JALAN ke puncak itu pasti menanjak. Juga ke puncak sajak. Ketika kita menuju ke sana, mungkin kita berpapasan dengan orang lain yang tidak pernah tahu bawah puncak itu ada. Dia, si orang itu, mungkin saja menganggap perjalanan kita itu sebagai sebuah sia-sia.
Teruslah berjalan, jangan terhalang oleh anggapan. Kita bisa merancang perjalanan itu hanya pada dilakukan malam hari, bukan? Di kamar kita sendiri. Di diri kita sendiri. Di saat sebagian mata lain istirahat, kita lanjutkan perjalanan. Atau diamlah. Menyepilah. Tetapi ciptakanlah langkah-langkah gaib. Tidak setiap langkah harus menghasilkan bunyi hentakan, bukan? Maka, begitu terbentang kesempatan, langkah kegaiban itu tiba-tiba saja melesatkan kita mendekati ke puncak itu, ke Sajak itu.
Setiap perjalanan pasti punya beban, punya risiko. Kadang-kadang beban dan risiko itulah yang turut memberi arti pada perjalanan itu, bukan? Kita tidak selalu sendirian. Mungkin nanti akan ada kawan seiring setujuan. Kita mungkin bisa meminta tangannya bergandengan. Eh, mungkin saja kawan seiring itu adalah Sajak itu, adalah Puisi itu sendiri.
Bayangkan betapa ringan perjalanan itu? Betapa menyenangkan. Bukan?