Ann - Hongkong
DI TIGA BATANG COKELAT RASAKU LEKAT
pagi itu seorang lelaki kembali,
berselimut kabut
sebelum akhirnya turun sebagai salju
atas duka yang tak kusetuju
DUKA di bait pertama ini tidak diumbar. Rasa itu tidak dilebih-lebihkan. Kembali kemanakah lelaki itu? Mungkin meninggalkan si aku. Atau kembali ke Tuhan? Apa saja, semua serba mungkin. Ini keberhasilan pertama sajak ini. Tetapi itu duka yang lengkap. Yang pasrah diterima oleh si aku. Dia yang pergi itu akhirnya turun sebagai salju, ataukah selimut itu yang luruh? Entahlah, keasyikan menebak itu tidak menghalangi saya sebagai pembaca untuk ikut merasa berduka. Tapi, ah, sesak sekali ketika menyadari bahwa aku tidak setuju pada duka itu. Siapakah yang setuju atas duka?
ia lupa akan bingkisan lama
tiga batang cokelat, rasa lekat
pada pembungkus bergambar mawar
di kelopaknya kata-kata ia catat
Dan belum selelsai pukau bait pertama saya sebagai pembaca harus mendapatkan kejutan lagi, mendapat penjelasan kenapa ia si aku tak setuju atas duka yang tak bisa ditolak itu. Dia lupa bingkisan lama: tiga batang cokelat. Kata lama pada bingkisan itu membuat saya simpulkan bingkisan itu bermasalah. Rasa lekat. Lekat? Si aku sudah mencicipi cokelat itu? Tapi tak sanggup menghabiskannya? Mungkin, saya yakin pada keraguan saya itu karena si aku lebih terpesona pada pembungkus, pembungkus bergambar mawar, pembungkus bergambar mawar yang pada kelopaknya ada catatan, ada kata-kata. Ada imaji tiga lapis di sana. Mengasyikkan sekali.
"Terima Kasih. Nikmati cokelat yang kubingkis.
Cecap waktu bersamaku nan manis. Semoga kau catat
dan tak hilang di kernyit pelipis."
NAH, inilah catatan pada kelopak mawar itu. Sementara itu badai imaji yang menyerbu saya reda. Saya bisa ambil nafas sebentar. Menikmati hembusan angin menyegarkan dari bait: tak hilang di kernyit pelipis. Bait yang manis. Mengundang tebak yang tak habis.
ini tiga batang cokelat terakhir
masih utuh hanya sempat kusentuh
Ah, ini dia jawaban tafsir saya atas bait pertama tadi. Si aku memang tak sempat mencicipi. Hanya sempat menyentuh. Itu coklat terakhir rupanya. Pasang imaji itu mulai naik lagi. Gelombang mulai meninggi.
O, begitu keramat untuk kunikmat
Itukah sebabnya si aku tak bisa menikmati sajak itu? Cokelat yang keramat?
pagi itu seorang lelaki benar-benar kembali
membawa aroma kemboja di tubuhnya
padaku meninggal duka juga catatan lama
Ini repetisi-repetisi yang efektif. Seperti ulangan hempas-hempas ombak. Lelaki yang kembali disebut lagi, catatan lama disebut lagi, duka itu disebut lagi.
"Ini pagi yang ingin. Bergegaslah kau nikmat cokelat
sebelum lidah kau rasa dingin."
Inikah lanjutan dari catatan yang terbaca di kelopak mawar itu?
cokelat yang ada kubuka dan kucari nikmatnya
aku dapati ia begitu utuh hanya saja tak sanggup kusentuh
Ann, HK, 8 Agustus 2006
DAN ah, akhir dari sajak ini ditutup dengan utuh. Selesai. Seakan terjawab semua pertanyaan. Dan hempasan ombak itu masih akan terasa lama di pantai kesanan.
Cokelat sudah berhasil dimetaforakan entah sebagai apa bagi pembaca lain. Tapi bagi saya cokelat di sini adalah perlambang keakraban. Mungkin cinta yang tak bisa diterima. Padahal si aku tahu cokelat cinta itu manis tapi ada sesuatu pada cokelat, atau pada si lelaki yang pergi, atau pada si aku yang membuat ketiganya tak bisa saling bersentuhan. Meski hanya lewat cokelat.[]