musim semi?
Lalu kuarungi lagi latu, ke pantai pulau mutiara. Di pagi
yang teramat awal, gigil cahaya mutiara di bunga-bunga
padang rumput, ada butir yang jatuh, ada butir berkilauan
di pasir, direnjis percik ombak dari yang tak hendak jinak.
Sepasang kuda bersayap, saudaraku kelak punya,
agar kami bisa menembus terbang di antara mega.
Dan untuk ayah, kubawakan pena ajaib untuknya
pena yang bisa menulis sendiri, tanpa setahunya.
Dan untukmu, ibu, aku mesti membawakanmu
berpeti-peti permata, senilai kekayaan tujuh raja.
* Syair ke-23 dari rangkaian 40 syair The Crescent Moon.
THE MERCHANT
Imagine, mother, that you are to stay at home and I am to travel
into strange lands.
Imagine that my boat is ready at the landing fully laden.
Now think well, mother, before you say what I shall bring for you
when I come back.
Mother, do you want heaps and heaps of gold?
There, by the banks of golden streams, fields are full of golden
harvest.
And in the shade of the forest path the golden champa
flowers drop on the ground.
I will gather them all for you in many hundred baskets.
Mother, do you want pearls big as the raindrops of autumn?
I shall cross to the pearl island shore. There in the early
morning light pearls tremble on the meadow flowers, pearls drop
on the grass, and pearls are scattered on the sand in spray by
the wild sea-waves.
My brother shall have a pair of horses with wings to fly among
the clouds.
For father I shall bring a magic pen that, without his knowing,
will write of itself.
For you, mother, I must have the casket and jewel that cost seven
kings their kingdoms.
Tuesday, January 20, 2004
[Ruang Renung 54] Belajar Membaca Sajak
    Ada lalu Tak Ada
    Syair Omar Khayyam
    ada Pintu yang tak pernah kupunya kuncinya;
    ada Kudungkabut, pandangku tak menembusnya;
    ada percakapan sekadarnya Aku dan Engkau
    Pernah Ada - lalu tak ada lagi Engkau-Aku.
    BEGINILAH aku menerjemahkannya. Omar Khayyam adalah penyair sufi. Dia seorang sufi. Puisi ini saya kira bisa sedikit mewakili sajaknya. Tentang gambaran penyatuan antara aku hamba dan Engkau Tuhan. Pintu pada baris pertama kufahami sebagai jalan masuk, mungkin itu ajaran agama yang tak ada penghalang lagi, yang selalu terbuka. Pernahkah Tuhan menutup pintu bagi hambanya? Maka tak perlu lagi kunci. Si Aku dalam sajak itu tak risau lagi mesti tak pernah ia punya itu kunci. Buat apa risau toh pintu itu selalu terbuka.
    Juga kabut yang menghalangi pandang. Aku dan Engkau Tuhan pernahkah saling berpandang mata? Saling menatap wajah? Perbedaan zat itu di dunia seperti kabut yang menghalangi secara fisik. Tapi toh aku tak risau juga.... Perbincangan kecil di bait ketika, sekadarnya saja. Tak perlu banyak kata, untuk sebuah keakraban yang maha. Tak perlu banyak tanya. Hingga tak ada Engkau dan Aku. Bait yang menggambarkan keduanya telah menyatu, tak berbatas lagi. Apa lagi yang dicari? Bukankah penyatuan itu adalah tuju dari segala tuju?[hah]
Monday, January 19, 2004
Burung yang Legam
Sajak Jimmi Santiago Baca
Burung yang legam
bertengger tegar
di cabang kerongkongan
berjaga bersiaga
memekikkan keberanian
di Manakah ada?
The Blackbird
The blackbird sits
On a bronchial limb
Ready to
Squeal his guts
Where?
Burung yang legam
bertengger tegar
di cabang kerongkongan
berjaga bersiaga
memekikkan keberanian
di Manakah ada?
The Blackbird
The blackbird sits
On a bronchial limb
Ready to
Squeal his guts
Where?
Sakramen, Sebuah Reply atas Puisi Gerahambungsu
di daging kaki, jejak lepuh
perjalanan semakin menjauh
tak ada yang bisa dipilih
selain membunuh, tiang rubuh
dan monumen runtuh mengaduh
tak ada yang bisa dipilih
ini memang perempatan
tiap arah simpangnya hanya
mengajukan pertanyaan:
"kau masih kuat berjalan?"
tak ada waktu menjawab
setiap doa cuma jadi keluh.
Jan 2004
perjalanan semakin menjauh
tak ada yang bisa dipilih
selain membunuh, tiang rubuh
dan monumen runtuh mengaduh
tak ada yang bisa dipilih
ini memang perempatan
tiap arah simpangnya hanya
mengajukan pertanyaan:
"kau masih kuat berjalan?"
tak ada waktu menjawab
setiap doa cuma jadi keluh.
Jan 2004
Meditasi
sudah disiapkan
sebuah meditasi
sunyi telah dipesan
sempurna semedi
itu Kau bukan?
"ya, mari berjudi..."
Jan 2004
sebuah meditasi
sunyi telah dipesan
sempurna semedi
itu Kau bukan?
"ya, mari berjudi..."
Jan 2004
Sunday, January 18, 2004
Petikan dari Kitab Pertanyaan*
Sajak Pablo Neruda
1
----
Pesawat yang jatuh tenggelam, kenapa
tak terbang lagi dengan anak-anaknya?
Burung kuning, yang manakah ia
yang ngisi sarang dengan lemon?
Kenapa mereka tak mengajari helikopter
mengisap madu dari cahaya matahari?
Dimana bulan purnama meninggalkan
sekarung gandum miliknya malam ini?
1
----
Pesawat yang jatuh tenggelam, kenapa
tak terbang lagi dengan anak-anaknya?
Burung kuning, yang manakah ia
yang ngisi sarang dengan lemon?
Kenapa mereka tak mengajari helikopter
mengisap madu dari cahaya matahari?
Dimana bulan purnama meninggalkan
sekarung gandum miliknya malam ini?
Saturday, January 17, 2004
[Sebuah Kritik] Engkaukah Puisi?
Oleh: Medy Loekito
      Ada teori yang mengatakan, bahwa nilai sebuah puisi tak bisa lepas dari kepekaan menemukan kata dan menempatkan kata yang tepat di dalam sebuah komposisi. Pilihan kata dan tempat ini secara bersama dalam keseluruhan puisi, membawa pembaca kepada perenungan atau penemuan makna puisi. Setiap puisi pastilah memiliki satu konsep makna utama, tetapi nilai puisi tidak dapat begitu saja ditetapkan dengan mengetahui makna atau buah pikiran utamanya.
      Ketika membaca puisi-puisi Hasan Aspahani yang terbaru, timbul sebuah pertentangan mengenai konsep puisi secara umum, dan juga karakter puisi Hasan yang selama ini saya kenal. Puisi-puisi Hasan dahulu dikenal dari pilihan dan penempatan katanya yang tertata apik [baca: Cybersastra, Februari 04 2002 . Sekarang, puisi-puisi Hasan lebih mengutamakan makna dari isi.
      Misalnya bait pertama puisinya yang berjudul “Pada Suatu Sabtu Sore Bersama Kata yang Melarikan Diri”:
Pulang dari nonton film di bioskop, Sabtu sore, Penyair itu bertemu dengan serombongan kata yang berjalan tergesa-gesa tetapi tampak jelas bingung hendak pergi ke mana. Sebagai penyair yang baik tentu saja dia harus sangat peduli pada kata-kata, apalagi yang terlunta-lunta seperti kata yang dia temui saat itu.
      Ide atau makna yang dikemukakan Hasan sangat menarik dan dapat dikatakan luar biasa, yakni bahwa kata adalah harta utama penyair. Hubungan antara kata dan penyair adalah hubungan mutual saling ketergantungan, kata terlunta-lunta tanpa penyair, dan penyair tak bisa berbuat apa-apa tanpa kata. Makna ini dapat langsung terbaca pada tahap satu kali baca bait ini. Mengapa? Karena Hasan menggunakan kata-kata ungkapan yang biasa, mudah, dan langsung menuju sasaran. Sehingga kenikmatan proses “membaca puisi” terasa kurang lengkap.
      Bahasa puisi di atas terasa berbeda apabila disejajarkan dengan bahasa puisi Hasan yang berjudul “Pesan-pesan Pendek yang Dikirim dari Satu Nomor Telepon Selular ke Nomor Telepon Selular Lainnya”:
bibirku bersujud di bibirmu
lalu kita lafazkan zikir pasir
bibirku bersujud di bibirmu
hampar mulut yang pesisir
      Dalam puisi kedua ini, hanya melalui empat baris kalimat, imaginasi pembaca telah dibawa mengembara ke dataran maha luas. Mungkin kita membayangkan bibir mendekat bibir seperti saat bertemu sepasang kekasih, mungkin kita terbayang suara yang tak berwujud berusaha menyatu dengan suara lain dengan wujud yang entah, mungkin kita bayangkan dosa-dosa yang tak terhitung seperti halnya pasir, dan seterusnya. Sementara sensor visual kita mengembara dari bibir ke pasir, rasa spiritual kita pada saat yang sama tergugah untuk mencari arti dari gambaran visual maya tersebut. Seluruh indra kita bekerja sama mencari makna atau arti dari puisi tersebut sebagai akhir dari pembacaan atas sebuah puisi. Termasuk juga keindahan yang ditimbulkan dari aplikasi perfect rime yang diperhatikan dengan baik oleh Hasan.
      Meskipun judul dari puisi kedua ini agak terlalu menyimpang jauh dari kandungan isi, tetapi tampak nyata bahwa kalimat-kalimat pada contoh kedua ini adalah kalimat sebuah puisi. “Kenakalan” yang ingin ditampilkan Hasan melalui judul memang menjadi kurang total dan agak menyesatkan ketika bait-bait di dalamnya bersifat sangat religius dan serius. Untunglah, gangguan ringan dari kenakalan judul ini agak terhibur dengan bait terakhir puisi yang bergaya vers de société ini:
ini pesanku terakhir,
pulsaku habis ---
adakah voucher untuk
mengisi ulang usia?
      Bait penutup ini terasa nakal, sekaligus sakral, sarat makna dan komunikatif. Bait ini dengan patuh memenuhi kriteria sebuah puisi. Ada beberapa interpretasi yang bisa timbul dari bait ini, semisal apakah pelaku sedang berharap untuk berusia panjang? Apakah pelaku secara tersamar menyatakan bahwa lawan bicaranya sangat penting dan tersayang sehingga ia membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat bersama? Apakah penulis sedang menyindir para ilmuwan zaman sekarang yang semakin mengada-ada? Ataukah pelaku cuma hendak menyampaikan, bahwa dia tak punya uang lagi untuk isi pulsa? Pembaca diberi kebebasan penuh untuk menterjemahkan, tentu saja setelah dirunut dari bait-bait sebelumnya.
Selanjutnya, pada puisi “Tentang Seorang Pengemis”, Hasan berkata:
Si pengemis yang berangkat subuh tadi, diam-diam menyingkir. Dengan sisa tenaga melenggang pulang ke gubuk masa lalunya. Sambil menggerutu: huh, mau dapat sehelai puisi saja minta ampun susahnya. Tapi, diam-diam dia bersyukur juga telah memilih jadi pengemis, bukan penyair yang kerap direpotkan oleh puisi-puisi sendiri.
      Puisi ini juga memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Tetapi, sebagaimana pada puisi pertama di atas, pembaca tidak perlu bersusah-payah berkonsentrasi, merenung dan mencari arti kata. Tahapan-tahapan mencapai arti yang biasanya terbaca melalui baris demi baris kalimat dalam puisi, tidak terjadi dalam puisi ini. Padahal salah satu keunikan puisi, adalah perjalanan pembaca memahami kalimat demi kalimat.
      Membaca puisi adalah sebuah proses penciptaan arti yang bebas dilakukan oleh setiap pembaca, bahkan oleh satu pembaca tetapi pada saat yang berbeda. Suatu proses yang membutuhkan waktu, dan setiap proses selalu terdiri dari tahapan-tahapan atau jenjang-jenjang. Itulah sebabnya puisi selalu mengandung kata-kata yang oleh beberapa orang dianggap misterius dan bahkan tidak memiliki arti. Semisal puisi Hasan yang berjudul “Bermain Kertas Bersama Ikra”:
selembar kertas putih kulipat rapi dalam ingatan
di antara tekukannya, kuselip nama-nama. Dan
kadang aku ingin sekali, ikut sembunyi di sana
menyusup hilang, diam di serat-seratnya. Tapi
      Emosi, relasi keputusasaan atas kehidupan, kenangan, atau mungkin juga kebahagiaan, bermain-main bersama di saat membaca larik-larik puisi ini. Di dalam puisi ini Hasan menggunakan simbol konvensional, yang boleh diartikan dari kedua sudutnya, yakni arti simbolis maupun arti literalnya. Simbol kertas putih bisa berarti lembar kehidupan, bisa juga diartikan sebagai selembar kertas sesungguhnya.
