Tuesday, May 16, 2006

Saatnya Menggagas Akademi Penyair Indonesia

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menetapkan tanggal 21 Maret sebagai Hari Puisi Sedunia sejak tahun 1999. Tujuannya adalah untuk menggalakkan pembacaan, penulisan dan penerbitan serta pengajaran puisi di seluruh dunia. Di manakah tempat para penyair sekarang di negeri bernama Indonesia ini?

Ketika berhadapan dengan kekuasaan, puisi dan enyair Indonesia, sepertinya masih disiksa trauma. Trauma itu tak pernah ingin disembuhkan. Sakit akibat trauma itulah yang ingin dihilangkan dengan cara menolak setiap kesempatan untuk bertemu dengan kekuasaan. Trauma itu terus saja diwariskan. Para penyair yang datang belakangan menerima saja tanpa mempertanyakannya, apalagi berupaya menyembuhkan.
Seakan ada rumus bahwa sakit itu harus ditempuhi sebagai bagian dari jalan puisi, jalan menuju penyair. Maka, puisi dan penyair Indonesia kini jalan sendiri, menjauh dan tampaknya asyik-asyik saja dengan pilihan itu.
Ada sejumlah akibat dari pilihan itu. Salah satunya, puisi dan penyair semakin terasa asing. Ia bukannya tak ingin menyuarakan apa yang tak memiliki suara - selirih atau selantang apapun, dengan berbisik atau
berteriak - tapi suara yang ia rekam dan kemudian ia bunyikan tak dimengerti, bahkan seringkali tak dihiraukan. Tugas puisi dan penyair sepertinya dicap selesai ketika dia sudah bersuara. Tapi ada yang sia-sia di situ.
Keasingan itu tak pernah ingin dibentuk dalam sebuah kesadaran. Puisi dan penyair berada di tengah masyarakat, tapi sebenarnya dia tak terasa keberadaannya. Ini memang keluhan lama, tapi ya itulah, setelah sekian lama dikeluhkan pun tak juga bisa dicarikan jalan keluar. Olok-olok itu pun jadi seperti semakin benar saja: puisi itu kan jalan kesunyian, tidak semua orang harus suka puisi, apalagi menulis puisi.
Memang ada keramaian yang tampak. Nama-nama penyair baru muncul. Koran-koran pada hari Minggu memberi empat untuk puisi. Buku-buku puisi diterbitkan. Milis bertumbuhan. Tapi tetap saja, keramaian yang tampak
itu selalu saja membuat puisi dan penyair berjarak jauh jauh dengan kekuasaan.
Presiden datang, presiden pergi. Tak ada yang dengan serius menoleh pada puisi. calon presiden saat kampanye lebih memilih lagu rock populer ketimbang puisi. Tapi biarlah. Itu tidak pernah perlu dirisaukan.

Puisi dan penyair Indonesia saya kita memerlukan lembaga semacam Academy of American Poet. Inilah organisasi nirlaba dengan misi mendukung penyair-penyair Amerika pada semua tingkatan karir kepenyairannya dan
membantu mendorong apresiasi puisi mutakhir.
Akademi ini dibentuk tahun 1934 di New York City dan resmi dibentuk sebagai organasisasi nonprofit pada tahun 1936. Marie Bullock, ketika masih berusia 23, mendirikan lembaga ini dan kemudian ikhlas menjadi
ketuanya selama 50 tahun kemudian. Selama lima puluh tahun pertama itu Bullock menjalankan roda organisasi Akademi dari apartemennya, dengan pusat perhatian pada program utama memberi penghargaan-penghargaan kepada
para penyair.
Awalnya adalah Ketika Bullock kembali ke Amerika setelah selesai belajar di Sorbonne, Paris, dia cemas melihat betapa puisi tidak dipedulikan di Amerika.
Lihat, betapa persisnya kondisi itu dengan Indonesia
saat ini.

