tanpa bungkus kafan,
kematian tetap saja kematian,
tanpa keranda,
pemakaman tetap saja pemakaman
, bukan?
sama saja, saat penjemputan,
kita di halte, menunggu giliran.
kebetulan, kami saat ini berangkat duluan,
bersamaan.
kau susullah kami, di lain kesempatan
, bukan?
Blog ini adalah daerah cagar, suaka bagi sajak-sajak, terjemahan, dan esai-esai Hasan Aspahani. Hal-ihwal yang pernah hilang dan ingin ia hapuskan.
Thursday, December 30, 2004
Tuesday, December 28, 2004
Tuan Nuh
akulah penumpang yang terjun dari kapalmu
terbuai landai pantai yang tiba-tiba surut
akulah penumpang karam pada bandang banjirmu
padahal amuk laut tak pernah minta disambut
Foto: Bay Ismoyo/AFP
terbuai landai pantai yang tiba-tiba surut
akulah penumpang karam pada bandang banjirmu
padahal amuk laut tak pernah minta disambut
Foto: Bay Ismoyo/AFP
Monday, December 27, 2004
Ketika Januari
Sajak Ted Kooser
Hanya ada satu ruang yang masih terang
kedai malam itu membeku,
atau begitulah tampaknya buat kita:
cafe Vietnam ini, malamnya yang berlemak
bidang-bidang penuh warna, aroma seperti bunga.
Suara bincang dan tawa, denting batang sumpit.
Di antara gelas-gelas, kota musim dingin
berderak seperti jembatan kayu tua.
Angin keras bergegas mengembus kita.
Lebih besar jendela, lebih keras gemetarnya.
In January
Only one cell in the frozen hive of night
is lit, or so it seems to us:
this Vietnamese café, with its oily light,
its odors whose colorful shapes are like flowers.
Laughter and talking, the tick of chopsticks.
Beyond the glass, the wintry city
creaks like an ancient wooden bridge.
A great wind rushes under all of us.
The bigger the window, the more it trembles.
Hanya ada satu ruang yang masih terang
kedai malam itu membeku,
atau begitulah tampaknya buat kita:
cafe Vietnam ini, malamnya yang berlemak
bidang-bidang penuh warna, aroma seperti bunga.
Suara bincang dan tawa, denting batang sumpit.
Di antara gelas-gelas, kota musim dingin
berderak seperti jembatan kayu tua.
Angin keras bergegas mengembus kita.
Lebih besar jendela, lebih keras gemetarnya.
In January
Only one cell in the frozen hive of night
is lit, or so it seems to us:
this Vietnamese café, with its oily light,
its odors whose colorful shapes are like flowers.
Laughter and talking, the tick of chopsticks.
Beyond the glass, the wintry city
creaks like an ancient wooden bridge.
A great wind rushes under all of us.
The bigger the window, the more it trembles.
Pada Sebuah Hari Ulang Tahun
Sajak Ted Kooser
Petang ini, aku duduk, jendela terbuka
membaca hingga cahaya tak ada dan buku
pun tak lagi tampak: menjadi bagian kegelapan.
Aku bisa saja menekan saklar menyalakan lampu,
tapi aku mau ikuti hari ini hingga jadi malam,
duduk sendiri, tanganku hantu pucat kelabu
mengelus yang tak terbaca: halaman buku.
A Happy Birthday
This evening, I sat by an open window
and read till the light was gone and the book
was no more than a part of the darkness.
I could easily have switched on a lamp,
but I wanted to ride this day down into night,
to sit alone and smooth the unreadable page
with the pale gray ghost of my hand.
Petang ini, aku duduk, jendela terbuka
membaca hingga cahaya tak ada dan buku
pun tak lagi tampak: menjadi bagian kegelapan.
Aku bisa saja menekan saklar menyalakan lampu,
tapi aku mau ikuti hari ini hingga jadi malam,
duduk sendiri, tanganku hantu pucat kelabu
mengelus yang tak terbaca: halaman buku.
A Happy Birthday
This evening, I sat by an open window
and read till the light was gone and the book
was no more than a part of the darkness.
I could easily have switched on a lamp,
but I wanted to ride this day down into night,
to sit alone and smooth the unreadable page
with the pale gray ghost of my hand.
Sunday, December 26, 2004
Memilih Seorang Pembaca
Sajak Ted Kooser
PADA mulanya, saya mestikan dia wanita jelita,
melangkahkan kaki, hati-hati, pada puisi-puisiku,
petang hari, ia dapati diri sendiri saat paling sepi,
rambutnya masih bagai tirai kabut di tengkuk
baru saja keramas. Mestinya dia memakai jas hujan
jas yang dikoyak usia tua, kotor pula,
sebab ia tak punya cukup uang ke binatu.
Dan dia sejenak melepas kaca mata, di toko buku itu
dia membaca sekilas buku sajakku. Dan berkata
pada diri sendiri, "Dengan uang seharga buku ini,
jas hujan yang kotor ini bisa kubawa ke laundry."
Dan itulah yang ia lakukan.
Selecting A Reader
First, I would have her be beautiful,
and walking carefully up on my poetry
at the loneliest moment of an afternoon,
her hair still damp at the neck
from washing it. She should be wearing
a raincoat, an old one, dirty
from not having money enough for the cleaners.
She will take out her glasses, and there
in the bookstore, she will thumb
over my poems, then put the book back
up on its shelf. She will say to herself,
"For that kind of money, I can get
my raincoat cleaned." And she will.
PADA mulanya, saya mestikan dia wanita jelita,
melangkahkan kaki, hati-hati, pada puisi-puisiku,
petang hari, ia dapati diri sendiri saat paling sepi,
rambutnya masih bagai tirai kabut di tengkuk
baru saja keramas. Mestinya dia memakai jas hujan
jas yang dikoyak usia tua, kotor pula,
sebab ia tak punya cukup uang ke binatu.
Dan dia sejenak melepas kaca mata, di toko buku itu
dia membaca sekilas buku sajakku. Dan berkata
pada diri sendiri, "Dengan uang seharga buku ini,
jas hujan yang kotor ini bisa kubawa ke laundry."
Dan itulah yang ia lakukan.
Selecting A Reader
First, I would have her be beautiful,
and walking carefully up on my poetry
at the loneliest moment of an afternoon,
her hair still damp at the neck
from washing it. She should be wearing
a raincoat, an old one, dirty
from not having money enough for the cleaners.
She will take out her glasses, and there
in the bookstore, she will thumb
over my poems, then put the book back
up on its shelf. She will say to herself,
"For that kind of money, I can get
my raincoat cleaned." And she will.
Thursday, December 23, 2004
mitologi aku dan kesunyian hujan
Sajak Nanang Suryadi
: borges dan h.a
di labirin impianmu
pernahkah kau temukan aku?
mungkin tak
karena aku adalah mimpimu yang karam
tak terekam dalam ingatan dinihari
aku adalah jutaan tahun kesunyian
yang merungkup wajah gundahmu
setelah kau susun huruf demi huruf anganmu
bacalah wajahku pada langit muram
di penghujung tahun
di deras kesedihan
demikian putih
dan senyap
: borges dan h.a
di labirin impianmu
pernahkah kau temukan aku?
mungkin tak
karena aku adalah mimpimu yang karam
tak terekam dalam ingatan dinihari
aku adalah jutaan tahun kesunyian
yang merungkup wajah gundahmu
setelah kau susun huruf demi huruf anganmu
bacalah wajahku pada langit muram
di penghujung tahun
di deras kesedihan
demikian putih
dan senyap
Wednesday, December 22, 2004
Penyair dan Mitologi Sendiri
[Petikan wawancara Stephen Cape dengan Jorge Luis Borges, dari situs Artful Dodge April 25, 1980]
TANYA: Apakah menurut Anda kata-kata itu punya sejumlah pengaruh yang tak terlepaskan dari kata itu atau dari imaji yang dibawanya?
BORGES: Well ya, sebagai contoh, bila Anda menggubah sebuah soneta, maka, setidaknya dalam bahasa Spanyol, Anda harus menggunakan kata-kata tertentu. Hanya ada sedikit rima. Dan ini tentu saja boleh dipakai sebagai metafor, metafora tertentu, sebab kau harus melekatkan sesuatu pada kata-kata itu. Saya berani mengatakan - ini tentu saja pernyataan yang pukul rata - tapi mungkin kata "moon" dalam Bahasa Inggris akar katanya berbeda dengan kata "luna" dalam Bahasa Latin atau Bahasa Spanyol. Kata "moon" punya bunyi yang seakan tak hilang-hilang. "Moon" adalah kata yang indah. Dalam Bahasa Prancis kata itu juga indah: "lune". Tapi dalam Bahasa Inggris Kuno "moon" adalah "mona". Tak terlalu indah, karena terdiri dari dua suku kata. Dalam Bahasa Yunani lebih tidak indah: "celena". Tiga suku kata. Tapi sekali lagi kata "moon" adalah kata yang indah. Jadi kata-kata itu memberimu inspirasi. Kata-kata punya kehidupannya sendiri.
T: Kata-kata punya kehidupannya sendiri, itu artinya kata lebih penting daripada makna yang bisa ia berikan pada konteks tertentu?
B: Saya kira makna kata lebih kurang tidak relevan lagi. Apa yang penting, atau dua fakta penting yang harus saya katakan adalah emosi dan kata itu terbangkitkan dari emosi. Saya tidak berpendapat bahwa Anda bisa menulis tanpa emosi. Kalau kau paksa juga, hasilnya pasti artifisial, dibuat-buat. Saya tidak suka tulisan sejenis itu. Saya kira apabila ada sebuah puisi memang hebat, maka Anda harus berpikir puisi itu menuliskan dirinya sendiri dan bukan si penyair yang menuliskannya. Puisi harus lahir dengan mengalir lancar.
T: Bisakah seperangkat mitos-mitos digantikan dengan yang lain ketika ia berpindah dari satu penyair ke penyair lain dan tetap memberikan efek puitik yang sama?
B: Saya kira setiap penyair punya mitologinya sendiri. Mungkin dia tak peduli dengan itu. Orang bilang ke saya bahwa saya sudah membangun sebuah mitologi saya sendiri tendang macan-macan, pisau tajam, labirin, dan saya tak sadar dengan dengan kenyataan itu. Pembaca saya menemukan itu setiap kali membaca karya saya. Tapi saya kira, itulah tugas dari penyair. Ketika saya memikirkan Amerika, saya selalu terbayang apa yang dirumuskan oleh Walt Whitman. Kata Manhattan ditemukan untuk dia, bukan?
T: Imaji tentang Amerika yang hebat?
B: Well, ya. Pada saat yang sama, Walt Whitman sendiri adalah sebuah mitos. Mitos tentang seorang manusia yang menulis, manusia yang bernasib sangat buruk, dan dia juga membuat dirinya menjadi seorang pengembara. Saya mencatat Whitman mungkin satu-satunya penulis di bumi ini yang menata dan menciptakan dirinya menjadi sosok mitologis dan seorang dari tiga pribadi dalam Trinitas adalah pembaca, karena ketika Anda membaca Walt Whitman maka engkau adalah Walt Whitman. Dia sudah sampai pada tahap itu, hanya dia yang satu-satunya begitu di bumi ini. Tentu saja Amerika melahirkan pengarang penting di dunia.
T: Bagaimana dengan Lorca?
B: Saya tidak terlalu suka Lorca. Saya tidak suka visual poetry. Semua karyanya visual, dia memainkan metafor-metafor khayalan. Tapi, tentu saja, dia sangat dihormati. Saya kenal dia secara pribadi. Dia tinggal setahun di New York. Dia tidak belajar satu kata pun Bahasa Inggris setelah setahun tinggal di sana. Aneh sekali. Saya pernah ketemu sekali di Buenes Aires. Lalu, saya kira dia sangat beruntung karena mati dieksekusi. Itulah kematian terbaik bagi seorang penyair, bukan? Kematian yang sangat impresif. Lalu Antonio Mucharo menggubah sebuah sajak yang sangat indah untuknya.
TANYA: Apakah menurut Anda kata-kata itu punya sejumlah pengaruh yang tak terlepaskan dari kata itu atau dari imaji yang dibawanya?
