/1/
PAGI menyajikan matahari.
Langit membuka.
Tangannya mengacungkan bendera
Kertas buku, separuh ia merahkan
dengan kesumba.
Sejak hendak tidur semalam,
telah dia bayangkan
Sang Saka Dwiwarna
berkibar selama-lamanya.
"Lihat, Pak.
Benderaku.
Sama warna dengan yang berkibar
dalam upacara di halaman kantor desa.
Lihat, Bapak!"
Sepeda dikayuh lekas menuju sawah.
Keduanya sama berlagu.
Si Bapak menyiul masygul:
Sudahkah bebas negeri kita.....
Si Anak menyelang lantang, "Merdeka!"
/2/
AIR sawah membangunkan tanah.
Hari basah.
Dia menebar pupuk.
Tepungtawar bagi padi.
Di pematang, si anak
belajar naik sepeda lagi.
Dia panggil nama anak,
seperti mengulang-ulang doa:
pematangmu akan sangat panjang, Nak
Sawah kita tetap hanya sepetak.
Kau mau kemana?
"Aku mencari tiang tertinggi,
untuk benderaku ini."
Tapi, bendera kertas itu lepas
dari tiang lidi.
"Bapak, benderaku terbang,
jatuh, lalu hancur di sawah!"
Si anak telah mandi lumpur dan keringat.
Biar saja,
Biar benderamu menjadi sel air
dan darah tanah, Nak.
"Nanti
dia berkibar abadi
di tiang-tiang harimu,
di daun-daun pagimu,
di padang-padang sawahmu,
di butir-butir padimu."