DIA pun terbaring sendiri di titik tengah lapangan,
Sebuah bola bulat telanjang tergolek di sampingnya.
Tak ada lagi gawang sendiri, tak ada gawang lawan,
Hanya dengus nafasnya dan detak jantung bola.
"INILAH saatnya menyatukan cinta, sebulat-bulatnya,"
katanya kepada bola. Dibukanya sepatu dan kaus kaki.
"Inilah saatnya kita memahami vonis hati: adu penalti,"
katanya pada diri sendiri. Lalu erat didekapnya tubuh bola.
TELAH dilepaskannya nama dan nomor di punggungnya.
Baru ia sadari, "O, betapa lembut rambut rumput lapangan."
Dan ketika ia telah meringkuk di rahim bola, maka tahulah ia
: kenapa bapak dulu mengajarinya hakikat sebuah tendangan.
BERAPA pertandingan hati ke kaki sudah dikejarnya?
Berapa kartu merah mengusirnya dari lapangan tanya?
Di dalam sunyi bola, rahasia kehidupan membuka terbaca,
Membawanya ke gawang sebenarnya, gol sesungguhnya.