BORGES: Well ya, sebagai contoh, bila Anda menggubah sebuah soneta, maka, setidaknya dalam bahasa Spanyol, Anda harus menggunakan kata-kata tertentu. Hanya ada sedikit rima. Dan ini tentu saja boleh dipakai sebagai metafor, metafora tertentu, sebab kau harus melekatkan sesuatu pada kata-kata itu. Saya berani mengatakan - ini tentu saja pernyataan yang pukul rata - tapi mungkin kata "moon" dalam Bahasa Inggris akar katanya berbeda dengan kata "luna" dalam Bahasa Latin atau Bahasa Spanyol. Kata "moon" punya bunyi yang seakan tak hilang-hilang. "Moon" adalah kata yang indah. Dalam Bahasa Prancis kata itu juga indah: "lune". Tapi dalam Bahasa Inggris Kuno "moon" adalah "mona". Tak terlalu indah, karena terdiri dari dua suku kata. Dalam Bahasa Yunani lebih tidak indah: "celena". Tiga suku kata. Tapi sekali lagi kata "moon" adalah kata yang indah. Jadi kata-kata itu memberimu inspirasi. Kata-kata punya kehidupannya sendiri.
T: Kata-kata punya kehidupannya sendiri, itu artinya kata lebih penting daripada makna yang bisa ia berikan pada konteks tertentu?
B: Saya kira makna kata lebih kurang tidak relevan lagi. Apa yang penting, atau dua fakta penting yang harus saya katakan adalah emosi dan kata itu terbangkitkan dari emosi. Saya tidak berpendapat bahwa Anda bisa menulis tanpa emosi. Kalau kau paksa juga, hasilnya pasti artifisial, dibuat-buat. Saya tidak suka tulisan sejenis itu. Saya kira apabila ada sebuah puisi memang hebat, maka Anda harus berpikir puisi itu menuliskan dirinya sendiri dan bukan si penyair yang menuliskannya. Puisi harus lahir dengan mengalir lancar.
T: Bisakah seperangkat mitos-mitos digantikan dengan yang lain ketika ia berpindah dari satu penyair ke penyair lain dan tetap memberikan efek puitik yang sama?
B: Saya kira setiap penyair punya mitologinya sendiri. Mungkin dia tak peduli dengan itu. Orang bilang ke saya bahwa saya sudah membangun sebuah mitologi saya sendiri tendang macan-macan, pisau tajam, labirin, dan saya tak sadar dengan dengan kenyataan itu. Pembaca saya menemukan itu setiap kali membaca karya saya. Tapi saya kira, itulah tugas dari penyair. Ketika saya memikirkan Amerika, saya selalu terbayang apa yang dirumuskan oleh Walt Whitman. Kata Manhattan ditemukan untuk dia, bukan?
T: Imaji tentang Amerika yang hebat?
B: Well, ya. Pada saat yang sama, Walt Whitman sendiri adalah sebuah mitos. Mitos tentang seorang manusia yang menulis, manusia yang bernasib sangat buruk, dan dia juga membuat dirinya menjadi seorang pengembara. Saya mencatat Whitman mungkin satu-satunya penulis di bumi ini yang menata dan menciptakan dirinya menjadi sosok mitologis dan seorang dari tiga pribadi dalam Trinitas adalah pembaca, karena ketika Anda membaca Walt Whitman maka engkau adalah Walt Whitman. Dia sudah sampai pada tahap itu, hanya dia yang satu-satunya begitu di bumi ini. Tentu saja Amerika melahirkan pengarang penting di dunia.
T: Bagaimana dengan Lorca?
B: Saya tidak terlalu suka Lorca. Saya tidak suka visual poetry. Semua karyanya visual, dia memainkan metafor-metafor khayalan. Tapi, tentu saja, dia sangat dihormati. Saya kenal dia secara pribadi. Dia tinggal setahun di New York. Dia tidak belajar satu kata pun Bahasa Inggris setelah setahun tinggal di sana. Aneh sekali. Saya pernah ketemu sekali di Buenes Aires. Lalu, saya kira dia sangat beruntung karena mati dieksekusi. Itulah kematian terbaik bagi seorang penyair, bukan? Kematian yang sangat impresif. Lalu Antonio Mucharo menggubah sebuah sajak yang sangat indah untuknya.
Tuesday, December 21, 2004
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal P
pinaremas: sapu tangan pun kau lambaikan lekas-lekas,
     sapu tangan sehelai bersulam benang emas, aku tak
     sempat menduga, kenapa air mata membulir di sudut
     kerlingmu, begitu bernas.
pinda: aku hanya tahu, ada yang masih bisa diubahbaikkan,
     disuaibetulkan, tapi itu pun aku ragukan, tapi itu pun tak sempat
     aku katakan, digegas lambaimu yang berterusan.
pingai: pucat warna punya kita, teramat muda, kuning pun
     nyaris tak ada, hampir putih yang hanya. Aku mengharap
     kilauan itu menyemarakkan cahaya. Kilauan itu, sulam emas
     di sapu tangan yang makin lunglai kau lambaikan.
pongsu: aku tinggal sendirian, selalu akan begitu, bukan?
     busut anak bukit tak cukup punya ketinggian, aku berjingkit
     menjaga agar kau tetap dalam jangkauan pandangan,
     dalam rawatan kenangan.
     sapu tangan sehelai bersulam benang emas, aku tak
     sempat menduga, kenapa air mata membulir di sudut
     kerlingmu, begitu bernas.
pinda: aku hanya tahu, ada yang masih bisa diubahbaikkan,
     disuaibetulkan, tapi itu pun aku ragukan, tapi itu pun tak sempat
     aku katakan, digegas lambaimu yang berterusan.
pingai: pucat warna punya kita, teramat muda, kuning pun
     nyaris tak ada, hampir putih yang hanya. Aku mengharap
     kilauan itu menyemarakkan cahaya. Kilauan itu, sulam emas
     di sapu tangan yang makin lunglai kau lambaikan.
pongsu: aku tinggal sendirian, selalu akan begitu, bukan?
     busut anak bukit tak cukup punya ketinggian, aku berjingkit
     menjaga agar kau tetap dalam jangkauan pandangan,
     dalam rawatan kenangan.
Sunday, December 19, 2004
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal K (2)
kekam: hanya buih, hanya sampah. Mengambang.
Sia-sia meraih, tak guna menggapai. Hilang.
Pelihara saja perih. Hingga terkulai. Tinggal lengang.
keladak: hanya ampas, hanya endapan. Tertinggal.
Kau yang menyisih, mendekat ke batu di dasar itu.
"Adakah nanti yang datang melabuhkan kail?"
kelakanji: Di tepi sepi. Rumput daun jarum tak sendiri.
Capung hinggap sesekali, angin turun hembus lalu pergi.
Pesan rahasia itu pasti sudah dibisikkan ke ikan-ikan.
kelalang: seperti hendak mengabadikan sekilas kisah.
Ia menciduk air sepenuh labu tanah. Kisah buih,
kisah sampah, kisah perih, kisah resah. Kisah
capung yang sebentar singgah, juga bisik rahasia.
Kisah aku: pemancing senja kehabisan umpan.
Sia-sia meraih, tak guna menggapai. Hilang.
Pelihara saja perih. Hingga terkulai. Tinggal lengang.
keladak: hanya ampas, hanya endapan. Tertinggal.
Kau yang menyisih, mendekat ke batu di dasar itu.
"Adakah nanti yang datang melabuhkan kail?"
kelakanji: Di tepi sepi. Rumput daun jarum tak sendiri.
Capung hinggap sesekali, angin turun hembus lalu pergi.
Pesan rahasia itu pasti sudah dibisikkan ke ikan-ikan.
kelalang: seperti hendak mengabadikan sekilas kisah.
Ia menciduk air sepenuh labu tanah. Kisah buih,
kisah sampah, kisah perih, kisah resah. Kisah
capung yang sebentar singgah, juga bisik rahasia.
Kisah aku: pemancing senja kehabisan umpan.
Tuesday, December 14, 2004
300 Halaman Kesaksian Kosong
: Harry Roesli
"Ajari aku main gitar. Gitar tanpa senar..."
Aku tak pernah bisa main gitar. Aku selalu kagum
kepada siapa saja yang pandai memadukan
kelihaian tangan: yang kanan memetik senar, yang
kiri memencet ruang bar, lalu mengalun suara yang
bukan sekedar gencreng-gencreng, bukan hingar-bingar.
Aku ini sebenarnya cuma gelandangan. Maka, karena aku
tahu kau orang yang tidak pernah mencumakan anak-anak
yang dilahirkan dan hidup di jalanan, kepadamu aku minta
diajari main gitar. Gitar tanpa senar. Aku mau menyanyi,
lagu Garuda Pancasila, dan negeri yang belum maju-maju.
"Ajari aku main teater. Teater tanpa skenario..."
Aku percaya pada kejujuran lakonanmu. Sementara,
begitu sempurna sandiwara dimainkan di negeri ini.
Aku percaya pada niat tulus pertunjukanmu. Meskipun,
begitu banyak sutradara gadungan yang tak pernah
berhenti curiga dan menakut-nakuti kami para penontonmu.
Aku sabar menunggu pelajaran di depan kelas panggungmu. Walau, banyak guru palsu yang merasa paling pintar
membodohi kami murid-murid negeri sakit ini.
"Ajari aku menulis kesaksian. 300 halaman tanpa tulisan..."
Agar aku kelak bisa mengisi halaman-halaman kosong itu.
Sehalaman pun jadi, sehuruf pun semoga ia berarti.
"Ajari aku main gitar. Gitar tanpa senar..."
Aku tak pernah bisa main gitar. Aku selalu kagum
kepada siapa saja yang pandai memadukan
kelihaian tangan: yang kanan memetik senar, yang
kiri memencet ruang bar, lalu mengalun suara yang
bukan sekedar gencreng-gencreng, bukan hingar-bingar.
Aku ini sebenarnya cuma gelandangan. Maka, karena aku
tahu kau orang yang tidak pernah mencumakan anak-anak
yang dilahirkan dan hidup di jalanan, kepadamu aku minta
diajari main gitar. Gitar tanpa senar. Aku mau menyanyi,
lagu Garuda Pancasila, dan negeri yang belum maju-maju.
"Ajari aku main teater. Teater tanpa skenario..."
Aku percaya pada kejujuran lakonanmu. Sementara,
begitu sempurna sandiwara dimainkan di negeri ini.
Aku percaya pada niat tulus pertunjukanmu. Meskipun,
begitu banyak sutradara gadungan yang tak pernah
berhenti curiga dan menakut-nakuti kami para penontonmu.
Aku sabar menunggu pelajaran di depan kelas panggungmu. Walau, banyak guru palsu yang merasa paling pintar
membodohi kami murid-murid negeri sakit ini.
"Ajari aku menulis kesaksian. 300 halaman tanpa tulisan..."
Agar aku kelak bisa mengisi halaman-halaman kosong itu.
Sehalaman pun jadi, sehuruf pun semoga ia berarti.
Monday, December 13, 2004
[Ruang Renung # 102] Menulis Puisi Setiap Pagi
KAPANKAH kita menulis puisi? Setiap harikah kita menulis puisi? Sudah berapa lama kita menulis puisi? Saya jadi bertanya setelah membaca kabar tentang penyair Amerika Ted Kooser. Sejak tanggal 12 Agustus 2004 lalu, ia menjadi Poet Laureate atau Penyair Resmi Amerika. Dia orang yang ketiga belas yang menerima kehormatan itu.
Ted Kooser lahir di Ames, Iowa, 1939. Ia bekerja di perusahaan asuransi sambil kuliah dan mendapat gelar BS di Iowa State University tahun 1962 sampai mendapat gelar master seni tahun 1968 dari University Nebraska. Dia tetap bekerja di perusahaan asuransi itu. Dan ia terus menekuni puisi. Ia menulis puisi setiap pagi, sebelum berangkat kerja. Dari pukul 04.00 hingga 05.30 Seperti ritual hidup.
Sajak-sajaknya terbit di The Atlantic Monthly, Poetry, The Hudson Review, The Kenyon Review, Antioch Review, Prairie Schooner, Shenandoah, dan sejumlah media lain. Memangnya, berapa banyak sih media semacam itu di Amerika, ya?
Sajak-sajaknya juga terbit rutin dalam buku teks resmi dan antologi yang digunakan resmi di sekolah menengah dan universtas. Yang begini ini, rasanya tak pernah saya dengar ada di Indonesia.
