Ini komentar-komentarnya:
Temanya menarik dan unik, tapi kesedihan Absurd kurang tergali. Saya tidak begitu paham kenapa tokoh Idrus jadi menangis di akhir cerita. Nilai : 6,9 .[Rini Nurul Badariah]
Cerita si Drusba yang ternyata si Absurd yang absurd. Terus terang saya pingin sekali bikin cerita yang model begini, yang tokohnya tiba-tiba muncul di alam nyata si tokoh. Kelebihan cerita ini adalah cerita yang berada dibalik cerita lengkap dengan carut marut kehidupan sosial yang ada disekitar kita dan mungkin belum banyak yang nggarap. Sayangnya juga saya tak bisa menangkap perbedaan antara Drusba dan Idrus di kalimat berikut.
"Saya memesan kopi susu. Drusba menolak tawaran sepiring lontong sayur atau nasi lemak." Drusbanya kok jadi ikutan ke kafe? Apa yang dimaksud si Idrus disitu?
Juga proses perubahan emosi para lelaki untuk menangis terlalu cepat dan belum mengaduk-aduk emosi saya sebagai pembaca. Nilai : 7.5. [Labibah Zein]
Idenya boleh juga, kreatif dengan memasukkan ide cerita bahwa ada lomba apresiasi prosa di milis apsas. Bang Hasan, cerita ini lebih renyah dari cerita sebelumnya. Kenapa? Karena lebih relax meski masih disisipi bahasa dan aksen melayu kental tapi tak tampak kekakuannya. Hanya pada endingnya tak terlalu menarik pembaca ikut larut dalam kesedihan. Nilai : 6.5. [Mila Duchlun]
Pada alinea pertama tersebutlah tokoh pembuka dan utama, Idrus, sang penulis cerita. Masih dalam alinea pertama, tiba-tiba masuk nama Drusba ( awalnya saya kira ini tokoh yang sangat dekat dengan Idrus dalam kehidupan nyata ) yang ternyata adalah nama tokoh dalam cerita yang ditulis Idrus; alinea pertama sementara agak membingungkan saya. Namun setelah tuntas, saya tak bingung lagi dan bisa mengikuti alur cerita yang ternyata ‘sangat’ menarik ini. ( Dan saya ikut meringis juga tertawa saat membaca bagian paragraf kenapa cerpen Idrus gak jadi menang...ha3x ).
Nilai : 7,5. [Rida Fitria]
Komentar umum: tema “Lelaki yang Meneteskan Airmata” ternyata tidak istimewa.. Tema ini tidak tereksploitir dengan baik (beberapa peserta bahkan mengirimkan cerpen yang sama sekali tidak relevan dengan tema). Mungkin lantaran itu juga – di samping pembatasan karakter yang ditetapkan panitia, membuat nyaris semua cerpen bergerak dalam karakterisasi dan plot yang linier. Tidak ada suspense. Nilai: 7. [Ana Mustamin]
Whei! Bagus! Penulisan dari sudut pandang yang tidak biasa. Bagus!
Nilai: 7.50. MINDO MEINIAR ARRIANY.
