KENAPA menulis puisi? Kalau tidak orang lain, kita mungkin pernah bertanya seperti itu kepada diri kita sendiri. Kalau itu diajukan kepada saya maka saya akan menjawab begini:
BAGI saya membaca dan menulis puisi adalah sebuah kerja. Tapi lekas-lekas harus saya tambahkan bahwa ini adalah sebuah kerja ikhlas tak berpamrih. Sepanjang kerja ini masih mendatangkan kenikmatan maka saya akan terus menjadi pekerja puisi. Tentu ada tujuan dari setiap kerja, maka jika pamrih sudah saya abaikan maka yang ingin saya capai dengan kerja saya itu adalah memuliakan puisi. Memang puisi sama sekali tidak menuntut itu pada siapa pun. Tapi, bagi saya memuliakan puisi berarti memuliakan bahasa dan dengan demikian juga memuliakan manusia.
PADA puisi yang saya dapatkan dari kerja itu saya berharap bahasa saya sendiri menjadi sehat, bernafas panjang, tidak ngos-ngosan dan senantiasa segar. Bila kata-kata adalah udara dan berbahasa biasa itu seperti menarik-hembuskan nafas, maka berpuisi adalah semacam senam pernafasan. Senam itu membuat jantung sehat, paru-paru sehat, dan kehidupan saya sebagai manusia bisa saya jalani dengan lebih wajar, lebih nikmat dan lebih bermakna.
SAYA adalah pekerja puisi yang belajar sendiri, mengikut naluri. Ketika terpegang perkakas bergagang panjang bermata melintang maka naluriah saya akan mengayun-ayunkannya membelah tanah puisi. Kelak saya tahu perkakas itu bernama cangkul puisi. Ketika diberi alat berhulu berputing maka alamiah saya akan menebas-nebaskannya ke semak bahasa, kelak saya tahu alat itu adalah parang puisi.
KERJA puisi saya memang lebih dekat dengan imaji petani. Maka saya sendiri ingin menyebut diri saya sebagai petani puisi saja. Petani yang menyiangi ladang puisi, menyemai benih puisi, merawat anakan puisi, menyiangi gulma di ladang puisi, melawan hama dan penyakit puisi, mengairi dengan hujan atau menimba sumur di ladang puisi, hingga kelak memanen dan menyimpan benih puisi untuk musim tanam berikutnya. Pada tahapan kerja itu saya sedapat mungkin menyadari setiap hembus nafas, mengaturnya seirama dengan ayunan cangkul, parang, dan tugal. Ya, bagi petani, kerja adalah juga senam adalah juga meditasi.[]