      Pada kalimat-kalimat puisi terakhir ini, dari pengartian emosi kata dan simbol saja, berbagai interpretasi bisa muncul. Pembaca diberi kebebasan untuk memaknai puisi ini, meskipun sekali lagi, pemilihan judul agak membatasi kebebasan tersebut. Hasan kembali terperangkap dalam pemilihan judul yang secara tidak disadari menyekap keluasan makna puisinya. Apabila, misalnya, Hasan memilih judul “Bermain Kertas” saja, maka puisi dapat bergerak bebas, baik menjadi kertas senyata lembar tipis untuk menulis, juga bisa menjadi lembar-lembar berkonotasi lain yang tak terbatas, seperti lembar kehidupan, lembar rasa hati, lembar pertengkaran, lembar usia, dan lain sebagainya.
      Pada akhirnya, saya pikir ada baiknya apabila Hasan memilah-milah dengan lebih jeli, mana yang disebut puisi, dan mana yang disebut cerpen. Apabila karya, seperti contoh pertama di atas, disebut sebagai cerpen, tentulah dia akan menjadi cerpen yang sukses. Tetapi tidak demikian halnya apabila disebutnya sebagai puisi. Pendapat yang pernah dilontarkan secara enteng oleh Sutardji Calzoum Bachri, bahwa “puisi adalah tulisan yang kau niatkan sebagai puisi”, seyogyanya tidak diartikan secara sederhana untuk menghibur diri atau berkelit dari tanggung-jawab. Sama halnya dengan memasak soto tapi kita memberi halusinasi pada diri sendiri bahwa kita memasak cap cay.
      Pendapat atas karya Hasan ini tentu tidak utuh, sebab contoh-contoh yang saya amati tidak dapat dianggap mewakili. Terlepas dari penamaan jenis tulisannya, menurut saya, Hasan menyimpan ide-ide yang menakjubkan. Hasan juga memiliki kelebihan berbahasa komunikatif, di samping kepiawaian berbahasa puitik.
      Sebagai penutup, saya kutipkan tulisan Hasan:
Kenapa kita tidak menetap saja di sini, tak musti
disiksa oleh jarak-jarak yang kita bikin sendiri,
.....
Kenapa kita tidak berumah saja pada sepatu kita yang tak
pernah ingin berhenti? Melepas tamu dan dilepas sebagai
tamu juga.....
Selamat berkarya, kawan!
Jakarta, Januari 2004
      Ada teori yang mengatakan, bahwa nilai sebuah puisi tak bisa lepas dari kepekaan menemukan kata dan menempatkan kata yang tepat di dalam sebuah komposisi. Pilihan kata dan tempat ini secara bersama dalam keseluruhan puisi, membawa pembaca kepada perenungan atau penemuan makna puisi. Setiap puisi pastilah memiliki satu konsep makna utama, tetapi nilai puisi tidak dapat begitu saja ditetapkan dengan mengetahui makna atau buah pikiran utamanya.
      Ketika membaca puisi-puisi Hasan Aspahani yang terbaru, timbul sebuah pertentangan mengenai konsep puisi secara umum, dan juga karakter puisi Hasan yang selama ini saya kenal. Puisi-puisi Hasan dahulu dikenal dari pilihan dan penempatan katanya yang tertata apik [baca: Cybersastra, Februari 04 2002 . Sekarang, puisi-puisi Hasan lebih mengutamakan makna dari isi.
      Misalnya bait pertama puisinya yang berjudul “Pada Suatu Sabtu Sore Bersama Kata yang Melarikan Diri”:
Pulang dari nonton film di bioskop, Sabtu sore, Penyair itu bertemu dengan serombongan kata yang berjalan tergesa-gesa tetapi tampak jelas bingung hendak pergi ke mana. Sebagai penyair yang baik tentu saja dia harus sangat peduli pada kata-kata, apalagi yang terlunta-lunta seperti kata yang dia temui saat itu.
      Ide atau makna yang dikemukakan Hasan sangat menarik dan dapat dikatakan luar biasa, yakni bahwa kata adalah harta utama penyair. Hubungan antara kata dan penyair adalah hubungan mutual saling ketergantungan, kata terlunta-lunta tanpa penyair, dan penyair tak bisa berbuat apa-apa tanpa kata. Makna ini dapat langsung terbaca pada tahap satu kali baca bait ini. Mengapa? Karena Hasan menggunakan kata-kata ungkapan yang biasa, mudah, dan langsung menuju sasaran. Sehingga kenikmatan proses “membaca puisi” terasa kurang lengkap.
      Bahasa puisi di atas terasa berbeda apabila disejajarkan dengan bahasa puisi Hasan yang berjudul “Pesan-pesan Pendek yang Dikirim dari Satu Nomor Telepon Selular ke Nomor Telepon Selular Lainnya”:
bibirku bersujud di bibirmu
lalu kita lafazkan zikir pasir
bibirku bersujud di bibirmu
hampar mulut yang pesisir
      Dalam puisi kedua ini, hanya melalui empat baris kalimat, imaginasi pembaca telah dibawa mengembara ke dataran maha luas. Mungkin kita membayangkan bibir mendekat bibir seperti saat bertemu sepasang kekasih, mungkin kita terbayang suara yang tak berwujud berusaha menyatu dengan suara lain dengan wujud yang entah, mungkin kita bayangkan dosa-dosa yang tak terhitung seperti halnya pasir, dan seterusnya. Sementara sensor visual kita mengembara dari bibir ke pasir, rasa spiritual kita pada saat yang sama tergugah untuk mencari arti dari gambaran visual maya tersebut. Seluruh indra kita bekerja sama mencari makna atau arti dari puisi tersebut sebagai akhir dari pembacaan atas sebuah puisi. Termasuk juga keindahan yang ditimbulkan dari aplikasi perfect rime yang diperhatikan dengan baik oleh Hasan.
      Meskipun judul dari puisi kedua ini agak terlalu menyimpang jauh dari kandungan isi, tetapi tampak nyata bahwa kalimat-kalimat pada contoh kedua ini adalah kalimat sebuah puisi. “Kenakalan” yang ingin ditampilkan Hasan melalui judul memang menjadi kurang total dan agak menyesatkan ketika bait-bait di dalamnya bersifat sangat religius dan serius. Untunglah, gangguan ringan dari kenakalan judul ini agak terhibur dengan bait terakhir puisi yang bergaya vers de société ini:
ini pesanku terakhir,
pulsaku habis ---
adakah voucher untuk
mengisi ulang usia?
      Bait penutup ini terasa nakal, sekaligus sakral, sarat makna dan komunikatif. Bait ini dengan patuh memenuhi kriteria sebuah puisi. Ada beberapa interpretasi yang bisa timbul dari bait ini, semisal apakah pelaku sedang berharap untuk berusia panjang? Apakah pelaku secara tersamar menyatakan bahwa lawan bicaranya sangat penting dan tersayang sehingga ia membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat bersama? Apakah penulis sedang menyindir para ilmuwan zaman sekarang yang semakin mengada-ada? Ataukah pelaku cuma hendak menyampaikan, bahwa dia tak punya uang lagi untuk isi pulsa? Pembaca diberi kebebasan penuh untuk menterjemahkan, tentu saja setelah dirunut dari bait-bait sebelumnya.
Selanjutnya, pada puisi “Tentang Seorang Pengemis”, Hasan berkata:
Si pengemis yang berangkat subuh tadi, diam-diam menyingkir. Dengan sisa tenaga melenggang pulang ke gubuk masa lalunya. Sambil menggerutu: huh, mau dapat sehelai puisi saja minta ampun susahnya. Tapi, diam-diam dia bersyukur juga telah memilih jadi pengemis, bukan penyair yang kerap direpotkan oleh puisi-puisi sendiri.
      Puisi ini juga memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Tetapi, sebagaimana pada puisi pertama di atas, pembaca tidak perlu bersusah-payah berkonsentrasi, merenung dan mencari arti kata. Tahapan-tahapan mencapai arti yang biasanya terbaca melalui baris demi baris kalimat dalam puisi, tidak terjadi dalam puisi ini. Padahal salah satu keunikan puisi, adalah perjalanan pembaca memahami kalimat demi kalimat.
      Membaca puisi adalah sebuah proses penciptaan arti yang bebas dilakukan oleh setiap pembaca, bahkan oleh satu pembaca tetapi pada saat yang berbeda. Suatu proses yang membutuhkan waktu, dan setiap proses selalu terdiri dari tahapan-tahapan atau jenjang-jenjang. Itulah sebabnya puisi selalu mengandung kata-kata yang oleh beberapa orang dianggap misterius dan bahkan tidak memiliki arti. Semisal puisi Hasan yang berjudul “Bermain Kertas Bersama Ikra”:
selembar kertas putih kulipat rapi dalam ingatan
di antara tekukannya, kuselip nama-nama. Dan
kadang aku ingin sekali, ikut sembunyi di sana
menyusup hilang, diam di serat-seratnya. Tapi
      Emosi, relasi keputusasaan atas kehidupan, kenangan, atau mungkin juga kebahagiaan, bermain-main bersama di saat membaca larik-larik puisi ini. Di dalam puisi ini Hasan menggunakan simbol konvensional, yang boleh diartikan dari kedua sudutnya, yakni arti simbolis maupun arti literalnya. Simbol kertas putih bisa berarti lembar kehidupan, bisa juga diartikan sebagai selembar kertas sesungguhnya.
      Pada kalimat-kalimat puisi terakhir ini, dari pengartian emosi kata dan simbol saja, berbagai interpretasi bisa muncul. Pembaca diberi kebebasan untuk memaknai puisi ini, meskipun sekali lagi, pemilihan judul agak membatasi kebebasan tersebut. Hasan kembali terperangkap dalam pemilihan judul yang secara tidak disadari menyekap keluasan makna puisinya. Apabila, misalnya, Hasan memilih judul “Bermain Kertas” saja, maka puisi dapat bergerak bebas, baik menjadi kertas senyata lembar tipis untuk menulis, juga bisa menjadi lembar-lembar berkonotasi lain yang tak terbatas, seperti lembar kehidupan, lembar rasa hati, lembar pertengkaran, lembar usia, dan lain sebagainya.
      Pada akhirnya, saya pikir ada baiknya apabila Hasan memilah-milah dengan lebih jeli, mana yang disebut puisi, dan mana yang disebut cerpen. Apabila karya, seperti contoh pertama di atas, disebut sebagai cerpen, tentulah dia akan menjadi cerpen yang sukses. Tetapi tidak demikian halnya apabila disebutnya sebagai puisi. Pendapat yang pernah dilontarkan secara enteng oleh Sutardji Calzoum Bachri, bahwa “puisi adalah tulisan yang kau niatkan sebagai puisi”, seyogyanya tidak diartikan secara sederhana untuk menghibur diri atau berkelit dari tanggung-jawab. Sama halnya dengan memasak soto tapi kita memberi halusinasi pada diri sendiri bahwa kita memasak cap cay.
      Pendapat atas karya Hasan ini tentu tidak utuh, sebab contoh-contoh yang saya amati tidak dapat dianggap mewakili. Terlepas dari penamaan jenis tulisannya, menurut saya, Hasan menyimpan ide-ide yang menakjubkan. Hasan juga memiliki kelebihan berbahasa komunikatif, di samping kepiawaian berbahasa puitik.
      Sebagai penutup, saya kutipkan tulisan Hasan:
Kenapa kita tidak menetap saja di sini, tak musti
disiksa oleh jarak-jarak yang kita bikin sendiri,
.....
Kenapa kita tidak berumah saja pada sepatu kita yang tak
pernah ingin berhenti? Melepas tamu dan dilepas sebagai
tamu juga.....
Selamat berkarya, kawan!
Jakarta, Januari 2004
Thursday, January 15, 2004
Tanah Pengasingan
   Sajak Rabindranath Tagore
Ibu, ada cahaya jadi kelabu di langit; tapi
sekarang sudah pukul berapa, aku tak tahu.
Permainanku tak asyik lagi, maka biar saja aku
datang padamu. Ini hari Sabtu, liburnya kita.
Tinggalkan dulu kerjamu, ibu, duduk di sini
bersisi jendela lalu ceritakan padaku di mana
padang pasir Tepantar dalam dongeng itu?
Bayang-bayang hujan itu menutupi rapat
mendekap hari dari akhir hingga akhir.
Halilintar menyambar mencakar langit
dengan tajam jari-jari di tangannya.
Ketika awan gaduh dan hari dikepung badai
aku suka takut di hatiku, berpeluk padamu.