Baru kali ini saya menemukan cerpen dengan format yang tidak biasa. Misal dengan cara menjoroknya kalimat langsung dan dengan menggunakan tanda : –, pembeda pembicaraan tokoh satu dan yang lain dengan menggunakan huruf miring dsb. Adalah hak setiap penulis untuk menampilkan ciri khasnya sendiri. Tapi, karena ini dalam konteks lomba dan ada kemungkinan akan lebih dipublikasikan lebih dari sekadar di milis ini, saya melihat cerpen Mas Hasan itu dng kacamata cerpen standar biasa. Nilai 6,5 [Anjar Anastasia]
Kang Hasan kental banget aroma melayunya. Beberapa kata yang jarang digunakan, muncul, seperti jual-jual temberang, nasi lemak, tekak kering, penggunaan kata sedap. Gayanya menarik. Cerita di dalam cerita. Dialog dibuat dengan menarik agak ketengah, dan untuk membedakan dua orang yang berbicara, ditandai dengan font tegak dan miring. Akhir cerita dibuat dengan cepat, karenanya, proses meneteskan air mata dari ketiga pria itu, menurutku, malah terasa lucu. Apalagi membayarkan si petinju yang bersuara keras itu. Nilai: 7,8. [Ita Siregar]
Sebuah atraksi ide cerita. Eksistensialisme. Berani memanipulasi tokoh. Nilai : 8,0. [Fati]
Komentar umum: Maaf terlambat.... Nilai: 6,3. [Anindita]
Komentar umum: Sebagai penikmat cerpen, buatku cerpen yang asyik itu seperti ‘slilit’. Sehabis dikunyah, ada secuil yang tersangkut di hati. Kecil, tapi mengganggu. Tidak peduli hidangan itu sekadar tumis kangkung atau beefsteak. Memaksaku untuk mencari tusuk gigi, atau bolak balik ke toilet menggosok gigi. Melepas slilit tidak mudah bukan? Maksudku, ya.. bikin kepikiran terus, dan berusaha mencari jawaban. Nilai : 7,0. [Rita Achdris]
Oke, jujur saja, selesai membaca cerpen yang satu ini, komentar saya adalah “huh?”. Kenapa? Karena endingnya kok sepertinya menggampangkan segala sesuatunya, ya? Masalahnya, kalau saja penulis pernah membaca sebuah novel berjudul Parfume, ia pasti bisa mengetahui bahwa tokoh utama dalam novel itupun hampir sama dengan tokoh Drusba yang lahir tanpa dikehendaki, dibuang, dan besar tanpa pernah menunjukkan emosi. Tapi, kok tiba-tiba Drusba ini jadi tokoh cerita (seperti dalam Dunia Sophie, atau lebih tepatnya Supernova?) dengan membalikkan namanya menjadi Absurb dan tiba-tiba saja setelah membunuh sekian banyak orang tiba-tiba ia menyesal? Saya rasa sih kurang masuk akal.
Pengulangan juga terjadi, misalnya dalam kalimat: Selesai ketik langsung dicetak, dan langsung masuk amplop, dan langsung dikirim.
Seharusnya: Selesai ketik langsung dicetak, langsung masuk amplop, dan langsung dikirim.
Yang aneh (karena saya perempuan) kok bisa sih seseorang hamil 6 bulan baru ketahuan? Inilah kekurangan riset dan kepekaan kaum lelaki. Dikiranya orang hamil begitu saja tanpa ada tanda-tandany a. Kalau dua/tiga bulan sih masih wajar, tapi kalau sudah enam bulan terlambat datang bulan, apa tidak mencurigakan? Apalagi ibunya Drusba kan seorang PSK, masa dia tidak rutin mengecek siklus datang bulannya?
Selain itu, beberapa kali terjadi kesalahan ketik, Idrus ditulis menjadi Drusba, seperti:
Drusba lupa bila tepatnya. Drusba menolak tawaran sepiring lontong sayur atau nasi lemak. Dia tampak sedang bersemangat cerita.
Hal yang kurang masuk akal lainnya adalah bahwa seorang pengemis merasa kasihan dan membawanya pulang kemudian mendidiknya secara sangat kasar. Kok bisa? Apa pengemis itu sedemikian psycho-nya sehingga ia kegirangan menemukan anak bayi di tong sampah, membawanya pulang, dan membesarkannya hanya demi dididik secara keras (keras di sini saya interpretasikan sebagai kasar, sebab Drusba juga tumbuh menjadi anak yang kasar)?
Mengapa tokoh utama menangis juga tidak memberikan sense yang cukup bagi saya. Rasanya alasannya terlalu mengada-ada. Bagaimanapun, cerpen ini cukup membuat saya tersenyum di beberapa bagian, karena ini adalah cerpen tentang seseorang yang menulis cerpen, walaupun cukup dapat ditebak ke mana arahnya. Judulnya juga cukup unik sebab mencantumkan jumlah kata dalam cerpen itu. Nilai : 6,0. [Melody Muchransyah].
Unik! Dari segi judul dan cara penceritaan. Ada terpeleset sedikit kalau aku tidak salah, ‘Saya memesan kopi susu. Drusba menolak tawaran sepiring lontong sayur atau nasi lemak. Maksudnya Bang Hasan ini bukan Drusba, tapi Idrus kayaknya. Asik! Nilai : 7,2. [Feby Indriani]
Ini Kisahnya:
Kisah 1.021 Kata: Air Mata Tiga Lelaki
Oleh Hasan Aspahani
IDRUS pernah menulis sebuah cerita pendek. Cerita itu dikirimnya ke Panitia Lomba Penulisan Cerpen Dewan Kesenian Riau (DKR). Sudah lama, empat atau lima tahun lalu. Drusba lupa bila tepatnya. Cerita itu tidak menang. Idrus sedikit kecewa, tentu saja. Sebagai peserta dia tentu saja berharap menang. Apalagi waktu dia kirim cerita itu dia sempat juga jual-jual temberang. Dia yakin sekali menang, minimal cerita saya ini juara satu.
