Monday, August 21, 2006

Pulau Kampung
Pukau Lampung



MAKA, pada ombak di selatmu, aku belajar mengayuh lagi. Biduk tak
    bercadik ini. Ke pulau-pulau di gugus Krakataumu. Dengan
    cemas yang tak lagi kemas: sampailah, sampailah lekas.
    Sampai ke telukmu. Tempat sebuah bandar berpelabuhan rindu.
    Dan aku pelaut hendak menukar layar dengan jubah biksu dan
    kamus rahasia tempat para penyair menyemai benih puisi.

AHAI, di mana nanti kutinggalkan perahu? Sedang di sini sungai-sungai
    mengeruk beluk dengan bait baru, mengeduk seluk dengan larik
    arus laju. Bagaimana nanti kuinginkan badai? Sedang di sini alir
    lurus menuju ke muara yang satu. "Sungai telah kami terjemahkan
    ke dalam puisi, siapa yang berani memaknai kedalaman? Menebak
    apa yang kami tawarkan, mungkin sebuah teteduhan?"

BAIKLAH, di mana aku bisa singgah? Aku ingin sebuah kedai yang ramah.
    Dan segelas kopi kampung beraroma rumah. Para perempuan menemani
    dengan buku antologi dan lelaki dengan kitab sejarah. "Malam nanti
    datanglah. Kita membaca wangi sejarah, dan mungkin bisa kau temukan
    rahasia bagaimana menyuling atsiri ke dalam puisi." Aku termenung.
    Seperti kudengar lirih bebandung.

BARANGKALI, ada situs di pelupukmu tempat para pelaut betah
    membayangkan khayangan, dan aku akan menduga telah menjadi
    dewa, menghafalkan pisaan, lalu memejamkan keinginan, belajar
    mengerti sebisanya betapa di sini manusia mungkin berbahagia.
    Atau menunggu disalin ke remang memmang.