Tuesday, May 16, 2006

[Ruang Renung # 141] Adalah Adalah Adalah

"ADALAH" itu kata penghubung. Ia menghubungkan pokok kalimat dengan penjelasannya. Dia kata yang biasa saja. Sama seperti kata yang lain. Kerja menyairlah yang harus membuatnya jadi istimewa. Kerja menyairlah yang harus menaklukkannya.

MENAKLUKKAN? Memangnya benteng? Memangnya dia musuh puisi? Dalam puisi tak ada benteng, dan tak ada musuh yang harus ditaklukkan. Berpuisi bukan sebuah perang dengan sejumlah strategi agar berujung pada kalah atau meanng. Menaklukkan itu kerja menyair untuk membuat kata-kata mendukung niat si penyair. Dan tidak hanya kata "adalah" yang harus ditaklukkan. Semua kata harus ditaklukkan.

MENAKLUKKAN bisa berarti mengakrabi kata-kata. Menyahabatinya. Membuat kata dan kita takluk dalam persahabatan. Sahabat terbaik tentu dengan ikhlas mendukung niat puisi si penyair.

MENAKLUKKAN bisa berarti membebaskannya dari beban pengertian. Seperti yang diniatkan oleh seorang penyair mahsyur. Karena dengan membebaskan kata maka 'kreativitas dimungkinkan'. Dengan kata lain, penaklukan itu, kebebasan itu, akhirnya juga mendukung niat sajak si penyair.

MENAKLUKKAN bisa berarti memakainya dengan takaran yang berlebihan menurut ukuran bahasa biasa, tapi itu justru cukup dan pas untuk puisi kita. Kita yang harus menyusun alasan agar yang cukup dan pas itu memang cukup dan pas.

MENAKLUKKAN bisa berarti sama sekali menghindari kata itu dalam puisi kita, walaupun menurut ukuran bahasa biasa, dia harus hadir di sana.

"Aku adalah air," teriakmu, "adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah....."


ITU baris terakhir sajak Sapardi Djoko Damono "Akuarium" (Mata Pisau, Balai Pustaka, Cetakan ke-6, 2000). Menurut tata bahasa yang lazim tentu saja pemakaian kata adalah di situ berlebihan. Kita cukup mengatakan, "Aku adalah air, ganggang, lumut, gelembung udara, kaca...."

Lalu kenapa banyak sekali kata adalah hadir di situ? Mari kita baca seutuhnya bagian awal sajak itu, sebelum sederetan 'adalah' tadi.

kau yang mengatakan: matanya ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya
      ikan!
kau yang mengatakan: matanya dan rambutnya dan pundaknya
      dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya
      ikan!


DARI sajak ini saya menangkap pesan agar kita melihat segala sesuatu dengan cara adil dan berimbang, di tengah kecenderungan kita yang gampang terpengaruh pada sosok yang paling menonjol pada sebuah obyek yang rumit. Kita sering hanya terpikat pada ikan dalam sebuah akuarium. Padahal sebuah akuarium bukanlah akuarium kalau ia tidak terdiri dari bagian penting lainnya, yaitu air, kaca, gelembung udara, lumut, ganggang dan lain-lain.[ ]