Wednesday, August 16, 2006

[Tadarus Puisi # 3] Api Emosi dan Imaji dalam Resital Piano

Di Sebuah Resital Piano

di sini, denting bertempo cepat patah-patah berdesingan seperti misil di sebuah daratan yang terbakar. di situ, desing kata-kata menderas seperti hujan lembing di kitab-kitab sejarah, membela tuhan dengan darah lalu memuji namanya dalam tudung perisai. di sini, kelincahan jemari terasa begitu surgawi, lebih benderang dibanding teriakan takbir penuh geram. di situ, kelihaian berhujat begitu tinggi seperti galah mengukur dasar sungai dan selatmu. lalu di sini, sebuah rondo memutar biji tasbih dengan suara yang ringkas dan nyaring: membaca ritual pemakaman sebuah kurun masa; sebagaimana telah dituliskan di rajah tulang ekormu.


DEFINISI seperti lampu penerang jalan terpasang terpasang di sepanjang jalan puisi menuju kota puisi. Beberapa rambu, tanda, peringatan, larangan, banyak ditemukan di sepanjang jalan puisi menuju kota puisi. Sebuah peta lengkap dengan petunjuk arah dan mata angin telah lama ada untuk menemani kita menelusuri jalan puisi menuju kota puisi. Ikutilah jalan, patuhilah rambu, dan bacalah dengan patuh peta maka kita akan sampai dengan selamat ke kota puisi.

SI PEMASANG lampu jalan, insinyur sang pembuat jalan dan kartografer perancang peta tentu tidak bisa disalahkan. Semua diperlukan. Tetapi, di luar kota pelancongan puisi itu, ada hutan puisi yang jauh lebih menantang untuk dijejahi. Hutan yang belum berpeta. Saya bayangkan hutan itulah wilayah yang disebut oleh A Teeuw, penelaah sastra Indonesia asal Belanda, ketika dia berkata bahwa tugas penyair adalah mengejutkan pembaca, dengan melakukan penyimpangan dari pemaknaan bahasa yang sudah terbiasa, sudah familiar, usang dan luntur. Tetapi kemungkinan, kelonggaran penyimpangan, selalu ada batasnya, yakni batas kemungkinan komunikasi.

DENGAN kata lain mengajak pembaca puisi berani masuk ke gelap dan semak hutan. Saya bayangkan TS Pinang dengan serangkaian terbarunya di Titik Nol - salah satunya adalah puisi yang sedang kita bahas dalam tadarus ini - sedang mengajak saya sebagai pembaca ke hutannya. Dan TS Pinang adalah pemandu yang baik. Ia berhasil membuat jalan setapak dengan jejaknya sehingga masih dalam batas kemungkinan komunikasi yang digariskan A Teeuw.

PERTANYAAN terkerap diajukan jika menemui sajak yang menyimpang adalah, "bagaimana membaca sajak ini?" Jika kita baca pelan-pelan sajak ini bisa saja disusun dengan bait-bait berlarik normal - senormalnya sajak yang kita tempuh di jalan ke kota puisi yang berlampu penerang, berpeta dan berambu-rambu.

LALU kenapa semua bait "ditabrak" dan semua baris "dirusak"? Saya tak tahu niat awal TS Pinang melakukan itu. Tapi buat saya bentuk bait pepat-padat itu bisa membangkitkan emosi. Saya seakan ikut marah jika saya temukan kemarahan dalam sajak itu, saya bisa ikut geram jika saya temukan kegeraman dalam sajak itu. Marah dan geram itu terasa kuat panasnya, lekas membakar saya, seperti api yang disemburkan dengan lekas.

YA, emosi sajak. Pembaitan salah satu manfaatnya dalam sajak adalah untuk mencicil nyala api emosi dan menggilir lembar-lembar gambar imaji menurut skenario sajak yang kita rancang. Ada emosi sajak yang harus dipanaskan dengan api kecil, diaduk perlahan-lahan, bak menjerang kuah soto agar santannya tidak pecah. Tapi, sajak TS Pinang ini bukan soto. Ia adalah tumis yang dimasak dengan api besar dan disajikan segera setelah pindah dari periuk.

TADARUS ini tidak selesai sampai disini. Kita masih harus masuk jauh ke hutan puisinya TS Pinang mencari buah makna dalam pohon-pohon liar sajaknya. Ada lekuk sungai dan beberapa buah batu. Sedap sekali kalau kita singgah dan duduk dahulu di situ. []