Mengapa menulis puisi? Salah satu jawaban yang bisa diberikan adalah karena manusia fana, dan manusia berhasrat untuk meninggalkan sesuatu berharga dan abadi. Sesuatu yang tetap ada sampai kelak manusia itu direnggut maut. Hasrat untuk hidup seribu tahun lagi, seperti kita baca dalam bait Chairil Anwar. Ilusi untuk memberi harga pada tanah liat berbentuk poci, sesuatu yang kelak retak, dan kita membuatnya abadi, seperti kita baca dalam bait Goenawan Mohamad.
Subagio Sastrowardoyo ada menguraikan hasrat itu lebih tajam lagi. "Seniman," katanya dalam tulisan penutup kumpulan puisinya 'Keroncong Motinggo' (1992), "hendak menciptakan nilai-nilai seni yang kekal yang sanggup bertahan menghadapi pertimbangan-pertimbangan estetik yang berubah-ubah menurut perbedaan waktu."
Pada Subagio hasrat pada keabadian itu sekaligus menjadi tantangan. Sajak-sajak terbaik dari penyair-penyair hebat telah menjawab tantangan itu. Sebagian besar sajak-sajak Chairil sampai kini, dan saya berani bertaruh hingga sampai kapan pun, akan tetap bernilai tinggi. Ketika Chairil menuliskan sajak-sajaknya, para peninjau kala itu sudah merasakan bahwa bahasa sajaknya itulah kelak yang akan menjadi model dan tenaga bahasa Indonesia.[]