Ketika lebat hujan berderai berbilang jam
di daun-daun bambu, dan jendela rumah kita
berguncang, tersebab kencang hembus angin,
aku suka duduk sendiri di kamar, ibu, denganmu,
dan menyimak ceritamu: tentang padang
pasir Tepantar dalam dongeng itu.
Di manakah gurun itu, ibu? Di pantai laut apakah?
Di kaki bukit apakah? Di kerajaan siapa rajanya?
Tak ada pagar yang menanda batas ladang, tak
ada jalan setapak supaya orang desa bisa pulang
ketika sudah tiba malam, atau perempuan
dari hutan memikul kayu bakar ke pasar. Ada
petak-petak rumput kuning di pasir dan hanya
sebatang pohon di mana sepasang burung tua
membuat sarangnya, di padang pasir Tepantar.
Tak bisa kukhayalkan, bagaimana di hari
mendung itu putra belia raja memacu kuda
abu-abu, sendiri menempuhi gurun, mencari
putri yang terkurung di istana gergasi, di
seberang bentangan air yang entah.
Ketika kabut hujan datang dari langit jauh,
dan halilintar mulai menyambar bagai sakit
yang tiba-tiba terasa, ingatkah dia pada
ibunya yang gundah, ditinggalkan raja,
menyapu kandang lembu, dan menyeka
air matanya, sementara dia sang putra
memacu kuda di padang pasir Tepantar?
Lihatlah, ibu, hari nyaris gelap nyaris malam,
tak lagi ada musafir nun di jalan pedusunan.
Bocah gembala pulang lekas dari padang rumput,
dan lelaki meninggalkan ladang pulang, lalu duduk
beralas tikar di gubuk, melihat awan merengut.
Ibu, sudah kusimpan semua buku pelajaran di rak,
jangan dulu menyuruhku belajar lagi sekarang ini.
Nanti kalau aku besar seperti ayah, aku akan
pelajari semua yang memang harus dipelajari.
Tapi, mohon untuk hari ini saja, beri tahu aku,
ibu, di mana gurun Tepantar dalam dongeng itu?
* Syair ke-17 dari The Crescent Moon.
THE LAND OF THE EXILE
Mother, the light has grown grey in the sky; I do not know what
the time is.
There is no fun in my play, so I have come to you. It is
Saturday, our holiday.
Leave off your work, mother; sit here by the window and tell me
where the desert of Tepantar in the fairy tale is?
The shadow of the rains has covered the day from end to end.
The fierce lightning is scratching the sky with its nails.
When the clouds rumble and it thunders, I love to be afraid in my
heart and cling to you.
When the heavy rain patters for hours on the bamboo leaves, and
our windows shake and rattle at the gusts of wind, I like to sit
alone in the room, mother, with you, and hear you talk about the
desert of Tepantar in the fairy tale.
Where is it, mother, on the shore of what sea, at the foot of
what hills, in the kingdom of what king?
There are no hedges there to mark the fields, no footpath across
it by which the villagers reach their village in the evening, or
the woman who gathers dry sticks in the forest can bring her load
to the market. With patches of yellow grass in the sand and only
one tree where the pair of wise old birds have their nest, lies
the desert of Tepantar.
I can imagine how, on just such a cloudy day, the young son of
the king is riding alone on a grey horse through the desert, in
search of the princess who lies imprisoned in the giant's palace
across that unknown water.
When the haze of the rain comes down in the distant sky, and
lightning starts up like a sudden fit of pain, does he remember
his unhappy mother, abandoned by the king, sweeping the cow-stall
and wiping her eyes, while he rides through the desert of
Tepantar in the fairy tale?
See, mother, it is almost dark before the day is over, and there
are no travellers yonder on the village road.
The shepherd boy has gone home early from the pasture, and men
have left their fields to sit on mats under the eaves of their
huts, watching the scowling clouds.
Mother, I have left all my books on the shelf--do not ask me to
do my lessons now.
When I grow up and am big like my father, I shall learn all that
must be learnt.
But just for to-day, tell me, mother, where the desert of
Tepantar in the fairy tale is?
Ibu, ada cahaya jadi kelabu di langit; tapi
sekarang sudah pukul berapa, aku tak tahu.
Permainanku tak asyik lagi, maka biar saja aku
datang padamu. Ini hari Sabtu, liburnya kita.
Tinggalkan dulu kerjamu, ibu, duduk di sini
bersisi jendela lalu ceritakan padaku di mana
padang pasir Tepantar dalam dongeng itu?
Bayang-bayang hujan itu menutupi rapat
mendekap hari dari akhir hingga akhir.
Halilintar menyambar mencakar langit
dengan tajam jari-jari di tangannya.
Ketika awan gaduh dan hari dikepung badai
aku suka takut di hatiku, berpeluk padamu.
Ketika lebat hujan berderai berbilang jam
di daun-daun bambu, dan jendela rumah kita
berguncang, tersebab kencang hembus angin,
aku suka duduk sendiri di kamar, ibu, denganmu,
dan menyimak ceritamu: tentang padang
pasir Tepantar dalam dongeng itu.
Di manakah gurun itu, ibu? Di pantai laut apakah?
Di kaki bukit apakah? Di kerajaan siapa rajanya?
Tak ada pagar yang menanda batas ladang, tak
ada jalan setapak supaya orang desa bisa pulang
ketika sudah tiba malam, atau perempuan
dari hutan memikul kayu bakar ke pasar. Ada
petak-petak rumput kuning di pasir dan hanya
sebatang pohon di mana sepasang burung tua
membuat sarangnya, di padang pasir Tepantar.
Tak bisa kukhayalkan, bagaimana di hari
mendung itu putra belia raja memacu kuda
abu-abu, sendiri menempuhi gurun, mencari
putri yang terkurung di istana gergasi, di
seberang bentangan air yang entah.
Ketika kabut hujan datang dari langit jauh,
dan halilintar mulai menyambar bagai sakit
yang tiba-tiba terasa, ingatkah dia pada
ibunya yang gundah, ditinggalkan raja,
menyapu kandang lembu, dan menyeka
air matanya, sementara dia sang putra
memacu kuda di padang pasir Tepantar?
Lihatlah, ibu, hari nyaris gelap nyaris malam,
tak lagi ada musafir nun di jalan pedusunan.
Bocah gembala pulang lekas dari padang rumput,
dan lelaki meninggalkan ladang pulang, lalu duduk
beralas tikar di gubuk, melihat awan merengut.
Ibu, sudah kusimpan semua buku pelajaran di rak,
jangan dulu menyuruhku belajar lagi sekarang ini.
Nanti kalau aku besar seperti ayah, aku akan
pelajari semua yang memang harus dipelajari.
Tapi, mohon untuk hari ini saja, beri tahu aku,
ibu, di mana gurun Tepantar dalam dongeng itu?
* Syair ke-17 dari The Crescent Moon.
THE LAND OF THE EXILE
Mother, the light has grown grey in the sky; I do not know what
the time is.
There is no fun in my play, so I have come to you. It is
Saturday, our holiday.
Leave off your work, mother; sit here by the window and tell me
where the desert of Tepantar in the fairy tale is?
The shadow of the rains has covered the day from end to end.
The fierce lightning is scratching the sky with its nails.
When the clouds rumble and it thunders, I love to be afraid in my
heart and cling to you.
When the heavy rain patters for hours on the bamboo leaves, and
our windows shake and rattle at the gusts of wind, I like to sit
alone in the room, mother, with you, and hear you talk about the
desert of Tepantar in the fairy tale.
Where is it, mother, on the shore of what sea, at the foot of
what hills, in the kingdom of what king?
There are no hedges there to mark the fields, no footpath across
it by which the villagers reach their village in the evening, or
the woman who gathers dry sticks in the forest can bring her load
to the market. With patches of yellow grass in the sand and only
one tree where the pair of wise old birds have their nest, lies
the desert of Tepantar.
I can imagine how, on just such a cloudy day, the young son of
the king is riding alone on a grey horse through the desert, in
search of the princess who lies imprisoned in the giant's palace
across that unknown water.
When the haze of the rain comes down in the distant sky, and
lightning starts up like a sudden fit of pain, does he remember
his unhappy mother, abandoned by the king, sweeping the cow-stall
and wiping her eyes, while he rides through the desert of
Tepantar in the fairy tale?
See, mother, it is almost dark before the day is over, and there
are no travellers yonder on the village road.
The shepherd boy has gone home early from the pasture, and men
have left their fields to sit on mats under the eaves of their
huts, watching the scowling clouds.
Mother, I have left all my books on the shelf--do not ask me to
do my lessons now.
When I grow up and am big like my father, I shall learn all that
must be learnt.
But just for to-day, tell me, mother, where the desert of
Tepantar in the fairy tale is?
Skenario untuk Klip Video Lagu Rock
Lansekap hitam, lansekap putih,
sepertiga cakrawala selebihnya angkasa,
terhambur hancur awan batu-batu cadas.
O, matahari secuil cuma, redup sinarnya...
"Beri aku lirik yang lebih keras!"
Bukit runtuh hujan pasir: lelaki terusir,
melangkah lelah ke lelah: kaki kutung sebelah
hari hanya senja, ramalan cuaca menyebut badai tiba.
Lelaki mendekap satu-satunya batu, dia memilihnya,
bagi memperparah siksa, memperdarah luka...
"Tuan, beri aku hingar yang lebih meraung!"
Lalu deru angin mengaduk gurun: gerun,
Lalu lolong anjing mengintai mangsa lapar,
Lalu serak nafas: antara dengus dan putus...
"Beri aku gelap yang tak tembus suara..."
Jan 2004
sepertiga cakrawala selebihnya angkasa,
terhambur hancur awan batu-batu cadas.
O, matahari secuil cuma, redup sinarnya...
"Beri aku lirik yang lebih keras!"
Bukit runtuh hujan pasir: lelaki terusir,
melangkah lelah ke lelah: kaki kutung sebelah
hari hanya senja, ramalan cuaca menyebut badai tiba.
Lelaki mendekap satu-satunya batu, dia memilihnya,
bagi memperparah siksa, memperdarah luka...
"Tuan, beri aku hingar yang lebih meraung!"
Lalu deru angin mengaduk gurun: gerun,
Lalu lolong anjing mengintai mangsa lapar,
Lalu serak nafas: antara dengus dan putus...
"Beri aku gelap yang tak tembus suara..."
Jan 2004
Wednesday, January 14, 2004
Potret Polaroid Dua Lembar
/1/
dia yang membaringkan rambut: wanita
di telanjang ranjang,
bantal krem sulaman cecak dikelim
menyentuh jari palma, nafsu meminta
bukit di dada, cuma seada-adanya
dari puting ke puting tatapku menguning.
pose yang kering.
/2/
ranggas perdu berbaris ragu
di luar mungkin putih salju
sisa matahari menggambar bayangan. Kelabu.
: kau yang menatap ke lensa kamera
senyum senja ranum, mata yang rabun
pedih kalbu kau bungkus kimono.
jendela, setengah singkap
dadamu, sepertiga ungkap
sasak tinggi rambut, konde di tengkuk
siapa semalam dan nanti lagi membuka
jerat pita ungu, kulihat membebat
di selingkar pinggangmu?
Jan 2004
dia yang membaringkan rambut: wanita
di telanjang ranjang,
bantal krem sulaman cecak dikelim
menyentuh jari palma, nafsu meminta
bukit di dada, cuma seada-adanya
dari puting ke puting tatapku menguning.
pose yang kering.
/2/
ranggas perdu berbaris ragu
di luar mungkin putih salju
sisa matahari menggambar bayangan. Kelabu.
: kau yang menatap ke lensa kamera
senyum senja ranum, mata yang rabun
pedih kalbu kau bungkus kimono.
jendela, setengah singkap
dadamu, sepertiga ungkap
sasak tinggi rambut, konde di tengkuk
siapa semalam dan nanti lagi membuka
jerat pita ungu, kulihat membebat
di selingkar pinggangmu?
Jan 2004
Putri Duyung dan Orang-orang Mabuk: Sebuah Fabel*
Sajak Pablo Neruda
Para lelaki itu semua di dalam di ruang,
Ketika dia datang, sepenuhnya telanjang.
Para lelaki telah mabuk: muncratkan ludah.
Dia benar-benar baru di situ, datang
dari sungai itu, tak ada yang dia tahu.
Dia putri duyung, dia tersesat jalan.
Serapah sumpah tumpah, tubuhnya sinar basah.
Kata-kata cabul kuyup, gemerlap payudaranya sayup.
Dia tak tahu air mata, dia tak mengusap air mata.
Dita tak tahu pakaian, dia tak tak punya apa-apa.
Mereka melemparinya tutup botol dan puntung.
lalu bergulingan tertawa di lantai kedai minum.
Dia tak mengucap apa-apa karena tak punya kata.