Ted Kooser kini seorang profesor dan ketika peniun terakhir kali dia menjabat Vice President Lincoln Benefit Life Insurance Company di Nebraska. Kini setelah tegar menapaki jalan puisi, ia sudah membukukan sajak-sajaknya sepuluh judul.
Walking to Work
Today, it's the obsidian
ice on the sidewalk
with its milk white bubbles
popping under my shoes
that pleases me, and upon it
a lump of old snow
with a trail like a comet,
that somebody,
probably falling in love,
has kicked
all the way to the corner.
Ted Kooser lahir di Ames, Iowa, 1939. Ia bekerja di perusahaan asuransi sambil kuliah dan mendapat gelar BS di Iowa State University tahun 1962 sampai mendapat gelar master seni tahun 1968 dari University Nebraska. Dia tetap bekerja di perusahaan asuransi itu. Dan ia terus menekuni puisi. Ia menulis puisi setiap pagi, sebelum berangkat kerja. Dari pukul 04.00 hingga 05.30 Seperti ritual hidup.
Sajak-sajaknya terbit di The Atlantic Monthly, Poetry, The Hudson Review, The Kenyon Review, Antioch Review, Prairie Schooner, Shenandoah, dan sejumlah media lain. Memangnya, berapa banyak sih media semacam itu di Amerika, ya?
Sajak-sajaknya juga terbit rutin dalam buku teks resmi dan antologi yang digunakan resmi di sekolah menengah dan universtas. Yang begini ini, rasanya tak pernah saya dengar ada di Indonesia.
Ted Kooser kini seorang profesor dan ketika peniun terakhir kali dia menjabat Vice President Lincoln Benefit Life Insurance Company di Nebraska. Kini setelah tegar menapaki jalan puisi, ia sudah membukukan sajak-sajaknya sepuluh judul.
Walking to Work
Today, it's the obsidian
ice on the sidewalk
with its milk white bubbles
popping under my shoes
that pleases me, and upon it
a lump of old snow
with a trail like a comet,
that somebody,
probably falling in love,
has kicked
all the way to the corner.
Indonesia, Hingga Desember 2004
karena kita masih suka pura-pura bersyukur,
maka Tuhan pun tetap saja: pura-pura marah!
maka Tuhan pun tetap saja: pura-pura marah!
Wednesday, December 8, 2004
Monday, December 6, 2004
Haiku: Hakikat Embun Menitis
menuju diam
gelap menyentak kelam,
"Selamat malam!"
rahasia malam
menyembunyikan embun
direbut rumput
rahasia embun
mengendap-endap jatuh
aku tersentuh
embun menitis
menggemetarkan huruf
rumput bersajak
serumpun mawar
jatuh embun di daun
hakikat haiku
sejuk terucap
hingga bisik terakhir
aku menunggu
gelap menyentak kelam,
"Selamat malam!"
rahasia malam
menyembunyikan embun
direbut rumput
rahasia embun
mengendap-endap jatuh
aku tersentuh
embun menitis
menggemetarkan huruf
rumput bersajak
serumpun mawar
jatuh embun di daun
hakikat haiku
sejuk terucap
hingga bisik terakhir
aku menunggu
Re: Mawar Merah
: Shenail
apabila engkau terjatuh dalam cinta
berarti sudah terlalu jauh dusta
sebab kelopakku kelak layu lalu luruh jua
padahal tak pernah jatuh duriku
: tajam menyimpan seluruh lukamu
apabila engkau terjatuh dalam cinta
berarti sudah terlalu jauh dusta
sebab kelopakku kelak layu lalu luruh jua
padahal tak pernah jatuh duriku
: tajam menyimpan seluruh lukamu
Saturday, December 4, 2004
[Kata Penyair] Sajak Datang dan Pergi
MENJADI penyair, ah saya merasa tidak nyaman kalau menyebut diri sendiri sebagai penyair, karena itu lebih sebagai keinginanmu untuk menjadi. Saya kira menjadi penyair berbeda dengan menjadi penulis. Ada sesuatu yang khusus. Saya tak tahu darimana datangnya saja-sajak itu. Saya tak tahu kenapa puisi itu datang dan pergi. Sungguh, saya lebih suka menduga bahwa saya ini penerima saja, menunggu saja. Seperti sel telur menunggu pembuahan, sejauh saya bisa menyiagakan diri. Tapi kalau saya harus bicara apakah menulis puisi itu kini menjadi rutinitas buat saya, maka jawaban saya adalah saya sudah tidak menulis apa-apa selama 8 tahun, lalu sekarang saya menulis tiga sajak per hari. Tidak ada yang rutin di situ kan? Ya, begitulah yang terjadi.
* Michael Longley, penyair Irlandia kelahiran Belfast 27 Juli 1939.
* Michael Longley, penyair Irlandia kelahiran Belfast 27 Juli 1939.
Duri Seratus Hari
kami
sedang
kenduri
menzikirkan
angka-angka
hitungan
dimundurkan
100
99
98
97
96
95
94
93
92
91
...
...
...
...
...
5
4
3
2
1
0
-1
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8
-9
dst.
kami
sedang
kenduri
siapa
menghentikan
ritual
berhitung
ini?
Tuesday, November 30, 2004
[Ruang Renung # 101] Sajak Jenaka, Clerihew Namanya
DI Inggris berkembang sejenis sajak jenaka yang mengaitngaitkan nama tokoh popular. Nama sajak itu "clerihew" merujuk ke Edmund Clerihew Bentley yang sang penemu dan banyak menggubah bentuk sajak tersebut. Bentuknya empat baris, berirama aabb. Isinya nyaris seperti plesetan, olok-olok, bahkan kadang seperti ejekan bagi orang-orang yang namanya terkenal. Efek jenaka timbul dari sudut pandang yang unik atas apa yang secara umum diketahui tentang tokoh terkenal yang disajakkkan.
Sir Karl Popper
Perpetrated a whopper
When he boasted to the world that he and he alone
Had toppled Rudolf Carnap from his Vienna Circle throne.
[clerihew oleh Armand T. Ringer]
Contoh lain:
John Stuart Mill,
By a mighty effort of will,
Overcame his natural bonhomie
And wrote 'Principles of Political Economy'.
Kadang bentuk sajak ini juga mengambil tema lain, tak melibatkan nama orang mahsyur tapi tetap jenaka. Contoh dari Bentley:
The art of Biography
Is different from Geography,
Geography is about maps,
But Biography is about chaps.
Sir Karl Popper
Perpetrated a whopper
When he boasted to the world that he and he alone
Had toppled Rudolf Carnap from his Vienna Circle throne.
[clerihew oleh Armand T. Ringer]
Contoh lain:
John Stuart Mill,
By a mighty effort of will,
Overcame his natural bonhomie
And wrote 'Principles of Political Economy'.
Kadang bentuk sajak ini juga mengambil tema lain, tak melibatkan nama orang mahsyur tapi tetap jenaka. Contoh dari Bentley:
The art of Biography
Is different from Geography,
Geography is about maps,
But Biography is about chaps.
Monday, November 29, 2004
[Ruang Renung # 100] Melisankan Puisi Sendiri
HARUSKAH seorang penyair punya "keterampilan" melisankan puisi sendiri? Tadinya saya berpikir tidak harus. Tadinya saya berpikir, "saya tidak berdosa apabila saya tidak pandai membacakan atau melisankan puisi saya sendiri di depan orang lain." Tadinya saya punya alasan kuat, alasan yang saya kutip dari penyair lain, "buat apa saya menuliskan puisi, kalau kemudian saya harus membacakannya untuk orang lain? Mereka kan bisa membaca sendiri?"
Tadinya saya takut, kalau saya berpikir puisi saya kelak dislisankan, maka ketika menulis puisi saya jadi terlalu mematut-matutkan kata untuk tujuan itu. Tadinya saya khawatir wilayah eksplorasi saya menjadi sempit kalau saya hanya membuat puisi untuk ditampilkan. Tadinya begitu.
Tapi sekarang saya punya pikiran lain. Potensi puisi untuk dilisankan menarik juga untuk dijelajahi. Tardji, Rendra, Taufik Ismail adalah mereka yang melaju di jalur itu. Jadi, tak ada bedanya menulislah puisi sebaik-baiknya, apakah untuk dibaca sambil tiduran di kamar, ataukah untuk dilisankan di panggung-panggung pertunjukan.
Tadinya saya takut, kalau saya berpikir puisi saya kelak dislisankan, maka ketika menulis puisi saya jadi terlalu mematut-matutkan kata untuk tujuan itu. Tadinya saya khawatir wilayah eksplorasi saya menjadi sempit kalau saya hanya membuat puisi untuk ditampilkan. Tadinya begitu.
Tapi sekarang saya punya pikiran lain. Potensi puisi untuk dilisankan menarik juga untuk dijelajahi. Tardji, Rendra, Taufik Ismail adalah mereka yang melaju di jalur itu. Jadi, tak ada bedanya menulislah puisi sebaik-baiknya, apakah untuk dibaca sambil tiduran di kamar, ataukah untuk dilisankan di panggung-panggung pertunjukan.
Sunday, November 28, 2004
Aku Bertepuk Tangan
: nizar dan peppy
ada perempuan tubuhnya tarian
ada lelaki hembus nafasnya puisi
di panggung mereka saling menerjemahkan
lahir cahaya: tiga bidadari, dan
entah berapa banyak pukau penafsiran.
di kursi penonton aku berdiri
bertepuk tangan tak ingin berhenti
ada perempuan tubuhnya tarian
ada lelaki hembus nafasnya puisi
di panggung mereka saling menerjemahkan
lahir cahaya: tiga bidadari, dan
entah berapa banyak pukau penafsiran.
di kursi penonton aku berdiri
bertepuk tangan tak ingin berhenti
Friday, November 26, 2004
Sausalito, Singapura
dan Bintan Art Festival
Hasan Aspahani
Ketua I Dewan Kesenian
Kepulauan Riau
SAUSALITO, sebuah kota kecil di negara bagian California, Amerika Serikat bertukar rupa setiap jatuh perayaan Hari Buruh. Seniman dan penikmat seni beradu daya cipta di sana. Kreasi seni dan kerajinan kelas dunia dipamerkan. Perayaan seni bertajuk Sausalito Art Festival yang digelar sejak 1952 itupun telah dikunjungi lebih dari satu juta pengunjung.
Sausalito pun berkembang menjadi kota seni internasional yang mahsyur. Kota yang terletak di utara Jembatan Golden Gate itu terletak di Teluk San Francisco. Pada lansekap kota yang menghala laut berjajar galeri dan kedai seni bersejarah. Kolektor pun berdatangan ke sana.
Membayangkan keindahan kota itu Saya teringat sajak Taufik Ismail “Trem Berkelenengan di Kota San Francisco” …. Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis.
Kesana pula para seniman terbaik Amerika dan dari berbagai belahan dunia membuktikan kepiawaian. Setiap kali festival digelar maka lebih dari 20 ribu karya seni orisinal serta merta meriuhkan kota itu. Festival ini benar-benar sebuah perayaan seni. Dari seni lukis, seni patung, keramik, perhiasan, seni fiber, kristal, cukil kayu, media campuran hingga fotografi.
Dari seni yang fungsional hingga yang surealis. Dari seni yang praktis hingga yang dekoratif. Itulah yang diburu para kolektor yang gila seni dan tahu nilai seni. Jangan harap akan menemukan benda serupa di festival lain. Jangan harap pula seniman yang meramaikan festival itu membuat karya serupa. Kurasi pameran ini tampaknya berstandar ketat.
Sausalito Art Festival menjadi kian unik karena saat itu seniman membuka diri bagi penikmatnya. Ini kesempatan interaksi yang langka. Tak cukup itu sepanjang festival berlangsung ada hiburan yang tak putus digelar di tiga panggung besar plus hidangan paling nikmat dengan sampanye dan anggur pilihan.
Itulah sekilas gambaran tentang Bintan eh maksud saya Sausalito Art Festival (SAF). Menyanding dan menanding Bintan Art Festival (BAF) dengan SAF memang bukan pekerjaan pantas. BAF tahun ini baru yang keempat kali digelar. Sedangkan SAF sudah 52 kali dilaksanakan.
Saya belum pernah berkunjung ke SAF itu. Tapi lihatlah bagaimana mereka mempersiapkan. Untuk acara yang kelak digelar bulan September tahun depan, sudah diluncurkan sebuah situs resmi lengkap dengan jadwal dan siapa saja yang tampil. Sangat terencana, teramat tertata.
