Chairil Anwar, penyair besar itu pun meminta pendapat orang lain atas karyanya. Saya kira justru karena itu pulalah, maka dia menjadi besar. Tidak sekedar minta pendapat, dia mempertimbangkan penilaian orang lain itu.
Kenapa ia tak banyak menulis satu sajak "keperwiraan" sejenis "Diponegoro"? Sajak-nya yang menurut saya lumayan tinggi tingkat percobaannya dibandingkan sajak lain? Padahal itu tahun-tahun yang penuh gelora perjuangan membentuk sebuah negeri yang bebas merdeka? Karena, "menurut oom-ku, sajak itu pun tidak baik!" demikian tulisnya dalam sebuah surat, seakan ia mengadu kepada Jassin, sahabatnya.
Pada surat yang sama, tepatnya pada kartu pos bertanggal 10 Maret 1944, ia pun sadar bahwa bila ingin yakin bahwa sajak yang ia tulis adalah sajak yang baik, maka sajak itu harus dilewatkan pada kritik yang tajam. "...dengan kritik yang agak tajam sedikit, hanya beberapa sajak saja yang bisa melewati timbangan." Hanya beberapa sajak! Bila dihitung sejak "Nisan" 1942, hingga kartu pos itu ditulis, Chairil baru menulis 35 sajak!
Sajak "Diponegoro" bertanggal Februari 1943, dan surat itu ia tulis Maret 1944. Jadi lebih dari setahun setelah ia menulis sajak itu, ia masih juga memberi perhatian pada apa yang ia tulis.
Chairil pun terus mengukur diri. "Meneropong jiwa sendiri," katanya. Ia menilai sendiri sajak-sajak yang ia tulis. Dan ia saya kira penyair yang tahu diri, tapi bukan penyair yang tak percaya diri, ketika masih di surat eh kartu pos yang sama menulis "....dari sajak-sajak bermula hingga penghabisan belum ada garis nyata lagi yang bisa dipegang". Ia memberi garis bawah pada enam kata terakhir itu: garis nyata lagi yang bisa dipegang.
Agar bisa membuat garis nyata yang bisa dipegang dalam sajak-sajak kita, mungkin kita perlu belajar tahu diri, seperti Chairil, yang seraya itu dengan angkuh mengukuhkan tekad untuk mengorek-menggali tiap kata hingga ke intinya.