IA pamitan kepada sepatu dan kaos kaki, dengan
pesan singkat: "Jangan ditanya kemana aku pergi."
Dia hanya ingin pulang. Sebentar. Bosan juga setiap
hari berlari-lari mengejar bola kehidupan, ditonton jutaan
pasang mata dan tangan yang mengacungkan kupon
taruhan: kekalahan atau kemenangan.
      IA hanya ingin pulang: ke kampung halaman. Ziarah
ke sawah mati. Tempat dia dulu belajar, pertama kali
menendang bola-bola kehidupan. Tempat dia dulu
belajar membedakan kaki kiri dan kaki kanan. Tempat
dia dulu belajar menjaga gawang bambu dari segala
kemungkinan, ancaman kebobolan dan ancaman
kemasukan.
      IA pulang dan wah masih ada bola-bola yang dulu
ia sebut gol, tersangkut di jaring-jaring gawang.
Dan hei masih ada suara-suara dari pinggir
lapangan dan dari tengah penonton, "tendang!
tendang!" ketika ia berdiri lagi tepat di gawang
lawan. Seperti baru saja dimengertinya kini apa
artinya berlari sambil menggiring bola kehidupan.
      IA telah pulang, dan sepertinya sudah membuat
sebuah keputusan. Ia kayaknya lelah tapi terlihat
puas dengan sebuah kesimpulan: di suatu tempat,
pasti ada sebuah lapangan yang bukan sekedar
tempat permainan, suatu tempat di mana dia
bukan sekedar disoraki karena hebat menggiring
bola-bola kehidupan, suatu tempat di mana ia
bisa bikin gol tanpa ada penjaga gawang yang
merasa kebobolan, suatu tempat di mana dia tak
perlu mencemaskan suara peluit serta kartu kuning
dan merah, suatu tempat di mana ada permainan
tanpa peraturan tanpa pelanggaran tanpa taruhan
tanpa kekalahan dan tanpa kemenangan.