***
Tapi biarkanlah saya bermimpi, entah pada pelaksanaan BAF yang keberapa nanti Bintan pun bermandikan cahaya. Beberapa hari, Bintan seperti mandi cahaya. Beberapa hari seni benar-benar dirayakan. Seniman terpilih dengan karya terbaik berbondong-bondong datang. Kolektor seni nasional dan mancanegara merasa tak sah menyebut diri sebagai kolektor jika tak setor batang hidung.
Buku-buku sastra diterbitkan. Puisi-puisi terbaik dibacakan sang penyair. Ada workshop dengan diskusi yang antusias. Ada transaksi jual beli benda-benda seni yang menyumbangkan besar pada penghasilan daerah. Tari-tari gubahan baru digelar. Seni-seni tradisional dibangkitkan, diberi pemaknaan baru, disegarkan lagi.
Biarkan saya terus bermimpi. Penerbangan ke Provinsi Kepri jadi begitu sibuk. Hotel-hotel penuh pengunjung. Angkutan laut pun jadi seperti kekurangan trip keberangkatan. Seperti SAF yang digelar tiap liburan Hari Buruh, BAF pun ditetapkan sebagai "hari libur". Mungkinkah mimpi ini terwujud? Mari kita jawab bersama: kenapa tidak!
Atau biarkan saya bermimpi. Saya ingatkan sebait sajak “Di Tangan Anak-anak” karya Sapardi Djoko Damono, “Tuan jangan kau ganggu permainanku ini.”
***
Sementara itu berita ini bukan lagi mimpi. Negeri jiran terdekat kita Singapura pada bulan Februari hingga April tahun depan menggelar festival seni juga.
Bukan di Singapura tapi di Inggris. Festival itu diberi tajuk "Singapore Season". Apa yang ditampilkan kurang lebih sama, yakni musik, teater dan tari. Singapura berharap pelancongan ke negeri mereka bisa digenjot dengan festival itu. Dan bila sukses, sudah pula dicadangkan acara serupa digelar di India dan Cina.
Tapi ini bukan kerja seketika. Sepuluh tahun terakhir, Singapura sudah menginvestasi dana setara Rp5 triliun lebih khusus untuk membina kemajuan seni di negeri mereka. Pencapaian selama pembinaan sepuluh tahun itulah yang hendak ditampilkan dalam festival di seberang lautan itu. Saya ingat ada gadis muda melintas bergegas di depan sebuah hotel di singapura dengan menenteng biola. Mungkin dia ikut tampil dalam festival itu.
Saya tak berani bermimpi, hanya mencoba menghitung-hitung. Dengan dana sejumlah Rp5 triliun itu berarti per tahun teranggarkan dana Rp500 miliar. Atau Rp41 miliar lebih per bulan. Atau Rp1.4 miliar per hari! Saya tak berani bermimpi karena anggaran BAF tahun ini hanya Rp115 juta.***
dan Bintan Art Festival
Hasan Aspahani
Ketua I Dewan Kesenian
Kepulauan Riau
SAUSALITO, sebuah kota kecil di negara bagian California, Amerika Serikat bertukar rupa setiap jatuh perayaan Hari Buruh. Seniman dan penikmat seni beradu daya cipta di sana. Kreasi seni dan kerajinan kelas dunia dipamerkan. Perayaan seni bertajuk Sausalito Art Festival yang digelar sejak 1952 itupun telah dikunjungi lebih dari satu juta pengunjung.
Sausalito pun berkembang menjadi kota seni internasional yang mahsyur. Kota yang terletak di utara Jembatan Golden Gate itu terletak di Teluk San Francisco. Pada lansekap kota yang menghala laut berjajar galeri dan kedai seni bersejarah. Kolektor pun berdatangan ke sana.
Membayangkan keindahan kota itu Saya teringat sajak Taufik Ismail “Trem Berkelenengan di Kota San Francisco” …. Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis.
Kesana pula para seniman terbaik Amerika dan dari berbagai belahan dunia membuktikan kepiawaian. Setiap kali festival digelar maka lebih dari 20 ribu karya seni orisinal serta merta meriuhkan kota itu. Festival ini benar-benar sebuah perayaan seni. Dari seni lukis, seni patung, keramik, perhiasan, seni fiber, kristal, cukil kayu, media campuran hingga fotografi.
Dari seni yang fungsional hingga yang surealis. Dari seni yang praktis hingga yang dekoratif. Itulah yang diburu para kolektor yang gila seni dan tahu nilai seni. Jangan harap akan menemukan benda serupa di festival lain. Jangan harap pula seniman yang meramaikan festival itu membuat karya serupa. Kurasi pameran ini tampaknya berstandar ketat.
Sausalito Art Festival menjadi kian unik karena saat itu seniman membuka diri bagi penikmatnya. Ini kesempatan interaksi yang langka. Tak cukup itu sepanjang festival berlangsung ada hiburan yang tak putus digelar di tiga panggung besar plus hidangan paling nikmat dengan sampanye dan anggur pilihan.
Itulah sekilas gambaran tentang Bintan eh maksud saya Sausalito Art Festival (SAF). Menyanding dan menanding Bintan Art Festival (BAF) dengan SAF memang bukan pekerjaan pantas. BAF tahun ini baru yang keempat kali digelar. Sedangkan SAF sudah 52 kali dilaksanakan.
Saya belum pernah berkunjung ke SAF itu. Tapi lihatlah bagaimana mereka mempersiapkan. Untuk acara yang kelak digelar bulan September tahun depan, sudah diluncurkan sebuah situs resmi lengkap dengan jadwal dan siapa saja yang tampil. Sangat terencana, teramat tertata.
***
Tapi biarkanlah saya bermimpi, entah pada pelaksanaan BAF yang keberapa nanti Bintan pun bermandikan cahaya. Beberapa hari, Bintan seperti mandi cahaya. Beberapa hari seni benar-benar dirayakan. Seniman terpilih dengan karya terbaik berbondong-bondong datang. Kolektor seni nasional dan mancanegara merasa tak sah menyebut diri sebagai kolektor jika tak setor batang hidung.
Buku-buku sastra diterbitkan. Puisi-puisi terbaik dibacakan sang penyair. Ada workshop dengan diskusi yang antusias. Ada transaksi jual beli benda-benda seni yang menyumbangkan besar pada penghasilan daerah. Tari-tari gubahan baru digelar. Seni-seni tradisional dibangkitkan, diberi pemaknaan baru, disegarkan lagi.
Biarkan saya terus bermimpi. Penerbangan ke Provinsi Kepri jadi begitu sibuk. Hotel-hotel penuh pengunjung. Angkutan laut pun jadi seperti kekurangan trip keberangkatan. Seperti SAF yang digelar tiap liburan Hari Buruh, BAF pun ditetapkan sebagai "hari libur". Mungkinkah mimpi ini terwujud? Mari kita jawab bersama: kenapa tidak!
Atau biarkan saya bermimpi. Saya ingatkan sebait sajak “Di Tangan Anak-anak” karya Sapardi Djoko Damono, “Tuan jangan kau ganggu permainanku ini.”
***
Sementara itu berita ini bukan lagi mimpi. Negeri jiran terdekat kita Singapura pada bulan Februari hingga April tahun depan menggelar festival seni juga.
Bukan di Singapura tapi di Inggris. Festival itu diberi tajuk "Singapore Season". Apa yang ditampilkan kurang lebih sama, yakni musik, teater dan tari. Singapura berharap pelancongan ke negeri mereka bisa digenjot dengan festival itu. Dan bila sukses, sudah pula dicadangkan acara serupa digelar di India dan Cina.
Tapi ini bukan kerja seketika. Sepuluh tahun terakhir, Singapura sudah menginvestasi dana setara Rp5 triliun lebih khusus untuk membina kemajuan seni di negeri mereka. Pencapaian selama pembinaan sepuluh tahun itulah yang hendak ditampilkan dalam festival di seberang lautan itu. Saya ingat ada gadis muda melintas bergegas di depan sebuah hotel di singapura dengan menenteng biola. Mungkin dia ikut tampil dalam festival itu.
Saya tak berani bermimpi, hanya mencoba menghitung-hitung. Dengan dana sejumlah Rp5 triliun itu berarti per tahun teranggarkan dana Rp500 miliar. Atau Rp41 miliar lebih per bulan. Atau Rp1.4 miliar per hari! Saya tak berani bermimpi karena anggaran BAF tahun ini hanya Rp115 juta.***
Sunday, November 21, 2004
Sehalaman Komik Hitam
hingga setengah pertunjukan, kita masih
memainkan adegan tanpa perbincangan.
di balon percakapanmu kau mengatur
sejumlah konsonan. Seperti tak faham,
aku telah lama tak tahu apa mau dikatakan.
lalu halaman cuma hitam. Cahaya karam.
kau tahu, tak? Ada yang terkekeh Membaca,
kita yang terjebak adegan. Tanpa perbincangan.
memainkan adegan tanpa perbincangan.
di balon percakapanmu kau mengatur
sejumlah konsonan. Seperti tak faham,
aku telah lama tak tahu apa mau dikatakan.
lalu halaman cuma hitam. Cahaya karam.
kau tahu, tak? Ada yang terkekeh Membaca,
kita yang terjebak adegan. Tanpa perbincangan.
[Ruang Renung] Ikuti Kemana Kata Menyeretmu
TANYA: Dalam Buku "In Wonderful Words, Silent Truth" Anda sebutkan, ketika mencoba menghadirkan kembali sebuah momentum di atas kertas, bahasa mengambil alih dan saat itu juga kata-kata punya daya pikir sendiri. Bisakah Anda jelaskan bagaimanakah bahasa menjadi sang pengendali dan penyair hanya penerima bahasa?
JAWAB: Ketika kau mulai meletakkan kata-kata di atas halaman-halaman kertas, ada proses asosiatif yang mengambil alih. Dan, semuanya terjadi tiba-tiba, ada banyak kejutan di sana. Ya, segalanya terjadi tiba-tiba, kau jadi ngomong sendiri, "My God, bagaimana ini bisa terlintas di kepalamu? Kenapa ini bisa ada di halaman kertas ini?" Saya begitu girang ketika ini terjadi. Dan saya tak menentang proses itu; Saya hanya mengikuti kemana saya dibawa.
Saya ada contoh. Saya punya sajak yang saya tulis hari ini. SI Tukang Omong dalam sajak itu berjalan-jalan tengah malam di lorong-lorong Manhattan. Jalanan gelap. Nyaris seperti hasrat untuk menyerempet bahaya, ketakutan dalam situasi gelap. Dia menelusuri gang-gang sepi di Manhattan saat itu malam musim dingin. Ketika saya mulai menulis sajak itu, saya memang punya beberapa gagasan apa yang kelak ditemui si tokoh tadi sepanjang perjalanannya. Saya lihat dia lewat di Broadway dan pergi ke Canal Street. Tapi, ketika saya mengerjakan sajak itu, tiba-tiba saja seluruh proses penulisan sajak itu diambil alih oleh kejutan-kejutan. Maksud saya, si tokoh tadi tiba-tiba melewati persimpangan-persimpangan yang tak terduga. Pemandangan yang mengejutkan bertubi-tubi datang dalam pikiran saya. Lalu kata-kata di halaman itu seperti bercumbu; mereka saling memikat satu sama lain.
Tulisan tangan saya juga jelek banget, lho. Kadang-kadang saya salah membaca apa yang telah saya tulis, tapi saya jadi seperti menemukan kata lain. "Oh, inikah yang saya tulis tadi?", lalu saya bilang, "Bukan, bukan itu," tapi yang lain pun datang lagi. Akhirnya, hasilnya sajak itu jadi lebih menarik. Beginilah bagaimana proses penulisan sajak itu terjadi. Ini petualangan yang sesungguhnya, kemana dia menyeretmu, lalu apa yang kelak terjadi.
JAWAB: Ketika kau mulai meletakkan kata-kata di atas halaman-halaman kertas, ada proses asosiatif yang mengambil alih. Dan, semuanya terjadi tiba-tiba, ada banyak kejutan di sana. Ya, segalanya terjadi tiba-tiba, kau jadi ngomong sendiri, "My God, bagaimana ini bisa terlintas di kepalamu? Kenapa ini bisa ada di halaman kertas ini?" Saya begitu girang ketika ini terjadi. Dan saya tak menentang proses itu; Saya hanya mengikuti kemana saya dibawa.