Setelah pengumuman Idrus sempat juga bertanya kepada kawannya yang bekerja di DKR, tentang naskahnya itu. Kawannya bukan pengurus cuma tukang urus-urus. Bagian sesuruhanlah. Kata kawannya, naskah itu tidak pernah diterima panitia. Lho? Betulkah? Iya, tidak ada. Saya sudah cek di arsip. Ya, sudahlah. Idrus pun terobati juga kecewanya. Suailah aku tak menang. Macam manalah mau menang, dibaca juri pun tidak.
Idrus tidak punya arsip lain kecuali yang ia kirim. Ia dulu mengetik di warnet dan tidak menyimpannya di disket. Selesai ketik langsung dicetak, dan langsung masuk amplop, dan langsung dikirim.
Idrus bertemu saya di Kedai Kopi Siang Malam. Saya lagi duduk mengopi dan makan lontong sayur. Hari belum terlalu siang. Dia menyebut-nyebut lagi cerita dia yang hilang itu. Dia ingin sekali mendapatkan naskah cerita itu. Saya tanya dia buat apa? Ada lomba di mailing list Apresiasi Sastra, saya rasa cerita saya itu cocok betul dengan temanya.
      - Temanya apa, Drus?
      - Lelaki yang meneteskan air mata.
      - Ceritamu itu, apa judulnya?
      - Eh, sudah lupa aku, San…      - Ceritanya seperti apa? Masih ingat?
     - Masih…
Idrus pun bercerita. Nama tokohnya Drusba. Saat menjadi pemuda dia adalah seorang petinju. Ia lahir, besar dan kelak mati dalam dendam yang terus berbunga besar dan tak terbayar.
Dia anak yang tak dikehendaki. Ibunya pelacur dan entah siapa di antara ratusan lelaki yang membayarnya melepaskan sperma di mulut rahimnya saat ia mengandung sebuah sel telur. Pelacur itu tak tahu bahwa dia hamil hingga usia kandungannya enam bulan. Terlambat untuk digugurkan. Bayi lelaki itu lahir di kamar mandi komplek pelacuran dan dibuang ke tempat sampah bersama kondom bekas. Dikira sudah mati. Mulutnya disumbat dengan celana dalam berdarah. Tapi bayi itu berumur panjang. Ada seorang lelaki pemulung yang membawa pulang bayi itu dan diserahkan kepada perempuan yang hidup bersamanya di gubuk kartonnya.
      - Eh, sedap juga ceritamu, Drus..
      - Sedap sedap juga, tapi tekak kering, San. Pesanlah kopi susu…
      - Ha ha ha. Lupa, Drus.
Saya memesan kopi susu. Idrus menolak tawaran sepiring lontong sayur atau nasi lemak. Dia tampak sedang bersemangat cerita. Lanjut nih ceritanya? Oh, ya lanjutkan. Drusba tumbuh menjadi lelaki yang keras karena ia tumbuh di lingkungan yang sangat keras. Ia tumbuh menjadi anak yang kasar karena lelaki yang dipanggilnya bapak mendidiknya dengan cara yang sangat kasar. Ia menjadi pemulung yang tak bisa membedakan mana batas antara mengambil barang bekas dan mencuri barang orang. Dia hanya tahu barang-barang apa saja yang laku dijual.
Kedai kopi sedang ramai. Makin siang makin banyak orang datang. Ada seorang lelaki berumur setengah abad menggandeng perempuan muda. Ada tiga lelaki yang buru-buru memesan kwetiaw goreng. Ada lelaki letih gondrong, berjanggut, kumis dan cambang liar tak terurus. Ada perempuan berpakaian minim datang bersama tiga rekan dengan dandanan yang seakan berlomba irit.
