Rose, di 711 West Beaver Avenue Univesity Park, PA 16802, menanggapi Ruang Renung # 150. Berikut petikan tanggapannya (dengan huruf italic) dan tanggapan saya sebagai sebuah pertukaran pikiran.
[....kalau dengan yang diri kita dengan yang transenden itu dibahas diumum maka akan mengarah kepada pembenaran secara pribadi, padahal tiap individual punya pengalaman, struggle sendiri dengan the transcendent.]
INI yang saya jaga dengan pagar peringatan: puisi masturbasi. Pembenaran sepihak atas pendapat pribadi atau diri sendiri. Menolak cahaya dari luar, maka yang dihasilkan adalah sebuah cermin yang buram. Atau mungkin gelap....
[Saya pikir puisi tidak harus merupakan penelanjangan pada diri sendiri dengan ibarat menelanjangi diri sendiri dikamar mandi, mensucikan diri sendiri dan kemudian menjadi cermin pula buat orang lain.]
Ya memang tidak harus. Saya juga tidak menawarkan sebuah laku penyucian. Hanya pada puisi dan saat di kamar mandi, ada kesempatan kita untuk menyadari bahwa kita tidak pernah bisa sempurna, jiwa dan raga. Kamar mandi dan puisi bukan satu-satunya tempat untuk melakukan hal itu. Soal cermin itu pun tidak harus. Itu terserah pembaca nanti. Ibarat sebuah cermin di toilet umum. Tidak ada keharusan siapa pun untuk bercermin di situ.
Cermin seperti apa yang ditawarkan oleh Sapardi Djoko Damono di sajak populernya "Aku Ingin"? Saya bilang, kecintaan yang tulus, tanpa keinginan untuk memiliki. Bercermin pada sajak itu saya jadi boleh bertanya pada diri saya sendiri, "setulus apa saya mencintai istri, anak, atau puisi atau cinta pada apa saja?"
[Apakah kita telah kehilangan hubungan dengan manusia dan alam lagi? Apakah kita tak bisa melihat keindahan di luar diri lagi? Apakah kita tidak bisa menggambarkan bahasa keindahan tanpa mereferensikanya ke pengalaman seksual]
Idiom-idiom seksual hanya salah satu pilihan. Silakan pakai itu atau gali dan kembangkan peristilahan lain untuk puisi-puisi kita. Ini tantangan pengucapan yang selalu terbuka kan?. Idiom sepakbola, kamar mandi, celana, boneka, atau idiom-idiom keruhanian. Dan pada saat menilik diri sendiri jangan hanya terpaku dan terpukau pada organ-organ seksual kita. Saya takut kalau perhatian kita hanya pada wilayah itu maka hasilnya benar-benar cuma sebuah masturbasi dan puisi masturbasi. Pada saat menilik tubuh kita seharusnya bebas dibawa terbang, juga pada alam. Tubuh juga bagian dari alam semesta ini kan? Jangan terlalu diasingkan. []