Saya ada contoh. Saya punya sajak yang saya tulis hari ini. SI Tukang Omong dalam sajak itu berjalan-jalan tengah malam di lorong-lorong Manhattan. Jalanan gelap. Nyaris seperti hasrat untuk menyerempet bahaya, ketakutan dalam situasi gelap. Dia menelusuri gang-gang sepi di Manhattan saat itu malam musim dingin. Ketika saya mulai menulis sajak itu, saya memang punya beberapa gagasan apa yang kelak ditemui si tokoh tadi sepanjang perjalanannya. Saya lihat dia lewat di Broadway dan pergi ke Canal Street. Tapi, ketika saya mengerjakan sajak itu, tiba-tiba saja seluruh proses penulisan sajak itu diambil alih oleh kejutan-kejutan. Maksud saya, si tokoh tadi tiba-tiba melewati persimpangan-persimpangan yang tak terduga. Pemandangan yang mengejutkan bertubi-tubi datang dalam pikiran saya. Lalu kata-kata di halaman itu seperti bercumbu; mereka saling memikat satu sama lain.
Tulisan tangan saya juga jelek banget, lho. Kadang-kadang saya salah membaca apa yang telah saya tulis, tapi saya jadi seperti menemukan kata lain. "Oh, inikah yang saya tulis tadi?", lalu saya bilang, "Bukan, bukan itu," tapi yang lain pun datang lagi. Akhirnya, hasilnya sajak itu jadi lebih menarik. Beginilah bagaimana proses penulisan sajak itu terjadi. Ini petualangan yang sesungguhnya, kemana dia menyeretmu, lalu apa yang kelak terjadi.
[Sang Penyair] Charles Simic, dari Belgrade Menaklukkan Amerika
CHARLES Simic lahir di Belgrade, Yugoslavia, 9 Mei 1938. Pada tahun 1953 dia meninggalkan negeri kelahirannya itu bersama ibu dan saudara lelakinya menyusul ayahnya yang lebih dahulu bermigrasi ke Amerika Serikat. Hingga tahun 1958 keluarga itu tinggal di beberapa tempat di Chicago. Tahun 1959 puisi pertamanya dipublikasikan, saat itu usianya 21 tahun. Tahun 1961 dia mengikuti wajib militer, dan tahun 1966 dia meraih gelar sarjana muda dari New York University.
BUKU puisi pertamanya yang terbit adalah WHAT THE GRASS SAYS. Sejak saat itu hingga kini tak kurang dari 60 bukunya terbit di Amerika dan di negeri lain. Di antaranya JACKSTRAWS (Harcourt Brace, 1999), yang mendapat penghargaan dari New York Times sebagai The Notable Book of The Years; WALKING THE BLACK CAT (Harcourt Brace, 1996) yang menjadi finalis National Book Award untuk buku puisi; A WEDDING IN HELL (1994); HOTEL INSOMNIA (1992); THE WORLD DOES'NT END: PROSE POEMS (1990) yang membawakan hadiah Pulitzer Puisi baginya; SELECTED POEMS (1963-1983 (1990); dan UNENDING BLUES (1986).
SIMIC juga menerbitkan sejumlah buku puisi terjemahan dari pengarah Prancis, Serbia, Kroasia, Macedonia, dan Slovenia, serta empat buku esai antara lain WONDERFUL WORDS, SILENT TRUTH dan ORPHAN FACTORY (University of Michigan Press, 1998). Dia juga menjadi editor tamu pada ajang THE BEST AMERICAN POETRY 1992. Dia juga dipilih menjadi Konselor di Academy of American Poet 2000.
DIA sendiri meraih sejumlah penghargaan seperti beasiswa dari Guggenheim Fondation, MacArthur Fondation, dan dari National Endowment for The Arts. Sejak tahun 1973 dia tinggal di New Hampshire, setelah menjadi Profesor Bahasa Inggris di University of New Hampshire.
BUKU puisi pertamanya yang terbit adalah WHAT THE GRASS SAYS. Sejak saat itu hingga kini tak kurang dari 60 bukunya terbit di Amerika dan di negeri lain. Di antaranya JACKSTRAWS (Harcourt Brace, 1999), yang mendapat penghargaan dari New York Times sebagai The Notable Book of The Years; WALKING THE BLACK CAT (Harcourt Brace, 1996) yang menjadi finalis National Book Award untuk buku puisi; A WEDDING IN HELL (1994); HOTEL INSOMNIA (1992); THE WORLD DOES'NT END: PROSE POEMS (1990) yang membawakan hadiah Pulitzer Puisi baginya; SELECTED POEMS (1963-1983 (1990); dan UNENDING BLUES (1986).
SIMIC juga menerbitkan sejumlah buku puisi terjemahan dari pengarah Prancis, Serbia, Kroasia, Macedonia, dan Slovenia, serta empat buku esai antara lain WONDERFUL WORDS, SILENT TRUTH dan ORPHAN FACTORY (University of Michigan Press, 1998). Dia juga menjadi editor tamu pada ajang THE BEST AMERICAN POETRY 1992. Dia juga dipilih menjadi Konselor di Academy of American Poet 2000.
DIA sendiri meraih sejumlah penghargaan seperti beasiswa dari Guggenheim Fondation, MacArthur Fondation, dan dari National Endowment for The Arts. Sejak tahun 1973 dia tinggal di New Hampshire, setelah menjadi Profesor Bahasa Inggris di University of New Hampshire.
Saturday, November 20, 2004
Dari Bumi, Dari Angkasa
Tak ada lagi datang para petani, padahal ini musim
paling tepat menyemai bijih benih. Peladang hati.
Darah selesai diolah: hitam yang subur. Seperti
dipersiapkan untuk sebuah pesta: ritual tandur.
Hanya lelaki, seperti bangkit dari bumi. Menabuh tambur.
Seakan maklumat: bangkitlah, tinggalkan liang kubur.
Dan wanita itu, datang dari angkasa. Menghela gerobak:
penuh tulang tubuh sendiri. "Tuhan belum mati....
Belum mati," kabar baik itu ia kasidahkan. Sebuah nyanyi.
Tinggi. Di balik langit yang lain. Ada yang tetap. Sendiri.
paling tepat menyemai bijih benih. Peladang hati.
Darah selesai diolah: hitam yang subur. Seperti
dipersiapkan untuk sebuah pesta: ritual tandur.
Hanya lelaki, seperti bangkit dari bumi. Menabuh tambur.
Seakan maklumat: bangkitlah, tinggalkan liang kubur.
Dan wanita itu, datang dari angkasa. Menghela gerobak:
penuh tulang tubuh sendiri. "Tuhan belum mati....
Belum mati," kabar baik itu ia kasidahkan. Sebuah nyanyi.
Tinggi. Di balik langit yang lain. Ada yang tetap. Sendiri.
Dongeng Tukang Jahit Selimut
/1/
"Jika ingin mengerti rahasia malam,
jadilah tukang jahit selimut," katanya.
"Jika ingin memahami hakikat dingin,
jadilah tukang jahit selimut," katanya.
/2/
Lelaki itu hidup sendiri. Hanya sendiri.
Terlebih sendiri bila alam sudah berselimut malam.
"Tuhan itu Maha Penjahit. Selimut
malamnya, sedikit pun tak pernah
kusam, sedikit pun tak pernah koyak,"
katanya menyebutkan kearifan yang ia hayati,
setelah bertahun-tahun menjahitkan
beratus-ratus selimut pesanan.
"Tapi siapa yang memesan malam,
Wahai Lelaki Penjahit Selimut?"
dia suka bertanya begitu, ketika
sesekali waktu, sesuatu malam dia
tak bisa memejamkan mata tuanya.
/3/
Lewat selimut dia menghayati apa maunya Tuhan.
"Pak Penjahit Tua. Tolong buatkan selimut untuk
bayi kami, yang sebentar lagi lahir dari rahim
istri saya. Selimut paling istimewa, bersulam
nama kami dan nama yang hendak kami beri
untuknya," ujar seorang lelaki muda yang datang
bersama istrinya yang tengah hamil tua.
Selimut itu akhirnya tak pernah dijemput si
pemesan. Meski ongkos bikinnya sudah
dilunaskan. Konon, anak yang namanya
tersulam di selimut itu, tak pernah sempat
dilahirkan. Hangatnya kematian memeluknya
erat tak terlepaskan. Selimut yang sudah
disiapkan, tak pernah sampai ia perlukan.
/4/
Lewat selimut dia memaklumi misteri manusia.
"Ini selimut yang dulu pernah Anda jahitkan,
utuk malam pertama kami. Selimut Perkawinan,"
kata seorang lelaki padanya. Sambil menyerahkan
sebuah selimut yang tentu saja ia masih ingat,
corak dan pola jahitannya. "Ambillah saja,
Pak Penjahit Tua. Simpankanlah untuk saya.
Saya tak sanggup lagi melihatnya, saya
tak juga tega membuangnya, sejak kutemukan
istriku bersama lelaki lain di balik selimut itu."
/4/
Lewat selimut pula, dia melihat ke balik kematian.
Ketika itu, seorang lelaki seumur dia datang sendirian,
setelah salam diucapkan, lelaki itu menyampaikan niatan.
"Tolong dirombak, selimut putih ini jadi kafan. Saya
ingin memastikan, kelak saya tetap merasa tentram di kuburan.
Soalnya, selimut inilah yang paling setia menjadi teman,
sepanjang hidupku sehingga kini, sehingga aku merasa
sebentar lagi dijemput kematian. Tolong diihtiarkan..."
/5/
Lelaki Tua Penjahit Selimut, wahai, dengan
apakah kau hangatkan dingin tidurmu sendiri?
Selimut kegemarannya adalah sebuah selimut
yang ia jahit dari kain perca. Selimut yang disusun
dari ribuan lembar kain selebar telapak tangan.
"Setiap potongan sisa kain, menyimpan sebuah cerita.
Sebagaimana catatan harian. Seperti jurnal kehidupan,"
ujarnya sambil saling berdekapan
dengan selimut yang ia kasihi.
/6/
Jika ingin memahami hakikat selimut,
cobalah telanjang di tengah dingin malam.
Jika ingin mengerti rahasia kehidupan,
meringkuklah di balik selimut terhangatmu, lalu
bayangkanlah hingga suatu saat ada yang menegurmu,
"Wahai engkau, orang yang berselimut..."
"Jika ingin mengerti rahasia malam,
jadilah tukang jahit selimut," katanya.
"Jika ingin memahami hakikat dingin,
jadilah tukang jahit selimut," katanya.
/2/
Lelaki itu hidup sendiri. Hanya sendiri.
Terlebih sendiri bila alam sudah berselimut malam.
"Tuhan itu Maha Penjahit. Selimut
malamnya, sedikit pun tak pernah
kusam, sedikit pun tak pernah koyak,"
katanya menyebutkan kearifan yang ia hayati,
setelah bertahun-tahun menjahitkan
beratus-ratus selimut pesanan.
"Tapi siapa yang memesan malam,
Wahai Lelaki Penjahit Selimut?"
dia suka bertanya begitu, ketika
sesekali waktu, sesuatu malam dia
tak bisa memejamkan mata tuanya.
/3/
Lewat selimut dia menghayati apa maunya Tuhan.
"Pak Penjahit Tua. Tolong buatkan selimut untuk
bayi kami, yang sebentar lagi lahir dari rahim
istri saya. Selimut paling istimewa, bersulam
nama kami dan nama yang hendak kami beri
untuknya," ujar seorang lelaki muda yang datang
bersama istrinya yang tengah hamil tua.
Selimut itu akhirnya tak pernah dijemput si
pemesan. Meski ongkos bikinnya sudah
dilunaskan. Konon, anak yang namanya
tersulam di selimut itu, tak pernah sempat
dilahirkan. Hangatnya kematian memeluknya
erat tak terlepaskan. Selimut yang sudah
disiapkan, tak pernah sampai ia perlukan.
/4/
Lewat selimut dia memaklumi misteri manusia.
"Ini selimut yang dulu pernah Anda jahitkan,
utuk malam pertama kami. Selimut Perkawinan,"
kata seorang lelaki padanya. Sambil menyerahkan
sebuah selimut yang tentu saja ia masih ingat,
corak dan pola jahitannya. "Ambillah saja,
Pak Penjahit Tua. Simpankanlah untuk saya.