Suara denting piring kena sendok makin riuh. Idrus tak peduli dia meneruskan cerita. Drusba akhirnya lari dari si lelaki yang dipanggilnya dengan bapak. Dia tak tak pernah takut hidup karena dia sudah pernah hampir mati. Dia tertangkap mengambil sarung tinju di sebuah sasana. Dia lalu jadi karung pasir dijotos tiga petinju yang saat itu sedang berlatih. Drusba tidak menangis. Oh, ya dia memang tidak pernah menangis. Si pelatih tertarik menjadikannya petinju. Maka ia pun jadi petinju besar. Juara dunia. Tiga kelas dikuasainya. Ia membuat orang-orang di sekelilingnya kaya raya. Manajernya, pelatihnya, mitra latihnya, dan Anne, perempuan yang selalu ada di sisi ring setiap kali ia bertanding atau sekedar berlatih. Perempuan yang teriakannya bengis, dan tatapan matanya tak lepas dari mata Drusba. Tatapannya itu seperti menyuntikkan kebengisan yang terus-menerus ke dalam otak dan mematikan fungsi rasa di hati Drusba yang memang selama ini sangat jarang ia fungsikan. Itu yang membuat Drusba tak terkalahkan.
Tapi, tiba-tiba dia menghilang. Dan satu per satu orang terdekatnya hilang kemudian ditemukan jadi mayat. Kecuali Anne, yang juga menghilang. Idrus menyeruput kopi. Meletakkan lagi cangkir.
      - Orang mengira dialah si pembunuh. Tapi kenapa dia membunuh, itu yang tak tahu.
      - Eh, kan engkau yang mengarang cerita. Kenapa tak kau buat saja alasan yang masuk akal.
      - Biar saja, akhir ceritanya terbuka. Biar saja pembaca yang menebak bagaimana ceritanya.
      - Tapi cerita itu persis betul macam cerita si Absurd. Petinju kita yang juga hilang itu.
      - Ya, saya memang dengar cerita dari seorang perempuan tua bekas pelacur, yang mengira Absurd adalah anaknya yang dia buang dulu. Dia ingin sekali bertemu kalau memang si Drusba eh Absurd itu anaknya.
Aku dan Idrus terdiam. Dia habiskan kopi susunya. Saya merenungkan ceritanya. Kenapa tak kau tulis saja lagi ceritamu? Mungkin saya mau tuliskan. Masih ada waktu kirim naskah beberapa hari. Menurutmu bagaimana baiknya akhir cerita itu? Apa baiknya saya ubah saja?
      - TUAN IDRUS, SAYA TAHU BAGAIMANA NANTI AKHIR CERITA ITU!
Aku dan Idrus menoleh ke asal suara. Pria letih berkumis yang sejak tadi duduk sendiri dua meja di belakang kami. Dia berjalan ke meja kami. SAYA ABSURD. ENTAH KENAPA DAN ENTAH SIAPA YANG MEMBERI NAMA ITU PADA SAYA. Suaranya seperti diucapkan dari sebuah teks yang ditulis dengan huruf kapital.
Aku dan Idrus saling pandang dan tak tahu harus bicara apa. TUAN IDRUS, SAYA DENGAR TADI SEMUA CERITAMU. SAYA YANG MEMBUNUH ORANG-ORANG YANG MATI DALAM CERITA ITU. SAYA JUGA YANG MEMBUNUH ANNE. KARENA DIA HAMIL DAN SAYA TAK TAHU BAYI SIAPA YANG DIKANDUNGNYA. SELAMA INI SAYA CARI PEREMPUAN YANG MELAHIRKAN SAYA DAN SAYA JUGA INGIN MEMBUNUH DIA.
      - Maaf saya tidak tahu, dimana sekarang ibumu, eh, maksud saya bekas pelacur itu.
Absurd menunduk. Matanya basah. Mungkin itu tangisan pertamanya. JANGAN SEMBUNYIKAN DIA, TUAN. SAYA TIDAK INgin membunuhnya. Saya justru ingin berterima kasih pada dia. MembUNUH DAN MEMELIHara dendam ternyata tidak menyelesaikan apA_APA. Tolong, Tuan. Antarkan saya padanya. Saya ingin mencium tangannya. Saya sudah memaafkan dia.
Aku dan Idrus berpandangan. Idrus kulihat sudah meneteskan air mata juga. Aku pun buru-buru mengambil kertas tisu. Mengeringkan mata. Jarang-jarang saya menangis.***