KENAPA menulis sajak gempa dan sepakbola? Ya, kenapa tidak! Semua semestinya mengandalkan ketajaman dan keligatan mata batin puisi kita. Peristiwa - gempa atau perhelatan besar sepakbola - adalah batuapi yang memantikkan api permenungan untuk kemudian menyala berkobar membawa terang puisi.
Atau sebaliknya, permenungan kita yang sudah lama tersimpan sebagai pijar batubara, tiba-tiba menemukan alasan untuk diucapkan, tersulut oleh peristiwa yang datang kemudian. Hasilnya sama saja, api puisi kita menyala terang dan jika ia api puisi sejati maka nyala itu akan abadi. Terang-menerang terus-menerus.
Cerita - atau kita seratakan saja dengan semua karya sastra, dengan demikian juga termasuk puisi - kata sastrawan Kuntowijoyo, lahir karena kita punya pengalaman, imajinasi dan nilai-nilai. Pengalaman adalah tabung yang kita isi dengan peristiwa, kejadian, yang langsung datang pada kita atau datang lewat berbagai cara tak langsung lainnya. Imajinasi adalah apa yang bebas kita khayalkan, apa yang kita lambung-lambungkan dari pijakan realitas fikiran kita. Jangan terlalu ngotot memisahkan mana pengalaman mana khayalan. Picasso bilang apa yang bisa kita khayalkan berarti itu nyata. Jangan terlalu repot menakar pada karya kita itu berapa persen khayal berapa persen nyata.
Lalu dimana peran nilai-nilai? Ia menjadi semacam rambu-rambu atau papan peringatan yang tampak ataupun tak tampak, yang terpasang di sepanjang jalan penciptaan atau tersimpan di buku manual gaib yang diam-diam kita rujuk ketika kita berkarya. Dengan bahan pengalaman yang sama dan daya khayal yang juga serupa, dua orang akan menghasilkan karya yang berbeda karena masing-masing pasti punya persisi anutan nilai-nilai.