Dari matanya memancar warna, cinta nun jauh di sana,
dua belah tangannya bagai permata putih cempaka.
Bibirnya bergetar, suara bisu, karang bercahaya.
dan seketika dia bergegas keluar menuju pintu.
Lalu menyatui sungai, membasuh tubuh
bersinar bagai batu putih dibelai hujan.
dan tanpa menoleh lagi dia berenang kembali.
menjelang ke kekosongan, mendekat ke kematian.
* Dari Fable of the Mermaid and the Drunks
dalam kumpulan Sajak Estravagario
----
Fable of the Mermaid and the Drunks
All those men were there inside,
when she came in totally naked.
They had been drinking: they began to spit.
Newly come from the river, she knew nothing.
She was a mermaid who had lost her way.
The insults flowed down her gleaming flesh.
Obscenities drowned her golden breasts.
Not knowing tears, she did not weep tears.
Not knowing clothes, she did not have clothes.
They blackened her with burnt corks and cigarette stubs,
and rolled around laughing on the tavern floor.
She did not speak because she had no speech.
Her eyes were the colour of distant love,
her twin arms were made of white topaz.
Her lips moved, silent, in a coral light,
and suddenly she went out by that door.
Entering the river she was cleaned,
shining like a white stone in the rain,
and without looking back she swam again
swam towards emptiness, swam towards death.
Para lelaki itu semua di dalam di ruang,
Ketika dia datang, sepenuhnya telanjang.
Para lelaki telah mabuk: muncratkan ludah.
Dia benar-benar baru di situ, datang
dari sungai itu, tak ada yang dia tahu.
Dia putri duyung, dia tersesat jalan.
Serapah sumpah tumpah, tubuhnya sinar basah.
Kata-kata cabul kuyup, gemerlap payudaranya sayup.
Dia tak tahu air mata, dia tak mengusap air mata.
Dita tak tahu pakaian, dia tak tak punya apa-apa.
Mereka melemparinya tutup botol dan puntung.
lalu bergulingan tertawa di lantai kedai minum.
Dia tak mengucap apa-apa karena tak punya kata.
Dari matanya memancar warna, cinta nun jauh di sana,
dua belah tangannya bagai permata putih cempaka.
Bibirnya bergetar, suara bisu, karang bercahaya.
dan seketika dia bergegas keluar menuju pintu.
Lalu menyatui sungai, membasuh tubuh
bersinar bagai batu putih dibelai hujan.
dan tanpa menoleh lagi dia berenang kembali.
menjelang ke kekosongan, mendekat ke kematian.
* Dari Fable of the Mermaid and the Drunks
dalam kumpulan Sajak Estravagario
----
Fable of the Mermaid and the Drunks
All those men were there inside,
when she came in totally naked.
They had been drinking: they began to spit.
Newly come from the river, she knew nothing.
She was a mermaid who had lost her way.
The insults flowed down her gleaming flesh.
Obscenities drowned her golden breasts.
Not knowing tears, she did not weep tears.
Not knowing clothes, she did not have clothes.
They blackened her with burnt corks and cigarette stubs,
and rolled around laughing on the tavern floor.
She did not speak because she had no speech.
Her eyes were the colour of distant love,
her twin arms were made of white topaz.
Her lips moved, silent, in a coral light,
and suddenly she went out by that door.
Entering the river she was cleaned,
shining like a white stone in the rain,
and without looking back she swam again
swam towards emptiness, swam towards death.
Tuesday, January 13, 2004
Hari Rekah: Semua Masa Lalu Berlalu
Sajak Pablo Neruda
Hari rekah: semua masa lalu pergi berlalu
di antara jari-jari cahaya dan bola mata mimpi,
esok akan tiba juga, langkahlangkah kaki hijau:
tak ada yang menarik balik sungai fajar hari.
Tak ada yang menarik membalik sungai tanganmu,
bola mata mimpimu, kekasih terkasih hati.
Engkaulah gemetar waktu yang berlari laju
di antara cahaya terakhir dan mengelam matahari.
Dan langit mengatup sayapnya mendekapmu
menggendongmu dan membawamu ke lenganku
dengan sepenuh rasa hormat, yang tak kau tahu.
Aku nyanyikan lagu ini bagi hari, bagi bulan itu,
bagi laut, bagi segenap planet dan bagi waktu
bagi suara suara siangmu, tubuh malammu.
* Sajak ke 49 dari Cien Sonetos de Amor
Day breaks: the whole of yesterday went falling’
Day breaks: the whole of yesterday went falling
among fingers of light and eyes of dream,
tomorrow will arrive with green footsteps:
no one holds back the river of dawn.
No one holds back the river of your hands,
the eyes of your dream, beloved.
You are the tremor of time that runs
between light on end and darkened sunlight.
And the sky closes over you its wings
lifts you and brings you to my arms
with exact, mysterious courtesy.
For this I sing to the day and the moon,
to the sea, to time, to every planet,
to your diurnal voice, to your nocturnal flesh.
Hari rekah: semua masa lalu pergi berlalu
di antara jari-jari cahaya dan bola mata mimpi,
esok akan tiba juga, langkahlangkah kaki hijau:
tak ada yang menarik balik sungai fajar hari.
Tak ada yang menarik membalik sungai tanganmu,
bola mata mimpimu, kekasih terkasih hati.
Engkaulah gemetar waktu yang berlari laju
di antara cahaya terakhir dan mengelam matahari.
Dan langit mengatup sayapnya mendekapmu
menggendongmu dan membawamu ke lenganku
dengan sepenuh rasa hormat, yang tak kau tahu.
Aku nyanyikan lagu ini bagi hari, bagi bulan itu,
bagi laut, bagi segenap planet dan bagi waktu
bagi suara suara siangmu, tubuh malammu.
* Sajak ke 49 dari Cien Sonetos de Amor
Day breaks: the whole of yesterday went falling’
Day breaks: the whole of yesterday went falling
among fingers of light and eyes of dream,
tomorrow will arrive with green footsteps:
no one holds back the river of dawn.
No one holds back the river of your hands,
the eyes of your dream, beloved.
You are the tremor of time that runs
between light on end and darkened sunlight.
And the sky closes over you its wings
lifts you and brings you to my arms
with exact, mysterious courtesy.
For this I sing to the day and the moon,
to the sea, to time, to every planet,
to your diurnal voice, to your nocturnal flesh.
Sebuah Hukuman*
Sajak Anna Akhmatova
Dan kata yang membatu jatuh menimpa
pada dadaku: masih ada nafas sisa.
Tak ambil peduli, lama bersiap diri.
Sebisaku kutanggung ini sendiri.
Hari ini, banyak musti diperbuat lagi:
Sekali tikam, semua kenangan mati,
Sekali berpaling, membatu hati,
Lalu belajar untuk hidup lagi.
Meskipun... musim panas kerap berdesir
seperti pesta tampak di luar jendela.
Sudah lama kutunggu ia akan tiba:
Hari cemerlang, rumah terbuang.
Hasan A dan Dobby F menerjemahkan sajak ini dari versi Inggris yang sudah diterjemahkan dari Bahasa Russia oleh Judith Hemschemeyer.
The Sentence
And the stone word fell
On my still-living breast.
Never mind, I was ready.
I will manage somehow.
Today I have so much to do:
I must kill memory once and for all,
I must turn my soul to stone,
I must learn to live again.
Unless . . . Summer's ardent rustling
Is like a festival outside my window.
For a long time I've foreseen this
Brilliant day, deserted house.
Dan kata yang membatu jatuh menimpa
pada dadaku: masih ada nafas sisa.
Tak ambil peduli, lama bersiap diri.
Sebisaku kutanggung ini sendiri.
Hari ini, banyak musti diperbuat lagi:
Sekali tikam, semua kenangan mati,
Sekali berpaling, membatu hati,
Lalu belajar untuk hidup lagi.
Meskipun... musim panas kerap berdesir
seperti pesta tampak di luar jendela.
Sudah lama kutunggu ia akan tiba:
Hari cemerlang, rumah terbuang.
Hasan A dan Dobby F menerjemahkan sajak ini dari versi Inggris yang sudah diterjemahkan dari Bahasa Russia oleh Judith Hemschemeyer.
The Sentence
And the stone word fell
On my still-living breast.
Never mind, I was ready.
I will manage somehow.
Today I have so much to do:
I must kill memory once and for all,
I must turn my soul to stone,
I must learn to live again.
Unless . . . Summer's ardent rustling
Is like a festival outside my window.
For a long time I've foreseen this
Brilliant day, deserted house.
Sunday, January 11, 2004
RUMAH*
Syair Rabindranath Tagore
Melangkah sendiri aku di jalan itu, di seberang
padang padi, matahari di sana sedang tenggelam
bagai si kikir menyembunyi kilauan emas terakhir.
Terang siang tenggelam dalam dan lebih dalam
ke peluk gelap, dan panen telah dipungut dari ladang,
menjanda ditinggal petani, ia terhampar menyepi.
Tiba-tiba ada lengking suara bocah nyaring, menuding
ke langit. Tak tampak mata dilintasnya gelap angkasa,
lihat jejak nada lagunya, memintasi diamnya malam.
Kampung halamannya ada di sana, di ujung lahan kosong,
di antara ladang tebu, tersembunyi di antara bayang
pisang dan lampai pinang, pohon kelapa, dan nangka
hijau tua.
Aku sejenak menjeda langkah, diam sendiri di sinar bintang,
dan menebar pandang ke belakang, bumi mengelam,
mengepungkan gelap dengan lengan-lengannya, rumah
tak terbilang berperkakas buaian dan ranjang nyaman,
hati ibu dan lentera malam, dan hidup mula yang gembira
dengan kegirangan yang tak pernah tahu betapa bernilainya
dia bagi dunia.
* Dari The Home, syair pertama dari rangkaia 40 syair
dalam The Crescent Moon.
///
THE HOME
I paced alone on the road across the field while the sunset was
hiding its last gold like a miser.
The daylight sank deeper and deeper into the darkness, and the
widowed land, whose harvest had been reaped, lay silent.
Suddenly a boy's shrill voice rose into the sky. He traversed
the dark unseen, leaving the track of his song across the hush of
the evening.
His village home lay there at the end of the waste land, beyond
the sugar-cane field, hidden among the shadows of the banana and
the slender areca palm, the cocoa-nut and the dark green
jack-fruit trees.
I stopped for a moment in my lonely way under the starlight, and
saw spread before me the darkened earth surrounding with her arms
countless homes furnished with cradles and beds, mothers' hearts
and evening lamps, and young lives glad with a gladness that
knows nothing of its value for the world.
Melangkah sendiri aku di jalan itu, di seberang
padang padi, matahari di sana sedang tenggelam
bagai si kikir menyembunyi kilauan emas terakhir.
Terang siang tenggelam dalam dan lebih dalam
ke peluk gelap, dan panen telah dipungut dari ladang,
menjanda ditinggal petani, ia terhampar menyepi.
Tiba-tiba ada lengking suara bocah nyaring, menuding
ke langit. Tak tampak mata dilintasnya gelap angkasa,
lihat jejak nada lagunya, memintasi diamnya malam.
Kampung halamannya ada di sana, di ujung lahan kosong,
di antara ladang tebu, tersembunyi di antara bayang
pisang dan lampai pinang, pohon kelapa, dan nangka
hijau tua.
Aku sejenak menjeda langkah, diam sendiri di sinar bintang,
dan menebar pandang ke belakang, bumi mengelam,
mengepungkan gelap dengan lengan-lengannya, rumah
tak terbilang berperkakas buaian dan ranjang nyaman,
hati ibu dan lentera malam, dan hidup mula yang gembira
dengan kegirangan yang tak pernah tahu betapa bernilainya
dia bagi dunia.
* Dari The Home, syair pertama dari rangkaia 40 syair
dalam The Crescent Moon.
///
THE HOME
I paced alone on the road across the field while the sunset was
hiding its last gold like a miser.
The daylight sank deeper and deeper into the darkness, and the
widowed land, whose harvest had been reaped, lay silent.
Suddenly a boy's shrill voice rose into the sky. He traversed
the dark unseen, leaving the track of his song across the hush of
the evening.
His village home lay there at the end of the waste land, beyond
the sugar-cane field, hidden among the shadows of the banana and
the slender areca palm, the cocoa-nut and the dark green
jack-fruit trees.
I stopped for a moment in my lonely way under the starlight, and
saw spread before me the darkened earth surrounding with her arms
countless homes furnished with cradles and beds, mothers' hearts
and evening lamps, and young lives glad with a gladness that
knows nothing of its value for the world.
[Ruang Renung # 53] Renungan dari Nirwan: Mari Membunuh Sapardi...
KUTIPAN berikut ini berasal dari majalah Tempo No 44, Edisi Khusus, 4 Januari 2004. Penulisnya Nirwan Dewanto. Judul artikelnya Jalan Setapak Berduri.