Tapi di Indonesia hingga saat ini tak ada yang secemas Marie Bullock. Dia memahami keterbataskan dukungan keuangan bagi penyair-penyair Amerika dan tahu sendirilah bahwa kehidupan menyair di Amerika saat itu juga tidak menjanjikan kehidupan yang makmur - persis seperti di Indonesia saat ini.
Maka dia pun memutuskan untuk ambil aksi. Dengan bantuan sejumlah kawan penyairnya, Bullock pun mulai mengumpulkan dana menghidupkan puisi dan membantu kehidupan para penyairnya.
Kini untuk memenuhi janjinya "mendukung penyair-penyair Amerika pada semua tingkatan karir kepenyairannya", Akademi ini menyelenggarakan
tujuh penghargaan sepanjang tahun, dari penghargaan untuk "buku puisi pertama" hingga "penghargaan pengabdian hidup kepada puisi". Juga hampir 200 kali hadir setahun untuk mengenalkan puisi kepada Pelajar di sekolah di seluruh Amerika.
Akademi inilah yang tiap tahun memberikan The Wallace Stevens Award. Hadiah ini diberikan sejak tahun 1994 kepada penyair yang dinilai sudah
mencapai tingkat estetika tinggi. Hadiahnya US$100.000. Atau senilai Rp900 juta (pada kurs Rp9.000 per dollar Amerika). Wah!
Ada juga The James Laughlin Award yang diberikan untuk buku penyair yang menerbitkan buku keduanya. Bagi penyair yang belum pernah menerbitkan buku puisi ada The Walt Whitman Award. Hadiahnya uang kontan 5.000 dolar Amerika, dan menjadi tamu sebulan penuh di Vermont Studio Center. Syaratnya, yaitu tadi, belum pernah menerbitkan buku puisi, naskah buku
puisi pemenang diterbitkan dan didistribusi ke anggota Akademi.
Penerjemahan puisi pun diberi perhatian penting. Adalah Harold Morton Landon Translation Award. Hadiah senilai 1.000 dolar Amerika ini diberikan kepada penerbitan puisi terjemahan dari bahasa apapun ke bahasa Inggris. Digelar dua tahunan sejak 1976. Lalu pada tahun 1984 digelar saban tahun.
Dan untuk bagian lain dari misinya - "dan membantu mendorong apresiasi puisi mutakhir" lembaga ini menyelenggarakan sejumlah program seperti mengelola situs Poets.org, sejak tahun 1997 dan sekarang dikunjungi 400.000 pengunjung tiap bulan; juga menetapkan April sebagai Bulan Puisi Nasional, sejak 1996 dan kini inilah perayaan yang ditahbiskan sebagai
perayaan puisi terbesar di dunia.
Lembaga ini juga mengarsipkan pembacaan puisi yang kini jumlahnya 500 rekaman sejak tahun 1960, serta tentu saja majalah puisi yang terbit
dua tahun sekali: American Poets.
Sekali lagi, Indonesia memerlukan lembaga semacam Academy of American Poet! Akademi ini saya kira berhasil membuat puisi dan penyair terasa hadir dan tidak menjauh dari kekuasaan. Puisi dirayakan, dihadirkan di tengah masyarakat.
April bulan depan kehadiran puisi itu saya bayangkan akan sangat terasa. Itulah bulan puisi lebih kerap ditarik dari rak buku di perpustakaan. Ketika orang-orang diimbau meresitalkan puisi untuk keluarga.
Ketika puisi di bawa ke rumah ibadah, mendampingin doa-doa yang dibacakan. Ketika puisi yang dulu pernah kita baca kini diminta untuk dikenang lagi. Ketika sejumlah pembacaan puisi di seluruh negeri dijadwalkan dan orang-orang digalang untuk hadir di acara itu.
Saya yang tak pernah ke Amerika pasti hanya seorang yang sok tahu tentang puisi dan penyair di Amerika. Pasti banyak penyair dan bukan penyair yang lebih tahu tentang itu. Tapi kenapa tidak meniru hal yang sama? Saya kira itulah akibat dari trauma itu.
Saya pernah diskusikan ini seorang penyair kawakan. Dia pernah ke Amerika sana. Ia pun meragukan gagasan untuk mengadakan semacam pemilihan Poet Laureate. "Buat apa kalau pemilihan-pemilihan itu malah membuat
penyair jadi disubordinasi oleh pemerintah," katanya.
Di Amerika setiap tahun dipilih seorang penyair
untuk secara resmi melayani dan menjadi penasihat Library of Congress. Tugasnya bagaimana mencari cara meningkatkan kepedulian dan apresiasi penulisan dan
pembacaan puisi. Tahun lalu penyair Ted Kooser yang ditunjuk dan sama seperti Poet Laureate sebelumnya ia berhak atas bantuan hadiah 35 ribu dolar Amerika. Tanpa ketakukan si penyair akan jadi membungkuk-bungkuk di depan kekuasaan.
Trauma puisi dan penyair di hadapan kekuasaan itu harus disembuhkan. Hubungan puisi dengan banyak hal diluar dirinya harus dibenahi. Dengan demikian maka puisi dan penyair sekaligus membenahi lingkungannya dan dirinya sendiri. Saya tahu sudah banyak yang dilakukan. Masih banyak yang merisaukan kacaunya pelajaran sastra di sekolah-sekolah kita. Saya
adalah korban dari kekacauan pelajaran itu. Saya adalah korban yang berusaha menyelematkan diri sendiri. Saya kira lembaga dan program-program
semacam yang ada di Amerika tadi tadi bisa jadi salah satu jalan.

* Hasan Aspahani, pencinta puisi.