JANGAN disalahkan, atau jangan merasa bersalah dengan puisi. Menyadari bahwa penyair dan puisinya kadang terasing dengan kenyataan itu perlu. Tapi puisi dan penyair tidak selalu harus terasing dari kehidupan. Puisi itu seharusnya ada di dalam kehidupan. Ia mengambil peran dalam kehidupan. Apa pun yang tengah terjadi dalam kehidupan itu. Termasuk bencana.
Selain harus menghayati - antara lain dengan jalan mengalami - peristiwa sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya, penyair harus sesekali mengambil "jarak aman" dari peristiwa. Pada saat itulah ia bisa melihat dengan cakrawala yang lebih luas. Ada hal yang tidak akan pernah sempurna kita hayati apabila kita terlalu dekat dengan hal itu. Bahkan kita harus meninggalkan kekasih untuk menciptakan rindu yang hebat, bukan? Dengan rindu, kita akan melihat kekasih kita dengan warna, rupa, dan aroma yang berbeda.
Kita harus puasa. Puasa jarak. Puasa ingat. Kita harus menjauh karena kita yakin bahwa kita tak akan pernah sepenuhnya meninggalkan. Kita harus melupakan karena kita tahu pasti bahwa kita tak akan pernah bisa seluruhnya menghapuskan. Apa yang masih kuat menarik dalam jarak yang kita bentang, apa yang masih tertinggal sebagai ingatan setelah kita mencuci otak dengan lupa adalah sesatu atau sedua atau setiga yang boleh kita hadirkan dalam puisi. Kita jadikan alasan untuk melahirkan puisi. []