Sunday, August 20, 2006

[Ruang Renung # 161] Garis Nyata yang Bisa Dipegang

PADA mulanya hanya kita yang berhadap-hadapan dengan sajak kita. Pada mulanya kita menyaksikan tayangan gambar-gambar imaji di kepala, dengan menarik-mengulur rasa di hati sebagai akibat dari sentuhan imaji-imaji itu, kita lalu menjemput kata, mengumpulkan kata, menyusun kata, memilih kata. Hasilnya adalah puisi dengan bancuhan baru antara rasa dan imaji. Dan ah mungkin juga pesan yang diam-diam kau sembunyikan.

SEGERA setelah kita menganggap selesai puisi kita, maka kita berganti posisi sebagai pembaca pertama puisi kita. Seharusnya kita adalah pembaca terbaik bagi puisi-puisi kita. Seperti Chairil Anwar terhadap karya-karyanya. Pernah suatu kali, lewat kartu pos, Chairil menulis ke HB Jassin: Yang kuserahkan padamu --- yang kunamakan sajak-sajak! --- itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa "tingkat percobaan" musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya.

KALA lain, Chairil menulis: begini keadaan jiwaku sekarang, untuk menulis sajak keperwiraan seperti "Diponegoro" tidak lagi. Menurut oom-ku sajak itu pun tidak baik! Lagi pula dengan kritik yang agak tajam sedikit, hanya beberapa sajak saja yang bisa melewati timbangan. Tapi tahu kau, apa yang kuketemui dalam meneropong jiwa sendiri? Bahwa dari sajak-sajak bermula hingga penghabisan belum ada garis nyata lagi yang bisa dipegang.

GARIS nyata yang bisa dipegang? Chairil bahkan tak henti-hentinya meninjau perkembangan puisi-puisinya, sejak sajak-sajak bermula hingga penghabisan. Mencari pola hubungan-hubungan antara semua puisinya. Menghadap-hadapkannya dengan kemungkinan kritik dan timbangan sajak. Chairil dengan begitu memberi contoh pada kita bagaimana menjadi pembaca pertama dan paling kejam atas sajak-sajaknya sendiri.

CHAIRIL penyair yang bersungguh itu bahkan kerap meragukan niat masuknya ke rumah kesenian. "Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati. Tapi hingga lahir aku hanya bisa mencampuri kesenian setengah-setengah pula. Tapi ungunglah bathin seluruh hasrat dan minatku sedari umur 15 tahun tertuju ke titik satu saja, kesenian," katanya dalam kartu pos lain, ke sahabat yang sama: HB Jassin.