SAYA kira menggubah puisi adalah menyusun beberapa pendapat, perasaan, usulan, gagasan, dan keinginan, seraya mengelak dari kesimpulan-kesimpulan. Setidaknya kita menunda kesimpulan itu. Biarlah pembaca puisi kita yang menafsirkannya dan bebaskan mereka membuat kesimpulannya sendiri. Semakin banyak kesimpulan yang bisa ditarik dari sehemat mungkin yang kita gubah dalam puisi kita, maka puisi kita semakin asyik untuk dinikmati.
DENGAN kata lain, menggubah puisi, saya kira, adalah sebuah upaya untuk menaklukkan "adalah". Karena "adalah" itu biasanya menghuni kalimat yang suka membuat kesimpulan. Ayo, kita baca sajak Joko Pinurbo "Bulu Matamu: Padang Ilalang" dalam buku "Di bawah Kibaran Sarung" (Indonesiatera, 2001).
Bulu matamu: padang ilalang.
Di tengahnya: sebuah sendang.
Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir
datang bertapa untuk membuktikan apakah benar
wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang.
Ia tak percaya, maka ia menyelam.
Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus mahadalam.
Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam.
Bulu matamu: padang ilalang.
(1989)
PERTANYAANNYA, berapa banyak "adalah" yang bisa dipakai dalam sajak itu? Akan adi sajak macam apakah sajak itu jika "adalah" ada di sana? Dan yang paling penting: berapa banyak kesimpulan yang bisa kita buat dari sajak tadi?[]