DI sekeliling kita bertebaran kata-kata, frase-frase, idiom-idiom yang klise; dan dengan sekadar keterampilan saja seorang penyair bisa menyulapnya menjadi sajak sosial. Ia komunikatif sekali sebab masalah yang ada dalam sajak-sajak semacam itu adalah milik kita bersama. Masalah yang siap pakai semacam itu dengan mudah menjelma menjadi dalam puisi demonstrasi, puisi penyerahdirian kepada Tuhan, puisi protes sosial, dan sebangsanya. Puisi yang sekali baca habis, malah tidak jarang sudah habis sebelum kita membacanya sampai kata akhir.
TETAPI puisi Abdul Hadi bukanlah semacam itu. Ia tidak mencoba untuk mengekspresikan social mind, tetapi personal mind, dan yang saya sebut terakhir it pada hakikatnya tidaklah komunikatif. Di sini kesulitan itu timbul: hal yang pada hakikatnya tidak komunikatif itu harus dinyatakan dengan alat komunikasi, bahasa. Dan di sini pula seorang penyair lirik diuji. Ia mungkin tergelincir ke dalam sajak-sajak gelap, sajak-sajak yang sama sekali kehilangan kontak dengan pembacanya. Dan saya rasa beberapa sajak Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Goenawan Mohamad, serta beberapa stanza Rendra tepat pada garis yang memisahkan kedua kemungkinan tersebut, garis yang harus dicapai oleh penyair lirik yang baik.
[Sapardi Djoko Damono dalam "Keremang-remangan Suatu Gaya", pada buku "Sihir Rendra: Permainan Makna", Pustaka Firdaus, Jakarta, Cetakan Pertama, Mei 1999]