Saya tak sanggup lagi melihatnya, saya
tak juga tega membuangnya, sejak kutemukan
istriku bersama lelaki lain di balik selimut itu."
/4/
Lewat selimut pula, dia melihat ke balik kematian.
Ketika itu, seorang lelaki seumur dia datang sendirian,
setelah salam diucapkan, lelaki itu menyampaikan niatan.
"Tolong dirombak, selimut putih ini jadi kafan. Saya
ingin memastikan, kelak saya tetap merasa tentram di kuburan.
Soalnya, selimut inilah yang paling setia menjadi teman,
sepanjang hidupku sehingga kini, sehingga aku merasa
sebentar lagi dijemput kematian. Tolong diihtiarkan..."
/5/
Lelaki Tua Penjahit Selimut, wahai, dengan
apakah kau hangatkan dingin tidurmu sendiri?
Selimut kegemarannya adalah sebuah selimut
yang ia jahit dari kain perca. Selimut yang disusun
dari ribuan lembar kain selebar telapak tangan.
"Setiap potongan sisa kain, menyimpan sebuah cerita.
Sebagaimana catatan harian. Seperti jurnal kehidupan,"
ujarnya sambil saling berdekapan
dengan selimut yang ia kasihi.
/6/
Jika ingin memahami hakikat selimut,
cobalah telanjang di tengah dingin malam.
Jika ingin mengerti rahasia kehidupan,
meringkuklah di balik selimut terhangatmu, lalu
bayangkanlah hingga suatu saat ada yang menegurmu,
"Wahai engkau, orang yang berselimut..."
Dongeng Tukang Perahu
/1/
"Hidup itu seperti perahu," kata penyair sok tahu,
"Usia dihabiskan dari pelabuhan ke pelabuhan."
"Hidupku adalah perahu," kata tukang perahu,
"Hidupku adalah laut. Kau tahu? Dan pelayaran
dari tambatan ke tambatan. Tak bersudahan."
/2/
Wahai, Tukang Perahu, pernahkah engkau bosan?
"Pernah, ketika itu saya ingin sekali, ada seseorang
yang minta diantarkan ke tempat yang tak berpelabuhan,
ke tempat di mana laut dan perahu tak bisa dipisahkan."
Wahai, Tukang Perahu, pernahkah engkau kelalahan?
"Aku sebenarnya ingin menjadi ikan. Yang tak pernah
letih berenang. Aku sebenarnya ingin seperti ikan. Yang
tubuhnya adalah perahu. Siripnya adalah kayuh dan kemudi.
Aku sebenanya ingin sekuat ikan. Yang tak pernah merisaukan
angin, yang tak pernah mengenal bertambat atau bertolak,
yang tak pernah rindu pada damai pelabuhan.
/3/
Tukang Perahu tua, perahu yang tua.
Di haluan dan buritannya tertinggal kenangan.
Bocah-bocah sekolah yang dulu jadi langganan.
Yang dulu suka duduk di buritan, kabarnya
kini sudah menjadi pegawai pemerintahan.
Yang suka berdiri di haluan, sudah jadi
bandar bahan bakar, jadi seorang juragan.
Yang suka duduk menghadap ke belakang,
konon jadi penyair besar teramat kondang.
/4/
Lalu tibalah, sebuah senja. Seperti saat yang
sudah lama dinantikannya. Datanglah seorang
lelaki setua dirinya, setua Tukang Perahu tua.
"Mau kemana, Saudara? Saya sudah mau pulang,
sudah senja. Sebaiknya kau kuantar besok
pagi saja," katanya seramah ia bisa.
"Justru aku yang ingin mengantarkanmu. Anda tenang
saja. Anda yang jadi penumpang saya. Istirahatkan saja
perahu tua. Istirahatkan saja......"
"Hidup itu seperti perahu," kata penyair sok tahu,
"Usia dihabiskan dari pelabuhan ke pelabuhan."
"Hidupku adalah perahu," kata tukang perahu,
"Hidupku adalah laut. Kau tahu? Dan pelayaran
dari tambatan ke tambatan. Tak bersudahan."
/2/
Wahai, Tukang Perahu, pernahkah engkau bosan?
"Pernah, ketika itu saya ingin sekali, ada seseorang
yang minta diantarkan ke tempat yang tak berpelabuhan,
ke tempat di mana laut dan perahu tak bisa dipisahkan."
Wahai, Tukang Perahu, pernahkah engkau kelalahan?
"Aku sebenarnya ingin menjadi ikan. Yang tak pernah
letih berenang. Aku sebenarnya ingin seperti ikan. Yang
tubuhnya adalah perahu. Siripnya adalah kayuh dan kemudi.
Aku sebenanya ingin sekuat ikan. Yang tak pernah merisaukan
angin, yang tak pernah mengenal bertambat atau bertolak,
yang tak pernah rindu pada damai pelabuhan.
/3/
Tukang Perahu tua, perahu yang tua.
Di haluan dan buritannya tertinggal kenangan.
Bocah-bocah sekolah yang dulu jadi langganan.
Yang dulu suka duduk di buritan, kabarnya
kini sudah menjadi pegawai pemerintahan.
Yang suka berdiri di haluan, sudah jadi
bandar bahan bakar, jadi seorang juragan.
Yang suka duduk menghadap ke belakang,
konon jadi penyair besar teramat kondang.
/4/
Lalu tibalah, sebuah senja. Seperti saat yang
sudah lama dinantikannya. Datanglah seorang
lelaki setua dirinya, setua Tukang Perahu tua.
"Mau kemana, Saudara? Saya sudah mau pulang,
sudah senja. Sebaiknya kau kuantar besok
pagi saja," katanya seramah ia bisa.
"Justru aku yang ingin mengantarkanmu. Anda tenang
saja. Anda yang jadi penumpang saya. Istirahatkan saja
perahu tua. Istirahatkan saja......"
Konser Sunyi, Pantomim Resah
Hanya sebaris ombak yang sampai, selebihnya
laut yang damai. Konser sunyi pun mula dimulai.
Sang Komposer menuding langit: partitur mendung.
Si Pemangku harpa, memetik dawai paling rahasia.
Hanya segaris angin yang lelah, sesudahnya
angkasa serta merta basah. Pantomim resah.
laut yang damai. Konser sunyi pun mula dimulai.
Sang Komposer menuding langit: partitur mendung.
Si Pemangku harpa, memetik dawai paling rahasia.
Hanya segaris angin yang lelah, sesudahnya
angkasa serta merta basah. Pantomim resah.
Sebutir Telur di Liang Kubur
: Palestina dan Yasser Arafat
Seperti Sabda belum diwahyukan. Khutbah
belum usai. Bahkan. Belum juga dimulai.
Kita pun menunggu. Kursi pun menunggu.
Siapa yang duduk berselimut putih itu?
Seperti Ayat belum diturunkan. Kitab-kitab
belum jadi alasan pembantaian. Belum dituliskan.
Di liang itu, kuburmu mengerami sebutir Telur.
Kita pun menunggu: yang kelak menetas disitu.
Seperti Sabda belum diwahyukan. Khutbah
belum usai. Bahkan. Belum juga dimulai.
Kita pun menunggu. Kursi pun menunggu.
Siapa yang duduk berselimut putih itu?
Seperti Ayat belum diturunkan. Kitab-kitab
belum jadi alasan pembantaian. Belum dituliskan.
Di liang itu, kuburmu mengerami sebutir Telur.
Kita pun menunggu: yang kelak menetas disitu.
Bunga dalam Pot
meluruh jua, di pot, mawar putih
telinga bunga merapat ke tanah
bisik rahasia itu, terlalu lirih
bisik itu, bisik akar yang lelah
telinga bunga merapat ke tanah
bisik rahasia itu, terlalu lirih
bisik itu, bisik akar yang lelah
Wednesday, November 10, 2004
Pada Ruang Kosong, Pada Padang Lengang
Pada ruang kosong sajakku, kau akan mendengar
gema-gema suara-Nya. Kau tidak akan tahu kapan
sebenarnya gaung itu ada sebelum terpisah dari
suaramu. "Aku hanya ingat, waktu itu aku penat
berteriak, memanggil-manggil nama-Mu," katamu.
Pada padang lengang sajakku, kau akan bertemu
bayang-bayang sendiri. Kau pasti amat mengenal
: siluet yang tak pernah menyahut seramah
apapun kau menyapa. "Kami juga tak pernah sepakat,
siapa menuntun siapa, berpantomim seperti ini," katamu.
gema-gema suara-Nya. Kau tidak akan tahu kapan
sebenarnya gaung itu ada sebelum terpisah dari
suaramu. "Aku hanya ingat, waktu itu aku penat
berteriak, memanggil-manggil nama-Mu," katamu.
Pada padang lengang sajakku, kau akan bertemu
bayang-bayang sendiri. Kau pasti amat mengenal
: siluet yang tak pernah menyahut seramah
apapun kau menyapa. "Kami juga tak pernah sepakat,
siapa menuntun siapa, berpantomim seperti ini," katamu.
Sunday, November 7, 2004
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal K
kimka: Jelas ia bukan untuk membalut luka, padahal tetes
       darah ini terus saja, minta dibebat minta diseka. Ia
       jelas bukan untuk menghapus air mata, padahal tangis
       ini mungkin saja bisa terseka oleh wangi tubuhmu yang
       kubayangkan ada pada halus seratnya yang berbunga-bunga.
kintaka: Akhirnya luka dan airmata itu semakin lengkap semakin
       sempurna. Tersimpan beruturan sejak kemarin, esok dan hari
       depan. Akhirnya luka dan airmata itu tersimpan rapi dalam
       kenang dalam renung. Dalam bayang dalam tenung.
       Dalam senang dan dalam murung. Kau tegas memberi tanda,
       pada tiap lembar halaman-halaman yang selalu kubaca juga.
kirana: Aku hanya berharap ada terang yang datang. Mungkin bukan
       dari sinar tubuhmu, bukan cahaya matamu. Sebab aku tak berharap
       lagi, sejak kelam mataku bisa membaca setiap nestapa dalam
       gelap yang paling hitam, dalam hitam yang paling pekat. Aku
       hanya berharap ada terang yang datang, pecah dalam kelopak,
       ketika kubuka dan kupejamkan mata.
kirah: Tetapi harapan itu katamu, adalah buah mentah yang harus
       ditunggu. Tetapi menunggu itu kataku, adalah satu-satunya
       alasan bagiku untuk tidak beranjak dahulu dari rindang pohon
       yang menawarkan sebuah bangku: aku duduk bersama teduhnya,
       bersama jatuh dedaunannya. Tetapi akulah kelelawar, katamu,
       yang mencuri buah mentah sebelum ia matang dan jatuh
       ke tadah tanganmu. Tetapi, aku memang hanya ingin menunggu,
       kataku, tak peduli apakah kau hewan pengerat atau hantu.
       darah ini terus saja, minta dibebat minta diseka. Ia
       jelas bukan untuk menghapus air mata, padahal tangis
       ini mungkin saja bisa terseka oleh wangi tubuhmu yang
       kubayangkan ada pada halus seratnya yang berbunga-bunga.
kintaka: Akhirnya luka dan airmata itu semakin lengkap semakin
       sempurna. Tersimpan beruturan sejak kemarin, esok dan hari
       depan. Akhirnya luka dan airmata itu tersimpan rapi dalam
       kenang dalam renung. Dalam bayang dalam tenung.
       Dalam senang dan dalam murung. Kau tegas memberi tanda,
       pada tiap lembar halaman-halaman yang selalu kubaca juga.
kirana: Aku hanya berharap ada terang yang datang. Mungkin bukan
       dari sinar tubuhmu, bukan cahaya matamu. Sebab aku tak berharap
       lagi, sejak kelam mataku bisa membaca setiap nestapa dalam
       gelap yang paling hitam, dalam hitam yang paling pekat. Aku
       hanya berharap ada terang yang datang, pecah dalam kelopak,
       ketika kubuka dan kupejamkan mata.
kirah: Tetapi harapan itu katamu, adalah buah mentah yang harus
       ditunggu. Tetapi menunggu itu kataku, adalah satu-satunya
       alasan bagiku untuk tidak beranjak dahulu dari rindang pohon
       yang menawarkan sebuah bangku: aku duduk bersama teduhnya,
       bersama jatuh dedaunannya. Tetapi akulah kelelawar, katamu,
       yang mencuri buah mentah sebelum ia matang dan jatuh
       ke tadah tanganmu. Tetapi, aku memang hanya ingin menunggu,
       kataku, tak peduli apakah kau hewan pengerat atau hantu.
