PULANG dari main bola di sawah, tubuhnya langsung
meradang. Terbaring di katil tak berkasur, sesekali ia
mengigau, "gol, gol, gol!" Suara seraknya seakan ingin
berteriak lantang, kaki kecilnya menyepak tiang ranjang.
IBUNYA pun diam-diam disergap cemas. Dia kompres
dahi bocah lelakinya. Lalu mengatup tingkap, menghalangi
ruh jahat di luar senja yang tak bisa diusir malaikat hujan.
Ia mengingat-ingat pendekar bola, yang sering ia dongengkan
sebelum anaknya tertidur sambil menatap sepatu warisan,
yang tergantung di dinding bersama kostum kebanggaan.
SETELAH empat hari demam, bocah itu kini sudah agak
mendingan. Pagi-pagi ia bangun, mandi di sumur dan
berpakaian seakan hendak berangkat ke pertandingan.
"Ibu, mana bola wasiat yang ditinggalkan Si Jagoan?"
SI Ibu pun terperanjat tak punya jawaban, meskipun
sebenarnya sudah lama kalimat itu ia persiapkan:
"Anakku, engkaulah bola nasib yang kukandung
sembilan hari sembilan bulan, engkaulah bola nasib
yang diwariskan oleh Si Jagoan yang kini entah berada
di mana, mengembara dari lapangan ke lapangan....."