SEHABIS pertandingan final yang tak bisa ia lupakan skornya,
ia mampir di kedai tukang sablon. "Tolong ganti saja segera
nama dan nomor punggung kaos lelah-lecak ini," katanya.
Si tukang sablon tua memandangi kaos bernomor 10 itu, lalu
tiba-tiba disergap kenang dan bayang, matanya pun tergenang.
"Maaf, kaosmu hanya perlu dicuci. Kebetulan aku kehabisan
stok huruf dan angka," katanya, mengemas rapi lagi kaos
lelah-lecak itu. Penyerang itu diserang kesebelasan tanya, lebih
berat dari tim yang baru saja antara hidup dan mati ditarunginya.
SUDAH senja, waktu akhirnya ia tiba di rumah binatu. Kaos
lelah-lecak ia serahkan kepada tukang cuci yang sedang
mengantuk sambil duduk di antara dengkuran mesin cuci.
"Tolong dicuci bekas luka dan bisa atau bawa saja lari,
sampai hilang pedih nama dan perih angka di punggungnya,'
katanya seperti penyair sedang membacakan bait puisi.
Si tukang cuci semula tampak tak peduli. Ia taburkan
deterjen dan ketika hendak menekan saklar tiba-tiba saja
ia seperti dibangunkan dari sebuah mimpi. Mimpi buruk sekali.
"Maaf, Tuan, kami tidak bisa mencuci apa-apa malam ini.
Air sedang mati. Bawalah kemari esok pagi. Siapa tahu kami
bisa lolos dari resesi yang diramal datang tengah malam nanti,"
katanya, lalu buru-buru menyerahkan kaos lelah-lecak itu.
IA tak lagi punya pilihan, selain berlari kembali ke lapangan.
Sambil menghayati luka di kaki, dan duka di hati, ia bertemu
wasit tua yang tak pernah berhenti menyempritkan peluit. "Hei,
belum sampai waktumu. Jangan kembali ke lapangan itu.
Tak akan ada yang merayumu," katanya sambil terus meraba
sesuatu yang berwarna merah di saku baju: sebuah kartu.
Ia tak lagi peduli. Dan terus berlari, berlari ke lapangan. Di sana
ia hapus angka di papan skor, lalu sebuah amanat ia tuliskan:
satukan aku dan bola tembuniku yang entah di mana makamnya,
dan kaos dengan nama dan nomor punggung ini pakaikan saja
di batu nisan. Dengan demikian sebuah epitet telah ditabalkan.
Dengan demikian sebuah epitaf telah dituliskan. Sekian.