SAMBIL berpura-pura menyanyikan lagu kebangsaan,
berjejer di tengah lapangan, kapten kesebelasan itu
bersungguh-sungguh memanjatkan doa kesayangan:
Tuhan, Engkau tidak usah nonton, 'kan? Memang
sebaiknya sejenak kami Engkau tinggalkan. Jangan
pernah lagi Engkau main tangan, bikin gol ke gawang
salah satu dari kami yang sebentar lagi menggelar
pertandingan. Penghabisan. Habis-habisan.
TENDANGAN pertama sudah dilakukan. Bola pun
mulai menelusuri nasibnya dari kaki ke kaki. Peluit
disabdakan. Kartu kuning sesekali dihunuskan,
kartu merah pun ditikamkan. Dan jaring gawang itu -
yang bergetar menahan tembakan - tak juga sempat
menyampaikan kepada bola, sebuah pertanyaan
yang sudah lama bikin ia penasaran. "Engkau duduk
di mana, Tuhan? Kenapa tak ada di bangku cadangan?"
SETELAH dua kali 45 menit, dan waktu perpanjangan,
pertandingan tetap pada kedudukan kosong-kosong,
tak ada gol yang bisa diciptakan. Para bandar taruhan
mulai curiga ada persekongkolan antara bola dan sang
penjaga gawang. Keduanya harus diberi hukuman. Atas
nama Permainan, pertandingan harus diteruskan. Pemain
yang kelelahan makin tidak karuan. Wasit yang tak kenal
kompromi menindak tegas semua kecurangan.
Kartu merah berkelebatan, membabat takdir
pemain - terlempar ke luar lapangan.
HINGGA akhirnya, di padang rumput itu tinggal letih bola
dan dua penjaga gawang yang ingin cepat pulang. Para
penjudi makin meningkatkan angka taruhan. Penonton kian
gila-gilaan, berteriak ke arah tribun penonton kehormatan.
Ada bangku yang tiba-tiba kosong. Kata penyiar televisi,
Dia yang tadi duduk di situ sedang berada di ruang ganti.
"Kita tunggu saja, kostum kesebelasan mana yang akan
Ia kenakan...."