Dari Penyair Sapardi Djoko Damono kita bisa dapat kearifan dan sekaligus peringatan ini. Dalam wawancara dengan Koran Tempo, 5 Mei 2002, ia meyakinkan kita bahwa puisi itu sebenarnya sederhana sekali. Sapardi menyebutkan dua hal yang saya kira keduanya bergandeng erat. Pertama, sajak berjasa menyegarkan bahasa karena bahasa kita sehari-hari sudah lecek. Kedua, lewat sajak seorang penyair itu bisa mengajak orang lain untuk merenungkan sesuatu dan bukan mencari jawaban.
Kita mungkin bisa dengan mudah menerima apa yang ia katakan pada bagian dua. Tapi soal menyegarkan bahasa? Bukankah sekarang bahasa kita menjadi semarak, segar, lucu, menggemaskan di tangan para penulis naskah iklan, dan kalangan penggagas dan pemakai setia bahasa gaul? Sekarang mungkin kita bisa melihat bahwa tugas untuk menyegarkan bahasa itu bukan hanya ada di tangan penyair dan tidak hanya lewat puisi.
Bila puisi kita sekarang justru merumitkan bahasa, maka saya kira itulah "kegagalan" sajak kita kini.
Kita lupa bahwa dalam berpuisi kita punya tugas untuk menyegarkan bahasa itu. Puisi kita justru melecekkan bahasa sehari-hari yang sudah lecek. Kita mungkin terlalu asyik menawarkan atau seringkali bahkan menjejalkan hasil renungan-renungan kita di dalam puisi-puisi kita. Sebaliknya hasrat untuk menawarkan kesegaran baru dalam puisi, tanpa diisi dengan butir-butir bernas renungan hasil penghayatan atas kehidupan, hanya akan membawa pada jargon-jargon kosong, atau renungan-renungan dangkal dan sok bijak.
Ingat, kita hanya berbagi renungan. Atau mengajak pembaca untuk merenungkan hal yang sama. Kita tidak memaksakan jawaban. Ingat pula, seraya itu kita punya tugas menghadirkan kesegaran-kesegaran bahasa dalam puisi kita. []