KOTA itu tumbuh dari pulau tempat terpidana dibuang.
SEMULA diseberangkan maling-maling muda yang
membunuh orang-orang sekampung untuk merebut
seekor hewan ternak, lalu dibakar tanpa penyembelihan.
Mereka diberi hukuman mati. Tapi seorang ayah yang
selamat mengampuni mereka. "Kami tidak pernah
mengajari mereka mengenal rumput dan air garam.
Bukan salah mereka. Kami orang-orang tua ini terlalu
sibuk menggembala. Padahal akhirnya cuma sesat
bersama, kami kehilangan ternak, anak-anak kehilangan
kami." Di sepanjang penyeberangan anak-anak muda itu
tak henti bernyanyi. "Kami sudah mati. Kami sudah...."
KOTA itu dihidupkan para hukuman, sudah dimatikan.
LALU datang pula, para pahlawan-pahlawan yang tahu
menemukan lawan dan mengobarkan peperangan demi
niat kesucian yang ditempuh pada jalan kebencian dan
api kebencian yang menghunuskan pedang kesucian.
Mereka telah menghapal manual cara membuat bahan
ledakan dari sekantong garam. Mereka telah mengenal
tubuh seperti batang getah yang siap ditatah menoreh
darah, lalu pada luka itu sebuah ancaman ditanamkan.
Kafe, rumah ibadah, kantor duta besar telah diledakkan.
KOTA itu dipimpin oleh pejabat tua yang tak mati-mati.
KITAB hukuman tak menyebutkan vonis paling pantas.
Dia mestinya dihukum mati 40 kali. Dihukum seumur
hidup 40 kali. Dihukum gantung 40 kali. Di persidangan
ia dibela 40 pengacara paling tangguh. Dan setelah 40
hakim terbunuh menjelang vonis jatuh, akhirnya sidang
dihentikan. Dan pejabat itu diam-diam diseludupkan
ke kota para tahanan, dihilangkan ke kota para buangan.