POHON-POHON tua, masihkah ia menjaga kota? Masihkah
mengukur musim dan dingin dengan termometer batangnya?
HUJAN telah lama akrab dengan terminal dan angkutan kota.
Para penumpang menempuh perjalanan semalaman. Datang,
dengan ransel, selembar baju, buku, dan bekal sewa kamar
sebulan. Menetap sekejap, hanya untuk sempat bersahabat
dengan bocah pengasong payung. Terlalu banyak pohon tua.
Tangan-tangan yang menanamnya telah keriput dan pergi
bersama usia. Mungkin ada jawaban di perpustakaan balai-balai
penelitian. Tapi, hujan selebat hutan khayalan seharian. Bocah
pengasong payung meringkuk ketiduran, di emperan pusat
perbelanjaan. Bermimpi tentang asrama mahasiswa, ruang kuliah
dan laboratorium kimia, botani, fisika, fisiologi di kampus tua.
POHON-POHON tua, masihkah diam-diam berdoa? Masihkah
menunggu hujan-hujan yang dulu dibisikkan para penanamnya?
OH, itu bayang-bayang mahasiswa dengan jas kerja, meletakkan
cawan di tepi jalan? Menebak apa yang terjebak: spora jamur atau
bakteri? Oh, bukan. Itu rombongan pelancong berburu jajanan!
Bocah pengasong payung tertawa pada rapat hujan. Di jalanan.
Memadatkan jarak dan serak kendaraan. Mencabuti anak rambut
di kening kenangan. Gagang payung-payung gelap disorongkan.