Jassin mengambil sajaknya dari bukunya "Kersik Berlada". Artinya, dia menyair dengan sungguh-sungguh. Di zaman susah kala itu, tentu menerbitkan puisi bukan perkara mudah. Jassin menampilkan empat belas sajaknya. Ya, saya kira ia memang sungguh-sungguh menyair. Ia mencari tema, dan mencari gaya ucap sendiri. Meskipun, akhirnya tidak semua pilihan yang diambil dalam pencarian itu berujung pada hasil.
Masa pendudukan Jepang bukanlah zaman yang nyaman. Perkumpulan-perkumpulan dibubarkan. Surat-kabar ditutup. Lantas dibentuk perkumpulan baru dan diterbitkan surat kabar baru yang sepenuhnya dikendalikan. Ada sensur yang ketat atas semua tulisan yang hendak disiarkan.
Pujangga, terutama yang muda - seperti ditulis Jassin - diminta agar "...insaf akan artinya bagi masyarakat. Hasil ciptaannya harus dapat membimbing masyarakat, memberikan kepada masyarakat tempat berpegang. Sajak-sajak dan hasil kesusasteraan yang menimbulkan keragu-raguan dan kebimbangan harus dijauhkan, sehingga jangan turut pula "meracuni" jiwa masyarakat!"
Penguasa Jepang tidak memberikan kebebasan berpikir dan berpendapat. Pujangga diminta menulis sajak yang berisi. "....Artinya yang ada mengandung cita-cita yang menimbulkan cinta kepada tanah air, yang mengobarkan semangat kepahlawanan, yang menganjurkan semangat bekerja," tulis Jassin.
Kepeloporan Chairil mungkin disebabkan kehebatannya menembus tebalnya sensur itu. Ketika para penyair digiring menjadi satu kerumunan besar, ia cerdik berkelit meloloskan sajak-sajak individualisnya. Ia berhasil menjadi binatang jalang yang terbuang dari kumpulan itu.
***
Ia pun ada upaya untuk berkelit dari sensur dan keluar kerumunan itu. Ia memilih jalan sinisme. Penyair ini "...memperlihatkan pandangan hidup yang sinis, jiwa mengejek pahit nasib sendiri tapi sudah pula tahu berserah". Sajak-sajak seperti ini hanya kelihatan padanya, "...yang mengejek pahit melihat kegilaan sekeliling, orang-orang berebut pangkat mau tinggi, cakap besar orang-orang yang tidak berbanding dengan kesanggupannya, nasib jelek orang Indonesia dan diri sendiri, ketololan orang-orang sekeliling ...."
Ia penyair yang menyerap fakta dan menjadikannya bahan untuk direnungkan dan dituliskan dalam sajak-sajaknya. Ia menyajakkan soal buruh mogok di Amerika, kelaparan di India, dan gunung meletus di Italia. Ia bandingkan dengan Indonesia kala itu. Hanya pohon kelapa / Pohon kelapa di tepi pantai / melambai-lambai dengan daunnya / memanggil siapa yang baru sampai. // Ah, alangkah indah tanah airku / Indonesia tanah permai / Itu hanya yang kutahu ... // Orang Indonesia di tanah permai. //
Ia memang sinis. Buruh mogok, kelaparan dan gunung meletus kala itu belum kerap terjadi di Indonesia. Ia mengejek. Ia menghantam dengan mengulang-ulangi lagi ihwal kepermaian Indonesia, memaparkan lagi pemandangan nyiur melambai. Pada sajak lain ia menulis: Orang Indonesia aman, / duduk di gubuk berhati nyaman, / terhindar dari siksa zaman. // Kalau tidak ditimpa kelapa, / atau digigit ular berbisa, / orang Indonesia tidak binasa.// Sekarang? Kita, orang Indonesia, sedang ditimpa kelapa "batu" terus-menerus, berulang-ulang, lebat, seperti hujan. Dan ribuan ular berbisa berkeliaran hendak menggigit kita.
***
Penyair itu bernama Bung Usman! * Bacaan: "Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang", H.B. Jassin, Balai Pustaka. Cet. I 1948, Cet. IV 1975. Jakarta.