Kamus Empat Kata Berhuruf Awal A
Abimana: Jika semua akhirnya hanya berakhir di sini,
     kenapa kau harus begitu peduli dengan apa yang
     harus kau suapkan pada mulut sendiri? Jika jarak
     antara yang suci dan yang najis hanya sepanjang
     organ pencerna, kenapa harus begitu sibuk dengan
     apa yang harus kau kecap dengan lidah sendiri?
Abar: Ada yang mesti jadi pengingat, agar yang terlalu
     laju tertahan sewajarnya. Ada yang mesti jadi penahan
     agar yang terlalu lekas berlalu sepantasnya.
Abilah: Kita baru merasa diingatkan, ketika ada yang melepuh
     basah, di tubuh dan wajah. Perih saat ia di tengah amuk,
     juga bopeng parut ketika ia telah takluk. Kita seringkali
     hanya bisa diingatkan dengan jalan itu. Jalan serupa itu.
Abyad: Ia hanya sebuah warna, terang yang sewajarnya.
     Tapi kenapa tidak belajar tentang kesucian padanya?
     Agar yang putih tetap tak dicemari noda kekotoran,
     agar yang terang tetap memberi cahaya panduan.
     Memang ia hanya sebuah warna. Tetapi kenapa...
     kenapa kau harus begitu peduli dengan apa yang
     harus kau suapkan pada mulut sendiri? Jika jarak
     antara yang suci dan yang najis hanya sepanjang
     organ pencerna, kenapa harus begitu sibuk dengan
     apa yang harus kau kecap dengan lidah sendiri?
Abar: Ada yang mesti jadi pengingat, agar yang terlalu
     laju tertahan sewajarnya. Ada yang mesti jadi penahan
     agar yang terlalu lekas berlalu sepantasnya.
Abilah: Kita baru merasa diingatkan, ketika ada yang melepuh
     basah, di tubuh dan wajah. Perih saat ia di tengah amuk,
     juga bopeng parut ketika ia telah takluk. Kita seringkali
     hanya bisa diingatkan dengan jalan itu. Jalan serupa itu.
Abyad: Ia hanya sebuah warna, terang yang sewajarnya.
     Tapi kenapa tidak belajar tentang kesucian padanya?
     Agar yang putih tetap tak dicemari noda kekotoran,
     agar yang terang tetap memberi cahaya panduan.
     Memang ia hanya sebuah warna. Tetapi kenapa...
Setiap Hari Kau Bermain Cahaya Semesta
Sajak Pablo Neruda
Setiap hari kau bermain cahaya semesta,
tamu tak tampak mata, kau tiba dalam bunga dan air.
Kau lebih dari kepala putih yang kupegang erat ini
sebagai setangkai buah, setiap hari, di antar dua tangan ini.
Tak ada yang menyamaimu, sejak aku mencintaimu.
Maka biarkan aku bentangkan engkau di antara roncean kuning.
Siapa yang menulis namamu dengan aksara asap di antara bintang di selatan itu?
Oh, biarkan kukenang engkau seperti sebelum ada engkau.
Tiba-tiba angin menderu dan meledak di jendela tak terkuak.
Langit adalah jala digayuti bayang-bayang ikan.
Ke sinilah berangkat angin cepat atau lambat, seluruh angin.
Hujan pun menanggalkan bajunya.
Burung-burung pun beranjak. Menjauh.
Angin itu. Angin itu.
Aku hanya bisa menentang kekuatan manusia.
Badai menghamburkan dedaunan kelam
dan melenyapkan seluruh perahu yang semalam
ditambatkan di angkasa.
Engkau ada di sini. Engkau tak menjauh dari sini.
Kau akan menyahutku hingga tangis penghabisan.
Berpagutan padaku seakan kau dicekam ketakutan.
Meski pada ketika itu ada bayang asing berlari
merusuh di matamu.
Sekarang, juga sekarang, kau yang manis mungil, kau
membawa bunga bermadu,
dan bahkan dadamu pun sewangi aromanya.
Sementara angin nestapa menjagal kupu-kupu
aku jadi mencintaimu, dan rasa bahagiaku menggigit plum pada mulutmu.
Bagaimanakah kau mesti menanggung derita karena mesti
mengertikan aku, menerima kebuasanku, jiwa yang sendiri,
serta namaku yang kukabarkan pada mereka yang berlari.
Teramat kerap kita melihat bintang pagi terbakar, mengecup
mata kita, dan di atas kepala kita cahaya kelabu melawan
arah angin dihembus kipas yang menukar arah putar.
Kata-kataku jatuh sebagai hujan membasahimu, menyambarmu.
Telah sekian lama aku telah jatuh cinta pada tubuhmu
: indung mutiara disempurnakan sinar matahari.
Aku jauh mengembara seakan kau pemilik semesta.
Kelak aku bawakan kau bungah bunga-bunga dari
pegunungan, bunga lonceng biru, buah hazel, dan sekeranjang
kecupan jauh dari pedalaman.
Aku ingin melakukan itu denganmu,
seperti musim semi melayani pohon-pohon ceri.
Every Day You Play
Every day you play with the light of the universe.
Subtle visitor, you arrive in the flower and the water.
You are more than this white head that I hold tightly
as a cluster of fruit, every day, between my hands.
You are like nobody since I love you.
Let me spread you out among yellow garlands.
Who writes your name in letters of smoke among the stars of the south?
Oh let me remember you as you were before you existed.
Suddenly the wind howls and bangs at my shut window.
The sky is a net crammed with shadowy fish.
Here all the winds let go sooner or later, all of them.
The rain takes off her clothes.
The birds go by, fleeing.
The wind. The wind.
I can contend only against the power of men.
The storm whirls dark leaves
and turns loose all the boats that were moored last night to the sky.
You are here. Oh, you do not run away.
You will answer me to the last cry.
Cling to me as though you were frightened.
Even so, at one time a strange shadow ran through your eyes.
Now, now too, little one, you bring me honeysuckle,
and even your breasts smell of it.
While the sad wind goes slaughtering butterflies
I love you, and my happiness bites the plum of your mouth.
How you must have suffered getting accustomed to me,
my savage, solitary soul, my name that sends them all running.
So many times we have seen the morning star burn, kissing our eyes,
and over our heads the gray light unwind in turning fans.
My words rained over you, stroking you.
A long time I have loved the sunned mother-of-pearl of your body.
I go so far as to think that you own the universe.
I will bring you happy flowers from the mountains, bluebells,
dark hazels, and rustic baskets of kisses.
I want to do with you
what spring does with the cherry trees.
Setiap hari kau bermain cahaya semesta,
tamu tak tampak mata, kau tiba dalam bunga dan air.
Kau lebih dari kepala putih yang kupegang erat ini
sebagai setangkai buah, setiap hari, di antar dua tangan ini.
Tak ada yang menyamaimu, sejak aku mencintaimu.
Maka biarkan aku bentangkan engkau di antara roncean kuning.
Siapa yang menulis namamu dengan aksara asap di antara bintang di selatan itu?
Oh, biarkan kukenang engkau seperti sebelum ada engkau.
Tiba-tiba angin menderu dan meledak di jendela tak terkuak.
Langit adalah jala digayuti bayang-bayang ikan.
Ke sinilah berangkat angin cepat atau lambat, seluruh angin.
Hujan pun menanggalkan bajunya.
Burung-burung pun beranjak. Menjauh.
Angin itu. Angin itu.
Aku hanya bisa menentang kekuatan manusia.
Badai menghamburkan dedaunan kelam
dan melenyapkan seluruh perahu yang semalam
ditambatkan di angkasa.
Engkau ada di sini. Engkau tak menjauh dari sini.
Kau akan menyahutku hingga tangis penghabisan.
Berpagutan padaku seakan kau dicekam ketakutan.
Meski pada ketika itu ada bayang asing berlari
merusuh di matamu.
Sekarang, juga sekarang, kau yang manis mungil, kau
membawa bunga bermadu,
dan bahkan dadamu pun sewangi aromanya.
Sementara angin nestapa menjagal kupu-kupu
aku jadi mencintaimu, dan rasa bahagiaku menggigit plum pada mulutmu.
Bagaimanakah kau mesti menanggung derita karena mesti
mengertikan aku, menerima kebuasanku, jiwa yang sendiri,
serta namaku yang kukabarkan pada mereka yang berlari.
Teramat kerap kita melihat bintang pagi terbakar, mengecup
mata kita, dan di atas kepala kita cahaya kelabu melawan
arah angin dihembus kipas yang menukar arah putar.
Kata-kataku jatuh sebagai hujan membasahimu, menyambarmu.
Telah sekian lama aku telah jatuh cinta pada tubuhmu
: indung mutiara disempurnakan sinar matahari.
Aku jauh mengembara seakan kau pemilik semesta.
Kelak aku bawakan kau bungah bunga-bunga dari
pegunungan, bunga lonceng biru, buah hazel, dan sekeranjang
kecupan jauh dari pedalaman.
Aku ingin melakukan itu denganmu,
seperti musim semi melayani pohon-pohon ceri.
Every Day You Play
Every day you play with the light of the universe.
Subtle visitor, you arrive in the flower and the water.
You are more than this white head that I hold tightly
as a cluster of fruit, every day, between my hands.
You are like nobody since I love you.
Let me spread you out among yellow garlands.
Who writes your name in letters of smoke among the stars of the south?
Oh let me remember you as you were before you existed.
Suddenly the wind howls and bangs at my shut window.
The sky is a net crammed with shadowy fish.
Here all the winds let go sooner or later, all of them.
The rain takes off her clothes.
The birds go by, fleeing.
The wind. The wind.
I can contend only against the power of men.
The storm whirls dark leaves
and turns loose all the boats that were moored last night to the sky.
You are here. Oh, you do not run away.
You will answer me to the last cry.
Cling to me as though you were frightened.
Even so, at one time a strange shadow ran through your eyes.
Now, now too, little one, you bring me honeysuckle,
and even your breasts smell of it.
While the sad wind goes slaughtering butterflies
I love you, and my happiness bites the plum of your mouth.
How you must have suffered getting accustomed to me,
my savage, solitary soul, my name that sends them all running.
So many times we have seen the morning star burn, kissing our eyes,
and over our heads the gray light unwind in turning fans.
My words rained over you, stroking you.
A long time I have loved the sunned mother-of-pearl of your body.
I go so far as to think that you own the universe.
I will bring you happy flowers from the mountains, bluebells,
dark hazels, and rustic baskets of kisses.
I want to do with you
what spring does with the cherry trees.
Cahaya yang Mengemasmu
Sajak Pablo Neruda
Cahaya yang mengemasmu dalam kobar kekal.
Si berkabung pucat terkacau, berdiri di jalan itu
menghadang baling-baling tua, waktu yang senja
berputar di seputarmu.
Terdiam kelu, kawanku
sendiri dalam kesendirian saat-saat yang mati ini
dan penuh terisi dengan api yang hidup,
menerima sepenuhnya hari-hari yang runtuh.
Sekeranjang buah jatuh dari matahari pada kelam bajumu.
Akar-akar malam tiba-tiba tumbuh dari jiwamu,
dan segala yang sembunyi di dalammu menghambur lagi
lalu menjelma sesosok yang pucat biru,
kau yang baru terlahir, mengambil menyantap.
Oh, betapa dahsyat, betapa semarak, serentak menarik
lingkaran yang bergerak menukar hitam dan warna kencana:
bangkit, memandu di huluan, menguasai satu ciptaan
begitu kaya hidup, padanya bunga-bunga musnah
dipenuhi duka nestapa.
The Light Wraps You
The light wraps you in its mortal flame.
Abstracted pale mourner, standing that way
against the old propellers of the twilight
that revolves around you.
Speechless, my friend,
alone in the loneliness of this hour of the dead
and filled with the lives of fire,
pure heir of the ruined day.
A bough of fruit falls from the sun on your dark garment.
The great roots of night grow suddenly from your soul,
and the things that hide in you come out again
so that a blue and pallid people,
your newly born, takes nourishment.