     Kutipannya: Puisi mutakhir kita konon adalah penjelajahan makna sampai ke ujung cakrawala tak terduga. Tapi para penyair muda kita terbebani -- bukan terberkahi -- oleh pada pendahulu mereka. Warisan sastra nasional dihadapi tidak dengan sikap kritis, namun ketakjuban. Ya, ini sudah berlangsung paling tidak dua dasawarsa terakhir -- sungguh terlalu lama. Sehingga sejumlah bentuk dan idiom dibeku-bekukan di alam bawah sadar dan suatu ketika "dhidupkan" lagi dengan pretensi kebaruan -- atau sekadar keganjilan? Hasilnya: sejenis abstraksi, namun dalam arti negetif.
     Puisi sesungguhnya dibangun oleh frasa-frasa, tapi itu tak berarti bahwa gramatika ditelantarkan. Frasa adalah kalimat yang tak lengkap: dengan itulah kata dimaksimalkan kekuatannya. Dengan rumpang antar-frasa kita mendapatkan permainan antara sunyi dan bunyi, rupa dan kekosongan, kata-hati dan kata-kepala. Dengan kata lain, sebuah ambiguitas. Saya khawatir pada penyair terkini bukan mengolah frasa, tapi tak bisa berkalimat. Begitu banyak nomina abstrak dan begtu miskin kosa kata terpakai. Rima hanya menjadi bunyi di ujung baris, bukan gema dalam frasa. Metafor menjadi batal atau mubazir, karena semantika diabaikan. Puisi sekadar peng-aku-an yang tanpa ironi.
     Saya takjub kenapa, misalnya, pengaruh puisi Sapardi Djoko Damono begitu kuatnya hingga hari ini, sebagaimana terlihat pada Joko Pinurbo dan Dorothea Rosa Herliany: yang pertama meluweskan gaya Sapardi, yang kedua meruwetkannya. Benar, para penyair terbaru niscaya memerlukan dasar dari mana mereka bisa melompat tinggi-tinggi. Bahkan tak sedikit penyair, misalnya Ulfatin Ch, yang bergantung buka hanya pada puisi Sapardi, tapi juga terjemahannya (antara lain penyair Yunani George Seferis). Tapi, Pinurbo, Rosa, Ulfatin juga para penyair Bali yang kini melimpahi gelanggang -- pendeknya seluruh generasi mereka -- sudah sampai ke tahap jenuh, mahajenuh, masing-masing. Mereka mesti membunuh Sapardi, Goenawan Mohamad, dan segenap warisan puisi lirik Indonesia. Mereka harus berpaling sepenuhnya ke sumber-sumber lain.
     Demikianlah....
     Nirwan sinis? Pesimis? Teramat kritis? Ada semacam disclaimer pada awal dan akhir tulisannya itu. Dia memang tidak hendak dan tidak bisa membentangkan pemandangan molek, yang katanya hanya akan membuatnya menjadi penggirang palsu. Dia, katanya, sengaja memilih jalan setapak berduri dan dia bertanya: mungkin jalan itu akan mengantarnya ke kaki langit yang lebih benderang --- atau sekadar ke pinggir jurang?
     Mari kita selamatkan Nirwan. Jangan sampai ia jatuh ke dalam jurang.[hah]
     Kutipannya: Puisi mutakhir kita konon adalah penjelajahan makna sampai ke ujung cakrawala tak terduga. Tapi para penyair muda kita terbebani -- bukan terberkahi -- oleh pada pendahulu mereka. Warisan sastra nasional dihadapi tidak dengan sikap kritis, namun ketakjuban. Ya, ini sudah berlangsung paling tidak dua dasawarsa terakhir -- sungguh terlalu lama. Sehingga sejumlah bentuk dan idiom dibeku-bekukan di alam bawah sadar dan suatu ketika "dhidupkan" lagi dengan pretensi kebaruan -- atau sekadar keganjilan? Hasilnya: sejenis abstraksi, namun dalam arti negetif.
     Puisi sesungguhnya dibangun oleh frasa-frasa, tapi itu tak berarti bahwa gramatika ditelantarkan. Frasa adalah kalimat yang tak lengkap: dengan itulah kata dimaksimalkan kekuatannya. Dengan rumpang antar-frasa kita mendapatkan permainan antara sunyi dan bunyi, rupa dan kekosongan, kata-hati dan kata-kepala. Dengan kata lain, sebuah ambiguitas. Saya khawatir pada penyair terkini bukan mengolah frasa, tapi tak bisa berkalimat. Begitu banyak nomina abstrak dan begtu miskin kosa kata terpakai. Rima hanya menjadi bunyi di ujung baris, bukan gema dalam frasa. Metafor menjadi batal atau mubazir, karena semantika diabaikan. Puisi sekadar peng-aku-an yang tanpa ironi.
     Saya takjub kenapa, misalnya, pengaruh puisi Sapardi Djoko Damono begitu kuatnya hingga hari ini, sebagaimana terlihat pada Joko Pinurbo dan Dorothea Rosa Herliany: yang pertama meluweskan gaya Sapardi, yang kedua meruwetkannya. Benar, para penyair terbaru niscaya memerlukan dasar dari mana mereka bisa melompat tinggi-tinggi. Bahkan tak sedikit penyair, misalnya Ulfatin Ch, yang bergantung buka hanya pada puisi Sapardi, tapi juga terjemahannya (antara lain penyair Yunani George Seferis). Tapi, Pinurbo, Rosa, Ulfatin juga para penyair Bali yang kini melimpahi gelanggang -- pendeknya seluruh generasi mereka -- sudah sampai ke tahap jenuh, mahajenuh, masing-masing. Mereka mesti membunuh Sapardi, Goenawan Mohamad, dan segenap warisan puisi lirik Indonesia. Mereka harus berpaling sepenuhnya ke sumber-sumber lain.
     Demikianlah....
     Nirwan sinis? Pesimis? Teramat kritis? Ada semacam disclaimer pada awal dan akhir tulisannya itu. Dia memang tidak hendak dan tidak bisa membentangkan pemandangan molek, yang katanya hanya akan membuatnya menjadi penggirang palsu. Dia, katanya, sengaja memilih jalan setapak berduri dan dia bertanya: mungkin jalan itu akan mengantarnya ke kaki langit yang lebih benderang --- atau sekadar ke pinggir jurang?
     Mari kita selamatkan Nirwan. Jangan sampai ia jatuh ke dalam jurang.[hah]
[Tentang Puisi] Penyair, Seperti Orang Bercinta: Babette Deutsch
Penyair ... seperti orang bercinta .... adalah orang yang tidak bisa mendamaikan antara apa yang dia tahu dengan apa yang dia rasakan. Tapi, keganjilannya adalah dia melakukan itu di bawah semacam tekanan atau paksaan.
[Tentang Puisi] Menulis dan Memahami Puisi, Michel de Montaigne
KITA punya lebih banyak puisi daripada penilai dan penafsir puisi. Memang, lebih mudah menulis sebuah puisi yang berbeda daripada memahami sebuah puisi yang baik.
Baju
Sajak Carl Sandburg
Kupakai baju sebagai tanda dan lambang
lebih dari hanya pelindung panas dan hujan,
Kupakai baju sebagai isyarat,
sebagai pencerita jiwa.
Bisa saja kulepas dan kukoyak bajuku,
dan bikin ribut suara mengejek dan robek,
dan mereka akan bilang.
"Lihat, dia mengoyak bajunya."
Bisa saja aku tetap memakai bajuku.
Bisa saja menunggu, bernyanyi bagai burung kecil
dan lihatlah ke dalam mata mereka tak terusik.
Bisa saja aku tetap memakai bajuku.
Shirt
My shirt is a token and symbol,
more than a cover for sun and rain,
my shirt is a signal,
and a teller of souls.
I can take off my shirt and tear it,
and so make a ripping razzly noise,
and the people will say,
"Look at him tear his shirt."
I can keep my shirt on.
I can stick around and sing like a little bird
and look 'em all in the eye and never be fazed.
I can keep my shirt on.
Sup
Sajak Carl Sandburg
Ada aku nampak orang mahsyur itu makan sup.
Kulihat dia mendekatkan kuah lemak menghirup,
ke mulutnya dengan sendok.
Di koran hari itu ada disebut namanya.
Dicetak dengan huruf besar: berita utama!
Dan ribuan orang asyik menggunjingkannya.
Ketika aku melihat dia,
Dia lagi duduk, mendekat piring menunduk.
Menyuap sup ke mulutnya dengan sendok.
Soup
I saw the famous man eating soup.
I say he was lifting a fat broth
Into his mouth with a spoon.
His name was in the newspapers that day
Spelled out in tall black headlines
And thousands of people were talking about him.
When I saw him,
He sat bending his head over a plate
Putting soup in his mouth with a spoon.
[Dari Smoke and Steel, 1920]
Sajak Carl Sandburg
Kupakai baju sebagai tanda dan lambang
lebih dari hanya pelindung panas dan hujan,
Kupakai baju sebagai isyarat,
sebagai pencerita jiwa.
Bisa saja kulepas dan kukoyak bajuku,
dan bikin ribut suara mengejek dan robek,
dan mereka akan bilang.
"Lihat, dia mengoyak bajunya."
Bisa saja aku tetap memakai bajuku.
Bisa saja menunggu, bernyanyi bagai burung kecil
dan lihatlah ke dalam mata mereka tak terusik.
Bisa saja aku tetap memakai bajuku.
Shirt
My shirt is a token and symbol,
more than a cover for sun and rain,
my shirt is a signal,
and a teller of souls.
I can take off my shirt and tear it,
and so make a ripping razzly noise,
and the people will say,
"Look at him tear his shirt."
I can keep my shirt on.
I can stick around and sing like a little bird
and look 'em all in the eye and never be fazed.
I can keep my shirt on.
Sup
Sajak Carl Sandburg
Ada aku nampak orang mahsyur itu makan sup.
Kulihat dia mendekatkan kuah lemak menghirup,
ke mulutnya dengan sendok.
Di koran hari itu ada disebut namanya.
Dicetak dengan huruf besar: berita utama!
Dan ribuan orang asyik menggunjingkannya.
Ketika aku melihat dia,
Dia lagi duduk, mendekat piring menunduk.
Menyuap sup ke mulutnya dengan sendok.
Soup
I saw the famous man eating soup.
I say he was lifting a fat broth
Into his mouth with a spoon.
His name was in the newspapers that day
Spelled out in tall black headlines
And thousands of people were talking about him.
When I saw him,
He sat bending his head over a plate
Putting soup in his mouth with a spoon.
[Dari Smoke and Steel, 1920]
Saturday, January 10, 2004
Secarik Kartu As Sekop
"Aku telah meringkusmu, Tuan & Puan!"
Dipandanginya lagi, potret kedua anak,
dari bulan Juli yang mendesaknya sembunyi,
di dinding kamar penyekapan Ridwaniyah.
Kekejaman dan tulang-belulang ribuan orang
telah jadi jeruji: kini mengurungnya sendiri.
Dekat sungguh dari ketakberdayaannya, di istananya.
"Siapa kini yang sedang menggelar pesta di sana?"
Sedang para petinggi setianya bertetangga di
penjara yang dijaga sepasukan laskar dari lain benua....
"Aku telah meringkusmu, Tuan & Puan!"
Ini kamar cuma 3x4 meter. Pakaian bui selembar:
oranye warnanya, hambar. 12 jam interogasi. Maka,
bisakah di sini seluruh kusut kasut sejarah diluruskan?
Bisakah sebuah dusta dicarikan alas alasan?
Tak sampai juga surat dari si bungsu, dari Yordan,
dia menatap janggutnya betapa kusut, di halaman
depan surat kabar dengan headline yang serentak:
foto dari bunker yang sesak, dan Saddam yang
tak bisa mengelak dari angkuh yang sekehendak.
1979. Segala dimulakan perlahan perlahan. Hingga
13 Desember, tanggal hari yang hendak ia lupakan.
"Tuan & Puan, aku telah meringkusmu, kan?"
Jan 2003
Thursday, January 8, 2004
Sabun di Punggungmu, Dian Sastrowardoyo!
Foto: @ Damon Taylor.
/1/
mari kucarikkan sesobek kertas
untuk beberapa bait puisi
kau pasti teramat sibuk
hari-hari ini.
/2/
hanya untuk beberapa bait puisi
sebelum tayangan infotainment
mencatat biografimu tak putus hari
diantar oleh televisi, a home delivery, kau
mengedipkan mata bagi kami.
/3/
eh, ada bekas adegan ciuman
di bibirmu. "Jangan diseka,
biarkan imajinasiku
melekat di sana..."
/4/
mari kucarikkan sesobek kertas
barangkali ada nanti terbaca
teori filsafat yang penggal,
ayat-ayat pendek dan doa
yang ingin kau hafal.
