TAK pernah ada lagi peta, yang bisa membaca tubuh kota.
SEMUA jalan berubah belokan dan berganti nama setiap kali
ada sekelompok orang bersenjata melintas dan menandai
tiap simpang dengan tombak berhulu tulang dan tengkorak.
TAK ada rambu-rambu, hanya plang kosong berbekas peluru
dan spanduk panjang yang tiap hari seperti dicelup ke darah,
dengan itulah kota ini mendapatkan namanya: Kota Darah.
SAUDAGAR di pasar berbohong soal harga dan asal daging, sebab
pembelanja pun lihai menyulap angka nol di lembaran uang.
DULU pernah ada perang. 24 jam ada yang menabuh gendang.
KINI penduduk belajar berhenti, memasang lagi hati sendiri.
SEMUA kepala telah diserahkan ke Komite Peredam Sengketa
lalu disimpan di Museum Negara, bersama patung para presiden
yang tak lagi diingat namanya. Nanti semua akan dikembalikan
kalau warga kota tahu bagaimana memantaskan otak, dan
faham apa rasanya jadi manusia yang kehilangan muka.
KINI penduduk membiasakan diri berpeluk dan berjabat erat
saling menyentuhkan luka dan menyimak darah berbicara apa
dengan bahasa rasa, saling mengabarkan sakit yang sama.
TAPI, eh masih saja ada sekelompok orang berkepala dua
memberi tanda dengan tombak berhulu tulang dan tengkorak.