MENULIS puisi kali ini ingin kita ibaratkan saja seperti meditasi di kamar mandi. Meditasi, bukan sekedar masuk bawa handuk, copot celana dan baju lalu mengguyur, menyabuni dan membilas badan. Di kamar mandi, kita tidak dianggap cabul kalau kita bugil. Kamar mandi adalah teritori pribadi. Mandi di kamar mandi, adalah laku pembersihan badan. Sehabis mandi, kita segar. Orang lain bisa membedakan kita sudah atau belum mandi tanpa harus melihat atau mengintip kita telanjang di kamar mandi.
KETIKA kita menulis puisi, mestinya kita menelanjangi, lalu memandikan ruh. Orang yang berani telanjang hanya orang yang jujur, melihat tubuh dan ruh yang pasti tidak akan pernah sempurna. Di kamar mandi dan di dalam puisilah ketelanjangan itu diberi tempat. Kita tak boleh malas mandi, karena kita harus selalu ingin menjadi lebih bersih. Mandi ruhani dan mandi jasmani.
DAN pembaca puisi bukanlah orang yang mengintip saat kita menelanjangi jiwa kita. Lewat puisi yang dihasilkan dengan mandi ruhani yang tuntas, pembaca mestinya tahu kita telanjang karena ingin jujur melihat dan meninjau diri sendiri. Kejujuran itu semoga bisa dijadikan cermin bagi pembaca, atau setidaknya pembaca puisi kita jadi terdorong untuk meninjau dirinya sendiri dengan cerminnya sendiri.
BANYAK penulis puisi yang keasyikan telanjang di kamar mandi puisi dan tidak sempat jujur meninjau dirinya sendiri. Eh, dia malah tergoda untuk sebuah masturbasi - mengumbar asyik untuk diri sendiri. Puisi masturbasi? Siapakah kira-kira yang sudi bercermin di situ? []