/5/
hei, ada merek sabun mandi
di punggungmu! mari mendekat
biar kubaca wanginya, mari kucatat
biar di sana puisiku makin sesat.
Jan 2004
Wednesday, January 7, 2004
Tanganmu
Sajak Pablo Neruda
Ketika tanganmu menyambar
menyergap tanganku, Kasih,
lalu mengambang, apa
dibawanya untukku?
Kenapa tanganmu berhenti
di bibirku, teramat tiba-tiba,
kenapa aku mengenalinya,
seperti sekali sebelumnya,
lalu, sebelum ia ada,
tangan-tanganmu pelesir
ke dahiku, ke pinggangku?
Halusnya tanganmu tiba
mengepak sayap menembusi waktu,
melewati laut dan kabut asap,
melewati Musim Semi,
dan ketika kau rebahkan
tanganmu di dadaku,
aku jadi tahu sayap-sayap ini
adalah sayap emas merpati,
aku jadi tahu liat itu,
aku tahu warna bulir padi.
Tahun-tahun hidupku
adalah jalan panjang pencarian,
pendakian anak-anak tangga,
penyeberangan ke batu-batu karang.
Gerbong kereta melemparkanku ke muka
air menyeruku kembali,
pada kulit buah anggur
seperti aku menyentuhmu.
Hutan, dalam kesekejapan,
membuat persentuhan denganmu,
pohon almon memanggil datang
kelembutanmu tersembunyi,
hingga kedua tanganmu
terkatup di dadaku,
bagai sepasang sayap
menyudahi kepak terbangnya.
* Dari Your Hands dalam Versos del Capitan
Ketika tanganmu menyambar
menyergap tanganku, Kasih,
lalu mengambang, apa
dibawanya untukku?
Kenapa tanganmu berhenti
di bibirku, teramat tiba-tiba,
kenapa aku mengenalinya,
seperti sekali sebelumnya,
lalu, sebelum ia ada,
tangan-tanganmu pelesir
ke dahiku, ke pinggangku?
Halusnya tanganmu tiba
mengepak sayap menembusi waktu,
melewati laut dan kabut asap,
melewati Musim Semi,
dan ketika kau rebahkan
tanganmu di dadaku,
aku jadi tahu sayap-sayap ini
adalah sayap emas merpati,
aku jadi tahu liat itu,
aku tahu warna bulir padi.
Tahun-tahun hidupku
adalah jalan panjang pencarian,
pendakian anak-anak tangga,
penyeberangan ke batu-batu karang.
Gerbong kereta melemparkanku ke muka
air menyeruku kembali,
pada kulit buah anggur
seperti aku menyentuhmu.
Hutan, dalam kesekejapan,
membuat persentuhan denganmu,
pohon almon memanggil datang
kelembutanmu tersembunyi,
hingga kedua tanganmu
terkatup di dadaku,
bagai sepasang sayap
menyudahi kepak terbangnya.
* Dari Your Hands dalam Versos del Capitan
Tuesday, January 6, 2004
Sebuah Soneta: Tambatkan Hatimu Bagiku*
Sajak Pablo Neruda
Pada malam, tambatkan hatimu bagiku,
dan, Kekasih, kita taklukkan kegelapan,
bagai dentam dua tambur di hutan bertalu
menabuh dinding tebal daun-daun kebasahan.
Malam menyeberang: mimpi hitam arang
memutusi benang-benang bola rajut bumi
menyongsong kereta, pada saatnya datang
menghela dingin batu dan bayang tak henti.
Cinta, karena cinta, ikat aku pada gerak sejati itu,
pada genggaman hidup yang mendebar dadamu,
dengan sayap-sayap tenggelam, sayap angsa itu,
Demikianlah, mimpi-mimpi kita menyahut suara
langit yang dikepung bintang-bintang bertanya
dengan satu kunci, pintu tertutup bayang maya.
* Soneta ke 76 dalam Cien Sonetos de Amor.
Pada malam, tambatkan hatimu bagiku,
dan, Kekasih, kita taklukkan kegelapan,
bagai dentam dua tambur di hutan bertalu
menabuh dinding tebal daun-daun kebasahan.
Malam menyeberang: mimpi hitam arang
memutusi benang-benang bola rajut bumi
menyongsong kereta, pada saatnya datang
menghela dingin batu dan bayang tak henti.
Cinta, karena cinta, ikat aku pada gerak sejati itu,
pada genggaman hidup yang mendebar dadamu,
dengan sayap-sayap tenggelam, sayap angsa itu,
Demikianlah, mimpi-mimpi kita menyahut suara
langit yang dikepung bintang-bintang bertanya
dengan satu kunci, pintu tertutup bayang maya.
* Soneta ke 76 dalam Cien Sonetos de Amor.
Malam yang Selalu Ditulis dalam Puisi
adalah dingin yang mencatat
sendiri suhu tanpa celcius
di tumpukan kaus dan usus
adalah senyap yang membisiki
suara sendiri, "kau dengarkah?"
Lalu teredam: langkah malam.
adalah puisi yang menekan sakral
bel di samping pintu. Ting tong!
"Adakah bait yang bisa kuisi?"
sendiri suhu tanpa celcius
di tumpukan kaus dan usus
adalah senyap yang membisiki
suara sendiri, "kau dengarkah?"
Lalu teredam: langkah malam.
adalah puisi yang menekan sakral
bel di samping pintu. Ting tong!
"Adakah bait yang bisa kuisi?"
Sunday, January 4, 2004
Begitulah Bayi
Syair Rabindranath Tagore
Jika memang dia inginkan, bayi dapat
melesat terbang ke surga, saat ini juga.
Bukan tanpa alasan, dia tak meninggalkan kita.
Bayi teramat cinta merebahkan kepalanya
di dada ibunya, dan ia juga tak tahan
bila ia kehilangan tatap pandangan ibunya.
Bayi tahu seluruh makna kata bijaksana,
kata yang hanya sedikit orang di bumi
yang bisa memahami arti sebenar-benarnya.
Bukan tanpa sebab, dia tak ingin bicara.
Satu-satunya yang ingin ia pelajari adalah
kata-kata ibunya, kata yang terucap dari bibir
ibunya. Sebab itu, ia seakan tak tahu apa-apa.
Bayi punya setimbun emas dan mutiara, tapi
dia datang ke bumi ini seperti pengemis kedana.
Bukan tanpa karena, dia datang seperti menyaru.
Pengemis kecil ini hanya berpura tak berdaya,
agar bisa memohon kekayaan cinta ibunya.
Di negeri kecil bulan sabit, bayi
teramat bebas dari segala belenggu.
Bukan tanpa apa-apa, dia pasrahkan kebebasannya.
Dia tahu, ada ruang bagi kegirangan tak habis-habis
di sudut kecil hati ibu, dan terperangkap dalam
dekapan lengan, jauh lebih manis dari kebebasan.
Bayi sesungguhnya tak pernah tahu tangisan.
Dia tinggal di negeri berlimpah kebahagiaan.
Bukan tanpa dalih, dia mencucurkan air mata.
Sebab dengan senyum di wajah ramahnya,
dia memikat rasa kasih ibu padanya,
dan tangis kecilnya menjalin
dua ikatan: belas kasihan dan cinta.
* Dari Baby's Way, syair ke-4 dari rangkaian
The Crescent Moon.
Ikra Bhaktiananda, Desember 2003. Dijepret oleh Hasan Aspahani.
Jika memang dia inginkan, bayi dapat
melesat terbang ke surga, saat ini juga.
Bukan tanpa alasan, dia tak meninggalkan kita.
Bayi teramat cinta merebahkan kepalanya
di dada ibunya, dan ia juga tak tahan
bila ia kehilangan tatap pandangan ibunya.
Bayi tahu seluruh makna kata bijaksana,
kata yang hanya sedikit orang di bumi
yang bisa memahami arti sebenar-benarnya.
Bukan tanpa sebab, dia tak ingin bicara.
Satu-satunya yang ingin ia pelajari adalah
kata-kata ibunya, kata yang terucap dari bibir
ibunya. Sebab itu, ia seakan tak tahu apa-apa.
Bayi punya setimbun emas dan mutiara, tapi
dia datang ke bumi ini seperti pengemis kedana.
Bukan tanpa karena, dia datang seperti menyaru.
Pengemis kecil ini hanya berpura tak berdaya,
agar bisa memohon kekayaan cinta ibunya.
Di negeri kecil bulan sabit, bayi
teramat bebas dari segala belenggu.
Bukan tanpa apa-apa, dia pasrahkan kebebasannya.
Dia tahu, ada ruang bagi kegirangan tak habis-habis
di sudut kecil hati ibu, dan terperangkap dalam
dekapan lengan, jauh lebih manis dari kebebasan.
Bayi sesungguhnya tak pernah tahu tangisan.
Dia tinggal di negeri berlimpah kebahagiaan.
Bukan tanpa dalih, dia mencucurkan air mata.
Sebab dengan senyum di wajah ramahnya,
dia memikat rasa kasih ibu padanya,
dan tangis kecilnya menjalin
dua ikatan: belas kasihan dan cinta.
* Dari Baby's Way, syair ke-4 dari rangkaian
The Crescent Moon.
Ikra Bhaktiananda, Desember 2003. Dijepret oleh Hasan Aspahani.
Sebuah Kenangan*
Sajak Pablo Neruda
Kenangan, di tengah ladang gandum
poppi berbunga, lembayung warnanya
sehalus bahkan lebih sutra dari sutra
dan tebar bius aroma ular sanca.
Yang tersisa: batang tertebas
rumpun kasar gandum warna emas.
Lebih dari sekali, ada aku terjebak di sana
rebah bersisi mesin penebah
bersama apel liar
terkelupas lekas oleh berahi
dan pada sisa jerami
merebak bulan dan aroma sperma.
* Dari 'The Memory' pada buku 'Las Manos de Dia'
Kenangan, di tengah ladang gandum
poppi berbunga, lembayung warnanya
sehalus bahkan lebih sutra dari sutra
dan tebar bius aroma ular sanca.
Yang tersisa: batang tertebas
rumpun kasar gandum warna emas.
Lebih dari sekali, ada aku terjebak di sana
rebah bersisi mesin penebah
bersama apel liar
terkelupas lekas oleh berahi
dan pada sisa jerami
merebak bulan dan aroma sperma.
* Dari 'The Memory' pada buku 'Las Manos de Dia'
Kali Terakhir Kulihat Kau Pergi
aku datang juga.
hatiku meminta.
laut tinggal ombak.
camar berteriak.
angin serak.
dermaga tak menambatkan lagi,
satusatunya tali
telah lepas dari hati.
kau pergi, aku dijemput sepi.
ini perpisahan
yang tak kau pinta.
Tapi aku datang juga.
dengan tangis mengiringi,
dengan lambai terkulai.
kau tak melihatku lagi.
Jan 2004
hatiku meminta.
laut tinggal ombak.
camar berteriak.
angin serak.
dermaga tak menambatkan lagi,
satusatunya tali
telah lepas dari hati.
kau pergi, aku dijemput sepi.
ini perpisahan
yang tak kau pinta.
Tapi aku datang juga.
dengan tangis mengiringi,
dengan lambai terkulai.
kau tak melihatku lagi.
Jan 2004
Saturday, January 3, 2004
Negeri Dongeng
Syair Rabindranath Tagore
Jikalau ada yang datang bertanya, ingin tahu
istana rajaku di mana, jawabnya: dia menghilang
lenyap bersembunyi ke dalam udara.
Dinding-dindingnya adalah warna putih perak
dan bubungnya adalah kemilau sinar emas.
Sang Ratu tinggal di dalam istana dengan tujuh
bentang halamannya, dan dia mengenakan
permata seharga seluruh harta tujuh kerajaan.
Tapi biarkan kuberita tahu engkau, Ibu, dalam
bisik saja dimanakah dia istana rajaku berada.
Dia ada di pojok beranda rumah kita, di mana
perdu tanaman tulsi tegak berada di sana.
Sang Putri berbaring, terlelap di pantai jauh
pantai dari tujuh samudera yang tak terlayari.
Tak ada, tak siapapun juga bisa menemuinya
di sana, kecuali aku saja yang bisa.
Dia memakai gelang di lengannya dan beruntai
mutiaran di telinganya; rambutnya menyentuh lantai.
Dia akan terjaga bila kusentuh dia dengan tongkat
ajaib, dan permata akan berlepasan dari bibirnya
bila ada tersungging senyum di sana.
Tapi biarkan aku berbisik di telingamu, Ibu; dia
ada di sudut beranda rumah kita, dimana perdu
tanaman tulis tegak berada di sana.
Bila tiba waktunya engkau mandi turun ke sungai,
mendekatlah ke beranda di bawah atap rumah kita.
