Monday, May 8, 2006

[Ruang Renung # 139] Ruh dan Jasad

KAPANKAH ruh ditiupkan ke janin? Konon ketika sang janin berusia 40 hari.

Kapankah ruh puisi harus kita tiupkan ke dalam jasad puisi kita? Harusnya sebelum kita menganggap ia sudah kita lahirkan. Aturannya tunggal: jangan rayakan kelahiran puisi yang tidak bernyawa. Sia-sia saja jerih payah selama mengandungnya.

Kehamilan setiap puisi adalah sebuah keunikan. Bisa saja kita melihat ada ruh puisi gentayangan lalu kita perangkap ia lalu kita wujudkan sebuah jasad puisi yang pas untuk dihuni oleh ruh tersebut. Atau kita mulai saja dengan mengutak-atik sebuah jasad, menempa kasar, dan kemudian sambil memperhalus bentuknya kita bayangkan ruh apa yang hendak kita tiupkan bagi sang jasad.

Puisi tanpa ruh, adalah jasad tak bernyawa. Hanya akan membusuk oleh bakteri pengurai. Atau kalau pun bisa dipertahankan, dia hanya sebuah awetan. Hanya perasaan yang kita awetkan, peristiwa yang kita abadikan, momentum yang kita bekukan. Sia-siakah? Tidak. Tapi tentu lebih nilainya kalau kita bisa menghidupkannya. Memberinya ruh. Membuatnya bermakna.

Ada yang menulis puisi begini: Aku berjalan-jalan ke puncak gunung. Oh, indahnya dunia dipandang dari ketinggian. Udara dingin sekali. Aku menggigil. Ah, seandainya aku ada bersamamu. Akan kupeluk engkau karena kau pasti kedinginan sekali.

Puisikah itu? Ya, kalau si penulis meniatkannya begitu. Tapi, adakah ruh pada puisi itu? Ya, mungkin saja puisi yang diniatkan itu sangat bermakna dan memiliki ruh bagi si "kamu" yang hendak dipeluk oleh si "aku". Bagi orang lain belum tentu. Bisa saja niatan sajak tadi dianggap sampah, atau jasad gentayangan.

Menulis puisi umumnya dan sesungguhnya bukan hanya ditujukan kepada satu pembaca. Kalau pun memang ia ditulis khusus kepada seseorang, maka jika puisi itu memang hidup dengan ruh yang kuat, pasti kelak dia juga akan sampai pada orang lain, orang lain, dan orang lain-lainnya, dengan ruh dan makna yang beraneka ada. Ia juga akan menemui kita penyair yang menuliskannya.

Tidak setiap fetus puisi di rahim ide kita harus lahir jadi puisi. Kitalah orang yang paling tahu kapan harus menggugurkannya. Pengguguran sebaiknya sebelum jasad telanjur dihuni ruh. Pengguguran pada saat itu 'aman secara medis dan legal'. Atau kalau pun sudah telanjur hadir ruhnya, tapi kita tahu jasad dan ruh yang ada itu tidak akan jadi sosok tunggal yang baik, maka bunuh jasadnya dan pelihara terus ruhnya, sampai kita bisa mengandung lagi janin baru yang cocok untuk ruh itu.

Tapi nanti kan ada hak pembaca juga untuk memberi ruh lain kepada puisi kita? Silakan dan jangan dibatasi. Tapi jangan terlalu berharap pada pembaca. Selain berhak memberi ruh pada puisi, pembaca juga berhak mencabut nyawa puisi kita. Ini yang seharusnya lebih mencemaskan kita, menjadi tanggung-jawab kita. Kecuali kalau kita memang seorang kreator yang zalim atas puisi-puisi yang kita ciptakan.[]