Pada tahun 1946, HB Jassin menulis begini: ....Kesusasteraan kita masih sangat muda. Muda bukan saja dalam hal sejarah dan isinya, yang boleh dikatakan masih hasil anak puber yang sedih atau gembira dalam bercinta, tapi juga dalam hal umur pengarangnya, yang biasanya berumur antara lima belas dan dua puluh lima tahun. Dan beberapa orang yang sudah beruban dalam kesusasteraan ternyata belum lagi dapat melepaskan diri dari penyakit-penyakit puber, karena penghidupannya yang kurang intens dan pandangan hidupnya yang serba terikat.
Tulisan itu kita petik dari alinea terakhir pengantar Jassin untuk sejumlah sajak dan prosa dalam buku "Kususasteraan Indonesia di masa Jepang" (Balai Pustaka, Cet. I 1948, Cet. IV 1975). Masih dari alinea yang sama Jassin berharap: ....Tapi besarlah harapan bahwa pengarang-pengarang kita yang muda-muda sekarang ini, akan terus bertekun belajar memperkuat tenaga jiwanya dan dengan tenaga jiwa itu mengisap sumber kehidupan sepuas-puasnya, sehingga buah ciptaannya akan masak dan lezat cita rasanya dan gugur dengan sendirinya dari pohon pengalaman yang merimbun rampak.
Pengarang-pengarang yang dihitung Jassin kala itu sebagian besar telah meninggal. Setahu saya, kini di tahun 2007, 61 tahun setelah Jassin menulis kalimat-kalimat di atas, tinggal Rosihan Anwar yang masih sehat, masih menulis di lapangan jurnalistik. Tapi, saya kira, kita, para pengarang yang hidup dan bergiat sekarang mengulangi lagi lingkaran yang disebutkan Jassin.
Sebagian dari kita masih saja anak puber yang sedih atau gembira dalam bercinta.
Masih saja penghidupannya kurang intens.
Masih saja berpandangan hidup yang serba terikat.
Saya kira, kita harus memenuhi harapan Jassin untuk terus bertekun belajar.
Memperkuat tenaga jiwa kita.
Mengisap sumber kehidupan sepuas-puasnya.
Agar buah karya ciptaan kita masa dan lezat citarasanya dan gugur dengan sendirinya dari pohon pengalaman yang merimbun rampak.
Adakah pilihan lain? []