Aku duduk di sudut di mana bayangan dinding bertemu.
Hanya kucing yang boleh datang, karena dia tahu
dimana si tukang cukur dalam dongeng itu berada.
Tapi biarkan aku berbisik, Ibu, di telingamu, di mana
si tukang cukur dalam dongeng itu berada.
Dia ada di sudut beranda rumah kita, di mana
pot perdu tulsi tegak berada di sana.
* Dari Fairyland, syair ke 16 dari rangkaian 40 syair Crescent Moon.
Jikalau ada yang datang bertanya, ingin tahu
istana rajaku di mana, jawabnya: dia menghilang
lenyap bersembunyi ke dalam udara.
Dinding-dindingnya adalah warna putih perak
dan bubungnya adalah kemilau sinar emas.
Sang Ratu tinggal di dalam istana dengan tujuh
bentang halamannya, dan dia mengenakan
permata seharga seluruh harta tujuh kerajaan.
Tapi biarkan kuberita tahu engkau, Ibu, dalam
bisik saja dimanakah dia istana rajaku berada.
Dia ada di pojok beranda rumah kita, di mana
perdu tanaman tulsi tegak berada di sana.
Sang Putri berbaring, terlelap di pantai jauh
pantai dari tujuh samudera yang tak terlayari.
Tak ada, tak siapapun juga bisa menemuinya
di sana, kecuali aku saja yang bisa.
Dia memakai gelang di lengannya dan beruntai
mutiaran di telinganya; rambutnya menyentuh lantai.
Dia akan terjaga bila kusentuh dia dengan tongkat
ajaib, dan permata akan berlepasan dari bibirnya
bila ada tersungging senyum di sana.
Tapi biarkan aku berbisik di telingamu, Ibu; dia
ada di sudut beranda rumah kita, dimana perdu
tanaman tulis tegak berada di sana.
Bila tiba waktunya engkau mandi turun ke sungai,
mendekatlah ke beranda di bawah atap rumah kita.
Aku duduk di sudut di mana bayangan dinding bertemu.
Hanya kucing yang boleh datang, karena dia tahu
dimana si tukang cukur dalam dongeng itu berada.
Tapi biarkan aku berbisik, Ibu, di telingamu, di mana
si tukang cukur dalam dongeng itu berada.
Dia ada di sudut beranda rumah kita, di mana
pot perdu tulsi tegak berada di sana.
* Dari Fairyland, syair ke 16 dari rangkaian 40 syair Crescent Moon.
[Tentang Puisi] Kekuasaan dan Puisi, John F. Kennedy
KETIKA kekuasaan menyempitkan kepedulian manusia, puisi mengingatkan betapa kaya dan beragam keberadaannya. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkannya.
Salahnya Sendiri, Memang
salahnya sendiri,
kalender kok digantung
di sisi sebelah luar pintu,
tapi dia tetap saja menggerutu
menyesali dirinya sendiri,
jika tanggal 27 bertanya, "Eh, ngapain
kamu berani-berani pulang, apa
sudah terima gajian, ya?"
padahal,
salahnya sendiri,
kok masih saja setia
menjadi penyair yang nafasnya
seolah bertanya pada diri sendiri,
"kau ingin mati esok hari ya?
katanya mau seribu tahun lagi...."
memang,
salahnya sendiri,
masih juga keluar malam hari
alasannya mencari inspirasi
padahal kalender di rumahnya
setiap hari menghabisi waktu
yang mestinya untuknya. Dan
ketika pulang pagi-pagi
dia cuma bisa teriak kepada diri sendiri,
"Hei mana puisiku tadi?"
Jan 2004
kalender kok digantung
di sisi sebelah luar pintu,
tapi dia tetap saja menggerutu
menyesali dirinya sendiri,
jika tanggal 27 bertanya, "Eh, ngapain
kamu berani-berani pulang, apa
sudah terima gajian, ya?"
padahal,
salahnya sendiri,
kok masih saja setia
menjadi penyair yang nafasnya
seolah bertanya pada diri sendiri,
"kau ingin mati esok hari ya?
katanya mau seribu tahun lagi...."
memang,
salahnya sendiri,
masih juga keluar malam hari
alasannya mencari inspirasi
padahal kalender di rumahnya
setiap hari menghabisi waktu
yang mestinya untuknya. Dan
ketika pulang pagi-pagi
dia cuma bisa teriak kepada diri sendiri,
"Hei mana puisiku tadi?"
Jan 2004
[Tentang Puisi] Emosi dan Kepribadian Puisi, Emily Dickinson
Puisi bukan sebuah titik balik emosi yang hilang, tapi sebuah pelarian dari emosi; puisi bukan ekspresi pribadi tapi sebuah pelarian dari sebuah kepribadian. Tapi, tentu saja, hanya mereka yang punya kepribadian dan emosi yang tahu apa artinya menyelamatkan diri dari kedua hal itu.
[Ruang Renung # 52] Bukan Sekadar Puisi
    SESEKALI kita terpesona dengan kisah, sejarah, atau fakta-fakta dan tergoda untuk menyalinnya ke dalam puisi. Tentu saja boleh, tapi ingatlah, bahwa puisi bukan sekadar mengulang kisah, mengutip sejarah atau menjejalkan fakta-fakta ke dalam kata-kata yang menyusun bait puisi kita. Harus ada sesuatu yang termaknai dari upaya pemuisian kita itu. Jika tidak akan sia-sia saja. Kecuali jika kita memang sedang ingin membuat catatan pribadi dalam puisi untuk kita sendiri.
    KISAH-kisah yang sudah populer, ucapan termahsyur, ataupun mitologi-mitologi agung bisa dan boleh saja menyelinap ke dalam puisi kita. Kita boleh mengutip atau malah mendasarkan puisi kita pada mitologi Sisiphus, kisah anjing Qitmir, kisah Rama dan Sinta, Romeo dan Juliet dan apa saja. Tetapi hal yang terbaik yang dapat kita lakukan adalah membuat keberadaan kutipan-kutipan tadi menjadi lebih terasa maknanya, bukan sekadar kita kutip dan malah memperasing keberadaannya. Apalagi sekadar mencuplik sekelumit.[hah]
    KISAH-kisah yang sudah populer, ucapan termahsyur, ataupun mitologi-mitologi agung bisa dan boleh saja menyelinap ke dalam puisi kita. Kita boleh mengutip atau malah mendasarkan puisi kita pada mitologi Sisiphus, kisah anjing Qitmir, kisah Rama dan Sinta, Romeo dan Juliet dan apa saja. Tetapi hal yang terbaik yang dapat kita lakukan adalah membuat keberadaan kutipan-kutipan tadi menjadi lebih terasa maknanya, bukan sekadar kita kutip dan malah memperasing keberadaannya. Apalagi sekadar mencuplik sekelumit.[hah]
[Tentang Puisi] Antara Tepat dan Benar, Frederick William Robertson
Tugas puisi bukan membuat kita berfikir dengan tepat, tetapi merasakan dengan benar.
[Tentang Puisi] Puisi, Penerawangan dan Agama, John Ruskin.
HAL terbesar yang pernah dilakukan jiwa manusia di dunia adalah melihat sesuatu dan mengisahkan apa yang dilihat itu sejelas-jelasnya dengan cara sederhana. Ratusan orang bisa berbicara bila ada satu orang yang bisa berpikir, tapi ribuan orang yang bisa berpikir apaila ada satu satu orang yang bisa melihat. Melihat sejelas-jelasnya adalah sekaligus -- puisi, penerawangan dan agama.
[Tentang Puisi] Menulis dan Memahami Puisi, Michel de Montaigne
KITA punya lebih banyak puisi daripada penilai dan penafsir puisi. Memang, lebih mudah menulis sebuah puisi yang berbeda daripada memahami sebuah puisi yang baik.
[Tentang Puisi] Fakta Menyedihkan, W. H. Auden
ADALAH sebuah kenyataan yang menyedihkan dalam budaya kita, bahwa penyair bisa mendapatkan uang lebih banyak dengan menulis atau berbicara tentang karyanya daripada yang bisa didapatnya dari berkarya dan dari hasil karyanya itu sendiri.
Sang Kata
Sajak Pablo Neruda
Telah lahir ia
dalam darah, sang kata
tumbuh dalam kelam tubuh, meronta
lalu keluar lepas dari bibir dan mulut.
Lebih menjauh, lebih mendekat
masih juga, masih datang ia
dari bapa tak bernyawa, suku pengembara,
dari tanah ladang berbatu,
letih karena kemalangan puaknya,
karena, ketika nyeri berangkat di jalan itu
dusun-dusun berjalan dan tiba
dan bumi yang baru terbasahi lagi
agar tertabur benih kata-kata baru.
Maka inilah yang terwariskan:
Inilah udara yang memautkan kita
kepada kematian manusia, kepada fajar
raga baru yang belum terbangkitkan.
Atmosfer masih bergetar
tersebab kata pertama
terucap
dalam panik dan erang.
Kata yang
bangkit dari bayang
dan walau tak ada badai sekarang
masih juga bergemerincing kata
karena badai ketika
kata pertama
tersebutkan:
mungkin saja hanya sedesah, hanya setetes,
dan masih saja berluruhan ia, bermusim-musim.
Lalu rasa mengisi sang kata.
Ada benih kehidupan di rahimnya.
Itulah seluruh kelahiran dan tangis pertama:
Keteguhan, kesejatian, kekuatan,
pengingkaran, pemusnahan, dan kematian:
bancuhan kewujudan dan kehakikian
dalam sengat arus listrik kemolekannya.
Kata, manusia, suku kata, rongga pinggul
terang cahaya dan wadah perak,
mangkuk pusaka yang diterima
dari percakapan darah:
di sinilah, kebisuan melebur
dalam kata-kata manusia yang seluruh.
Dan tidak berbicara adalah menjadi sekarat
di antara tubuh yang hidup:
bahasa bersemi bangkit dari akar rambut,
mulut yang berkata tanpa gerak bibir:
mata yang seketika adalah kata-kata.
Kurenggut sang kata dan kurasuki ia
seakan ia wujud manusia semata,
paras wajahnya menggirangkanku dan aku terbang
lekas melintas di setiap resonansi bahasa:
aku melafalkan dan
akulah senyap di akhir kata yang teraih
tanpa mengucap apa-apa.
Aku minum bagi sang kata,
angkat kata dan gelas kristal,
di dalamnya kereguk
anggurnya bahasa,
air yang tak habis-habisnya
rahim ibu sumber kata-kata,
dan gelas, dan air, dan anggur
mengasali laguku
karena kata kerja adalah asal mula
dan kanal kehidupan: dialah darah
darah yang mengucap sejati makna,
maka siaplah ia mengalirkan pula:
menyerahkan kristal kepada kristal
darah kepada darah, hidup kepada hidup,
maka dialah sang kata-kata.
Dari: Plenos Poderes
Telah lahir ia
dalam darah, sang kata
tumbuh dalam kelam tubuh, meronta
lalu keluar lepas dari bibir dan mulut.
Lebih menjauh, lebih mendekat
masih juga, masih datang ia
dari bapa tak bernyawa, suku pengembara,
dari tanah ladang berbatu,
letih karena kemalangan puaknya,
karena, ketika nyeri berangkat di jalan itu
dusun-dusun berjalan dan tiba
dan bumi yang baru terbasahi lagi
agar tertabur benih kata-kata baru.
Maka inilah yang terwariskan:
Inilah udara yang memautkan kita
kepada kematian manusia, kepada fajar
raga baru yang belum terbangkitkan.
Atmosfer masih bergetar
tersebab kata pertama
terucap
dalam panik dan erang.
Kata yang
bangkit dari bayang
dan walau tak ada badai sekarang
masih juga bergemerincing kata
karena badai ketika
kata pertama
tersebutkan:
mungkin saja hanya sedesah, hanya setetes,
dan masih saja berluruhan ia, bermusim-musim.
Lalu rasa mengisi sang kata.
Ada benih kehidupan di rahimnya.
Itulah seluruh kelahiran dan tangis pertama:
Keteguhan, kesejatian, kekuatan,
pengingkaran, pemusnahan, dan kematian:
bancuhan kewujudan dan kehakikian
dalam sengat arus listrik kemolekannya.
Kata, manusia, suku kata, rongga pinggul
terang cahaya dan wadah perak,
mangkuk pusaka yang diterima
dari percakapan darah:
di sinilah, kebisuan melebur
dalam kata-kata manusia yang seluruh.
Dan tidak berbicara adalah menjadi sekarat
di antara tubuh yang hidup:
bahasa bersemi bangkit dari akar rambut,
mulut yang berkata tanpa gerak bibir:
mata yang seketika adalah kata-kata.
