ADA suatu masa ketika penyair tidak disikapi sebagai seorang pekerja seni sastra saja, dan puisi tidak dibaca sebagai sebangun teks pembangkit tindak apresiasi saja. Ada suatu mata ketika kritik sastra dipaksa tiarap, dan kemudian diberilah tabik kepada caci maki, kecurigaan, dan tuduhan untuk naik pentas.
Ada suatu masa ketika Chairil Anwar yang sudah meninggal itu dihadapi seperti "hantu" dan digugat, diseret juga namanya ke sana kemari. "Chairil Anwar dengan sadar atau tidak sadar masuk orbit dan perangkap jaringan kontrarevolusi kebudayaan, dalam arti: Chairil Anwar dan sekelompok sastrawan/intelektual lainnya dibuat asing dari revolusi", tulis Sitor Situmorang, dalam Suluh Indonesia, 8 Maret 1965. Tulisan itu disiarkan 16 tahun setelah Chairil meninggal.
Ada suatu masa ketika Subagio Sastrowardoyo dianggap sebagai, "Penyair yang mewakili angkatan yang tengah sekarat dari suatu manifestasi rasa ketakutan yang mencekik, keputusasaan yang merupakan obsesi terakhir sebelum masuk ke liang lahat." Tulisan itu dibuat oleh seorang anggota Lekra di Harian Rakjat, 8 September 1962. Subagio saat itu berusia 38 tahun.
Yang baik dan harus dikangeni dari masa itu adalah kala itu sastra dan sastrawan, seni dan seniman menjadi penting, menjadi perhatian. Yang tidak baik dan harus kita harap tidak terulang lagi adalah seni dan seniman, sastra dan sastawan kala itu hanya menjadi bagian kecil, menjadi alat yang mengabdi pada tuan besar bernama Revolusi.
Dan mungkin itu pula traumanya. Seni dan seniman, sastra dan sastrawan tidak ingin lagi mengulang sejarah yang salah itu. Lantas ia memilih jalan sepi, menjauh, dan tampaknya masih saja tenang dan riang di jalan yang ia pilih setelah masa-masa riuh rendah itu.