Kurenggut sang kata dan kurasuki ia
seakan ia wujud manusia semata,
paras wajahnya menggirangkanku dan aku terbang
lekas melintas di setiap resonansi bahasa:
aku melafalkan dan
akulah senyap di akhir kata yang teraih
tanpa mengucap apa-apa.
Aku minum bagi sang kata,
angkat kata dan gelas kristal,
di dalamnya kereguk
anggurnya bahasa,
air yang tak habis-habisnya
rahim ibu sumber kata-kata,
dan gelas, dan air, dan anggur
mengasali laguku
karena kata kerja adalah asal mula
dan kanal kehidupan: dialah darah
darah yang mengucap sejati makna,
maka siaplah ia mengalirkan pula:
menyerahkan kristal kepada kristal
darah kepada darah, hidup kepada hidup,
maka dialah sang kata-kata.
Dari: Plenos Poderes
Perang yang Keji
Syair Li Po
Tahun lalu kami bertempur di deras sungai Sang-kan
Sekarang pun kami adu senjata di jalan Tsung-ho.
Membasuh baju baja di ombak danau Chiao-chi.
Memberi makan kuda di lereng bersalju Tien-shans.
Perang, perang yang panjang, 10 ribu mil dari rumah,
Tiga angkatan perang kami letih dan berangkat tua.
Tentara barbar membantai manusia bagai bajak;
Di dataran pasir ini tak tampak apa-apa kecuali
putih tengkorak dan tulang-tulang pucat manusia.
Dimana Kaisar Chin membangun tembok menahan Bangsa Tartar,
di sana pembela Kaisar Han membakar tugu api,
tugu api terbakar tak pernah padam.
Seperti tak pernah sudah bagi perang !--
Di medan pertempuran, lelaki bergulat lalu mati;
Kuda-kuda taklukan meratap menangisi surga,
Gagak dan elang mematuki isi perut bangkai manusia,
Membawa terbang, menggantungnya di pohon mati.
Maka, di gurun itu berhamburanlah para lelaki,
dan para jenderal itu, tak ada melakukan apa-apa.
O, perang yang keji! Aku tahu kini, mengapa para
tentara jarang sekali dikerahkan penguasa yang ramah.
* Dari terjemahan berbahasa Inggris Nefarious War.
Tahun lalu kami bertempur di deras sungai Sang-kan
Sekarang pun kami adu senjata di jalan Tsung-ho.
Membasuh baju baja di ombak danau Chiao-chi.
Memberi makan kuda di lereng bersalju Tien-shans.
Perang, perang yang panjang, 10 ribu mil dari rumah,
Tiga angkatan perang kami letih dan berangkat tua.
Tentara barbar membantai manusia bagai bajak;
Di dataran pasir ini tak tampak apa-apa kecuali
putih tengkorak dan tulang-tulang pucat manusia.
Dimana Kaisar Chin membangun tembok menahan Bangsa Tartar,
di sana pembela Kaisar Han membakar tugu api,
tugu api terbakar tak pernah padam.
Seperti tak pernah sudah bagi perang !--
Di medan pertempuran, lelaki bergulat lalu mati;
Kuda-kuda taklukan meratap menangisi surga,
Gagak dan elang mematuki isi perut bangkai manusia,
Membawa terbang, menggantungnya di pohon mati.
Maka, di gurun itu berhamburanlah para lelaki,
dan para jenderal itu, tak ada melakukan apa-apa.
O, perang yang keji! Aku tahu kini, mengapa para
tentara jarang sekali dikerahkan penguasa yang ramah.
* Dari terjemahan berbahasa Inggris Nefarious War.
[Tentang Puisi] Puisi dan Pencernaan, Zona Gale
Aku tak tahu persiapan yang terbaik untuk hidup selain kecintaan terhadap puisi dan pencernaan yang sehat.
Thursday, January 1, 2004
6 Kalender Kosong
/1/
Kau jangan tertawa,
"siapa yang memperbesar
lubang di jam pasir ini?"
Kau jangan tertawa...
"Aku perlu mengganti
kalender,
kau tahu apa
soal waktu?"
/2/
sore hari
dia pergi ke pasar pagi
"aku mau beli kalender baru," katanya
pada diri sendiri. "Siapa tahu nanti
aku belajar lagi membaca hari-hari."
di pasar, dia bertemu dengan Waktu
si tua penjual kalender langganannya.
"Wah, Anda terlambat, Saudara,
daganganku habis sejak tahun lalu.
Kau tahu sekarang orang tidak lagi
seperti dulu. Mereka suka berburu
hari libur di dalam tanggalan tak resmi..."
"Jadi? Gimana nih?" tanyanya.
"Sebaiknya kau pergi saja ke pasar loak.
Barangkali di sana masih ada sisa-sisa
Desember tahun lalu. Maaf, ya...."
/3/
Pulang dari pasar loak, dia
membawa 12 lembar kalender.
Buat apa, sih, banyak amat.
Satu aja kan, cukup?
"Biar saja, buat cadangan. Siapa tahu
nanti aku kehabisan lagi," katanya
kepada bulan yang baru saja malam
eh sudah nongol di langit.
Penggemar kalender, ya?
"Ah, siapa bilang, aku ini kolektor waktu."
/4/
di sepanjang Jl. Melupakan, dia berkhayal sedap sekali
sambil mengingat-ingat gambar pada kalender yang
didekapnya erat sekali.
Petikannya:
....1. kalender AA Gym akan saya
pasang di ruang tamu; 2. yang bergambar
Binatang Buas akan saya pasang di balik pintu,
3. yang bergambar Perempuan Muda Berbikini akan
saya pasang di kamar mandi (eh bagusnya di
kamar tidur kali ya? --dia meralat pikirannya sendiri);
4. yang bergambar Bayi-bayi akan dipasang di
kamar kosong; 5. Kalau yang bergambar Buah bagusnya
tentu dipasang di ruang makan; 6. Nah, kalau yang
bergambar Mobil Mewah akan dipajangnya di garasi;
7. Sementara yang bergambar ikan lohan paling
tepat digantung di dekat pencucian piring; 8 Di dapur?
He he he (maaf, ya Dian Sastro)..; 9. Di teras depan
akan dipasangnya kalender bergambar Smack Down;
10. Di ruang TV diletakkannya kalender meja bergambar
Mr Bean. 11. Lalu kalender bergambar Jam disimpan
saja sebagai cadangan. 12. Dan satu lagi kalender
tak bergambar apa-apa akan dipasang di tempat yang
paling rahasia di dalam hatinya.
/5/
malam hari, rumahnya gaduh sekali,
seperti suami istri bertengkar hebat sekali.
"tapi dia kan selama ini hidup sendiri?" kata
penjaga malam kepada temannya penjaga siang
yang malam itu ikut berjaga, karena siang pun
kadang-kadang dia suka minta ditemani.
"mungkin dia sedang berkelahi dengan waktu..."
"mungkin saja. tadi sore saya lihat dia beli
kalender banyak sekali."
"mungkin saja. soalnya ketika berangkat ke pasar
saya lihat dia membuang sesuatu di tempat sampah..."
/6/
lampu teras rumah itu masih menyala.
ada beberapa tetangga singgah cemas.
"Dia sudah mati..."
"Lho?"
"Iya... Tak bernafas lagi.."
"Mana waker kita?"
"Jam waker?"
"Bukan. Tukang jaga malam?"
"Wah, pagi gini mereka pasti ketiduran di Pos"
"Panggi polisi aja.. nanti kita dicurigai..."
Polisi pun datang, tanpa raung sirine.
Lalu memeriksa rumah itu. Tak ada
tanda-tanda bahwa telah terjadi pembunuhan.
Karena di rumah itu hanya ada dia yang
telentang tewas, dan sebuah kalender lama
yang erat bertahan di dinding, kalender lama
yang koyak januari, februari, maret, april
dan mei-nya. Sementara di dinding masih bertahan
sisa-sisa bulan lainnya.
Di atas meja, tergeletak
12 kalender yang baru,
setia bertahan di dalam bungkusnya.
(tak ada yang ingat, di sana ada
Kau yang tersenyum bahagai)
Jan 2004
Kau jangan tertawa,
"siapa yang memperbesar
lubang di jam pasir ini?"
Kau jangan tertawa...
"Aku perlu mengganti
kalender,
kau tahu apa
soal waktu?"
/2/
sore hari
dia pergi ke pasar pagi
"aku mau beli kalender baru," katanya
pada diri sendiri. "Siapa tahu nanti
aku belajar lagi membaca hari-hari."
di pasar, dia bertemu dengan Waktu
si tua penjual kalender langganannya.
"Wah, Anda terlambat, Saudara,
daganganku habis sejak tahun lalu.
Kau tahu sekarang orang tidak lagi
seperti dulu. Mereka suka berburu
hari libur di dalam tanggalan tak resmi..."
"Jadi? Gimana nih?" tanyanya.
"Sebaiknya kau pergi saja ke pasar loak.
Barangkali di sana masih ada sisa-sisa
Desember tahun lalu. Maaf, ya...."
/3/
Pulang dari pasar loak, dia
membawa 12 lembar kalender.
Buat apa, sih, banyak amat.
Satu aja kan, cukup?
"Biar saja, buat cadangan. Siapa tahu
nanti aku kehabisan lagi," katanya
kepada bulan yang baru saja malam
eh sudah nongol di langit.
Penggemar kalender, ya?
"Ah, siapa bilang, aku ini kolektor waktu."
/4/
di sepanjang Jl. Melupakan, dia berkhayal sedap sekali
sambil mengingat-ingat gambar pada kalender yang
didekapnya erat sekali.
Petikannya:
....1. kalender AA Gym akan saya
pasang di ruang tamu; 2. yang bergambar
Binatang Buas akan saya pasang di balik pintu,
3. yang bergambar Perempuan Muda Berbikini akan
saya pasang di kamar mandi (eh bagusnya di
kamar tidur kali ya? --dia meralat pikirannya sendiri);
4. yang bergambar Bayi-bayi akan dipasang di
kamar kosong; 5. Kalau yang bergambar Buah bagusnya
tentu dipasang di ruang makan; 6. Nah, kalau yang
bergambar Mobil Mewah akan dipajangnya di garasi;
7. Sementara yang bergambar ikan lohan paling
tepat digantung di dekat pencucian piring; 8 Di dapur?
He he he (maaf, ya Dian Sastro)..; 9. Di teras depan
akan dipasangnya kalender bergambar Smack Down;
10. Di ruang TV diletakkannya kalender meja bergambar
Mr Bean. 11. Lalu kalender bergambar Jam disimpan
saja sebagai cadangan. 12. Dan satu lagi kalender
tak bergambar apa-apa akan dipasang di tempat yang
paling rahasia di dalam hatinya.
/5/
malam hari, rumahnya gaduh sekali,
seperti suami istri bertengkar hebat sekali.
"tapi dia kan selama ini hidup sendiri?" kata
penjaga malam kepada temannya penjaga siang
yang malam itu ikut berjaga, karena siang pun
kadang-kadang dia suka minta ditemani.
"mungkin dia sedang berkelahi dengan waktu..."
"mungkin saja. tadi sore saya lihat dia beli
kalender banyak sekali."
"mungkin saja. soalnya ketika berangkat ke pasar
saya lihat dia membuang sesuatu di tempat sampah..."
/6/
lampu teras rumah itu masih menyala.
ada beberapa tetangga singgah cemas.
"Dia sudah mati..."
"Lho?"
"Iya... Tak bernafas lagi.."
"Mana waker kita?"
"Jam waker?"
"Bukan. Tukang jaga malam?"
"Wah, pagi gini mereka pasti ketiduran di Pos"
"Panggi polisi aja.. nanti kita dicurigai..."
Polisi pun datang, tanpa raung sirine.
Lalu memeriksa rumah itu. Tak ada
tanda-tanda bahwa telah terjadi pembunuhan.
Karena di rumah itu hanya ada dia yang
telentang tewas, dan sebuah kalender lama
yang erat bertahan di dinding, kalender lama
yang koyak januari, februari, maret, april
dan mei-nya. Sementara di dinding masih bertahan
sisa-sisa bulan lainnya.
Di atas meja, tergeletak
12 kalender yang baru,
setia bertahan di dalam bungkusnya.
(tak ada yang ingat, di sana ada
Kau yang tersenyum bahagai)
Jan 2004
[Tentang Puisi] Matematika dan Puisi, Bertrand Russel
SUKMA sejati dari kegembiraan, kemuliaan, kesadaan akan keberadaan lebih dari Manusia, yang menjadi batuuji bagi keunggulan tertinggi, ditemukan dalam matematika -- dan sama tanpa ragunya -- juga di dalam puisi.
[Tentang Puisi] Tanpa Puisi, Tidak Bisa, Charles Baudelaire
Orang yang sehat bisa terus hidup tanpa makanan selama dua hari -- tapi tidak tanpa puisi.
Subscribe to:
Posts (Atom)