Oh magnificent and fecund and magnetic slave
of the circle that moves in turn through black and gold:
rise, lead and possess a creation
so rich in life that its flowers perish
and it is full of sadness.
Cahaya yang mengemasmu dalam kobar kekal.
Si berkabung pucat terkacau, berdiri di jalan itu
menghadang baling-baling tua, waktu yang senja
berputar di seputarmu.
Terdiam kelu, kawanku
sendiri dalam kesendirian saat-saat yang mati ini
dan penuh terisi dengan api yang hidup,
menerima sepenuhnya hari-hari yang runtuh.
Sekeranjang buah jatuh dari matahari pada kelam bajumu.
Akar-akar malam tiba-tiba tumbuh dari jiwamu,
dan segala yang sembunyi di dalammu menghambur lagi
lalu menjelma sesosok yang pucat biru,
kau yang baru terlahir, mengambil menyantap.
Oh, betapa dahsyat, betapa semarak, serentak menarik
lingkaran yang bergerak menukar hitam dan warna kencana:
bangkit, memandu di huluan, menguasai satu ciptaan
begitu kaya hidup, padanya bunga-bunga musnah
dipenuhi duka nestapa.
The Light Wraps You
The light wraps you in its mortal flame.
Abstracted pale mourner, standing that way
against the old propellers of the twilight
that revolves around you.
Speechless, my friend,
alone in the loneliness of this hour of the dead
and filled with the lives of fire,
pure heir of the ruined day.
A bough of fruit falls from the sun on your dark garment.
The great roots of night grow suddenly from your soul,
and the things that hide in you come out again
so that a blue and pallid people,
your newly born, takes nourishment.
Oh magnificent and fecund and magnetic slave
of the circle that moves in turn through black and gold:
rise, lead and possess a creation
so rich in life that its flowers perish
and it is full of sadness.
Friday, November 5, 2004
Inilah Aku yang Mencintaimu
Sajak Pablo Neruda
Inilah aku yang mencintaimu.
Pada pinus hitam angin mengurai kekusutan.
Bulan berpendar seperti fosfor di air tak berhulu-muara.
Hari demi hari, sama saja, saling memburu-mengejar.
Salju tak tergulung dari sosok-sosok berdansa.
Camar berbulu perak tergelincir terbang dari barat.
Sesekali tampak sebuah layar. Tinggi, bintang yang jauh.
O ada silang hitam sebuah kapal.
Bersendiri.
Sesekali aku terbangun diri hari, dan jiwaku basah.
Di kejauhan laut bergemuruh disahut gemuruh.
Inilah pelabuhan itu.
Inilah aku yang mencintaimu.
Inilah aku, ketika cakrawala sia-sia menyembunyikanmu
Aku mencintaimu walau segala membeku mengepung.
Sesekali kecupanku berlayar bersama kapal besar
menyeberangi laut menuju yang tak tersampai.
Aku merasa dicampakkan bagai jangkar tua.
Pelabuhan makin murung ketika petang tertambat di sana.
Hidupku jatuh kian letih, lapar tanpa ada sebabnya.
Aku mencintai apa yang tak bisa kupunyai. Engkau begitu jauh.
Kebencianku tak terebut oleh senja yang lamban.
Tapi malam tiba jua, dan mulai bernyanyi bagiku.
Bulan membalikkan arah jarum jam mimpinya.
Bintang terbesar menatapku dengan matamu.
Dan seperti aku mencintaimu, pinus dan angin
daun yang berjalin ingin melagukan namamu.
Here I Love You
Here I love you.
In the dark pines the wind disentangles itself.
The moon glows like phosphorous on the vagrant waters.
Days, all one kind, go chasing each other.
The snow unfurls in dancing figures.
A silver gull slips down from the west.
Sometimes a sail. High, high stars.
Oh the black cross of a ship.
Alone.
Sometimes I get up early and even my soul is wet.
Far away the sea sounds and resounds.
This is a port.
Here I love you.
Here I love you and the horizon hides you in vain.
I love you still among these cold things.
Sometimes my kisses go on those heavy vessels
that cross the sea towards no arrival.
I see myself forgotten like those old anchors.
The piers sadden when the afternoon moors there.
My life grows tired, hungry to no purpose.
I love what I do not have. You are so far.
My loathing wrestles with the slow twilights.
But night comes and starts to sing to me.
The moon turns its clockwork dream.
The biggest stars look at me with your eyes.
And as I love you, the pines in the wind
want to sing your name with their leaves of wire.
Inilah aku yang mencintaimu.
Pada pinus hitam angin mengurai kekusutan.
Bulan berpendar seperti fosfor di air tak berhulu-muara.
Hari demi hari, sama saja, saling memburu-mengejar.
Salju tak tergulung dari sosok-sosok berdansa.
Camar berbulu perak tergelincir terbang dari barat.
Sesekali tampak sebuah layar. Tinggi, bintang yang jauh.
O ada silang hitam sebuah kapal.
Bersendiri.
Sesekali aku terbangun diri hari, dan jiwaku basah.
Di kejauhan laut bergemuruh disahut gemuruh.
Inilah pelabuhan itu.
Inilah aku yang mencintaimu.
Inilah aku, ketika cakrawala sia-sia menyembunyikanmu
Aku mencintaimu walau segala membeku mengepung.
Sesekali kecupanku berlayar bersama kapal besar
menyeberangi laut menuju yang tak tersampai.
Aku merasa dicampakkan bagai jangkar tua.
Pelabuhan makin murung ketika petang tertambat di sana.
Hidupku jatuh kian letih, lapar tanpa ada sebabnya.
Aku mencintai apa yang tak bisa kupunyai. Engkau begitu jauh.
Kebencianku tak terebut oleh senja yang lamban.
Tapi malam tiba jua, dan mulai bernyanyi bagiku.
Bulan membalikkan arah jarum jam mimpinya.
Bintang terbesar menatapku dengan matamu.
Dan seperti aku mencintaimu, pinus dan angin
daun yang berjalin ingin melagukan namamu.
Here I Love You
Here I love you.
In the dark pines the wind disentangles itself.
The moon glows like phosphorous on the vagrant waters.
Days, all one kind, go chasing each other.
The snow unfurls in dancing figures.
A silver gull slips down from the west.
Sometimes a sail. High, high stars.
Oh the black cross of a ship.
Alone.
Sometimes I get up early and even my soul is wet.
Far away the sea sounds and resounds.
This is a port.
Here I love you.
Here I love you and the horizon hides you in vain.
I love you still among these cold things.
Sometimes my kisses go on those heavy vessels
that cross the sea towards no arrival.
I see myself forgotten like those old anchors.
The piers sadden when the afternoon moors there.
My life grows tired, hungry to no purpose.
I love what I do not have. You are so far.
My loathing wrestles with the slow twilights.
But night comes and starts to sing to me.
The moon turns its clockwork dream.
The biggest stars look at me with your eyes.
And as I love you, the pines in the wind
want to sing your name with their leaves of wire.
Pada Keluasan Belantara Pinus
Sajak Pablo Neruda
Ah luasnya belantara pinus, desiran ombak pecah,
cahaya yang bemain perlahan, lonceng yang sendirian,
senjakala jauh di matamu, boneka mainan,
cangkang bumi, bagi siapa bumi bernyanyi!
Padamu sungan bernyanyi dan jiwamu mengalir padanya
seperti hasratmu, dan kau kirim itu kemana kau ingini.
Haluan harapanmu menuju jalanku
dan dalam hiruk pikuk, hendak kulepas anak panahku.
Dari segala sisi kulihat pinggulmu kabut,
dalam kesunyianmu memburu jam-jam terundung duka;
kecupanku adalah sauh, dan lembabku merindukan sarang
di dalam dirimu, di dalam rengkuh lengan batu beningmu.
Ah, suara misterimu, suara yang mencinta dentang dan
jadi kian gelap dalam gema dan malam yang sekarat!
Maka dalam waktu yang dalam, kulihat, di atas padang,
burung ekor putih berseru di mulut angin.
Ah Vastness of Pines
Ah vastness of pines, murmur of waves breaking,
slow play of lights, solitary bell,
twilight falling in your eyes, toy doll,
earth-shell, inw hom the earth sings!
In you the rivers sing and my soul flees in them
as you desire, and you send it where you will.
Aim my road on your bow of hope
and in a frenzy I will free my flock of arrows.
On all sides I see your waist of fog,
and your silence hunts down my afflicted hours;
my kisses anchor, and my moist desire nests
in you with your arms of transparent stone.
Ah your mysterious voice that love tolls and darkens
in the resonant and dying evening!
Thus in deep hours I have seen, over the fields,
the ears of wheat tolling in the mouth of the wind.
Ah luasnya belantara pinus, desiran ombak pecah,
cahaya yang bemain perlahan, lonceng yang sendirian,
senjakala jauh di matamu, boneka mainan,
cangkang bumi, bagi siapa bumi bernyanyi!
Padamu sungan bernyanyi dan jiwamu mengalir padanya
seperti hasratmu, dan kau kirim itu kemana kau ingini.
Haluan harapanmu menuju jalanku
dan dalam hiruk pikuk, hendak kulepas anak panahku.
Dari segala sisi kulihat pinggulmu kabut,
dalam kesunyianmu memburu jam-jam terundung duka;
kecupanku adalah sauh, dan lembabku merindukan sarang
di dalam dirimu, di dalam rengkuh lengan batu beningmu.
Ah, suara misterimu, suara yang mencinta dentang dan
jadi kian gelap dalam gema dan malam yang sekarat!
Maka dalam waktu yang dalam, kulihat, di atas padang,
burung ekor putih berseru di mulut angin.
Ah Vastness of Pines
Ah vastness of pines, murmur of waves breaking,
slow play of lights, solitary bell,
twilight falling in your eyes, toy doll,
earth-shell, inw hom the earth sings!
In you the rivers sing and my soul flees in them
as you desire, and you send it where you will.
Aim my road on your bow of hope
and in a frenzy I will free my flock of arrows.
On all sides I see your waist of fog,
and your silence hunts down my afflicted hours;
my kisses anchor, and my moist desire nests
in you with your arms of transparent stone.
Ah your mysterious voice that love tolls and darkens
in the resonant and dying evening!
Thus in deep hours I have seen, over the fields,
the ears of wheat tolling in the mouth of the wind.
Telah Kuberi Tanda pada Peta Tubuhmu
Sajak Pablo Neruda
Telah kuberi tanda pada peta di tubuhmu
dengan tanda bersilangan api.
Mulutku memapas melintasi: laba-laba hendak sembunyi.
Padamu, di sebalikmu, sungkanmalu, tersebab haus itu.
Cerita bagimu di pesisir petang, tentang
boneka lembut dan murung, tapi kau jangan bersedih.
Ada angsa, pohon, sesuatu yang jauh tapi bahagia.
Anggur sedang musim, musim panen membanjir buah.
Aku, yang tinggal di pelabuhan dimana aku mencintaimu.
Kesunyian melintas bersama mimpi dan kebisuan.
Terdesak ke sudut di antara laut dan kesedihan.
Mengigau, tanpa suara, di antara dua pendayung bisu.
Di antara bibir da suara sesuatu yang berangkat maut.
Sesuatu bersayap burung, sesuatu duka sesuatu terlupa.
Seperti jala tak bisa menahan air.
Boneka mainanku, hanya beberapa tetes sisa menggigil.
Walau, ada juga sesuatu menyanyikan kata yang diburu ini.
Sesuatu bernyanyi, sesuatu mendaki ke mulutku yang lapar.
Oh betapa inginnya merayakanmu dengan seluruh kata suka cita.
Menyanyi, terbakar, meruah, seperti menara lonceng di tangan si gila.
Kelembutan nestapaku, apa yang menjelangmu sekali tiba?
Ketika telah kuraih yang paling memukau puncak paling beku
hatiku jadi terkatup, bagai bunga malam hari.
I Have Gone Marking
I have gone marking the atlas of your body
with crosses of fire.
My mouth went across: a spider, trying to hide.
In you, behind you, timid, driven by thirst.
Stories to tell you on the shore of evening,
sad and gentle doll, so that you should not be sad.
A swan, a tree, something far away and happy.
The season of grapes, the ripe and fruitful season.
I who lived in a harbor from which I loved you.
The solitude crossed with dream and with silence.
Penned up between the sea and sadness.
Soundless, delirious, between two motionless gondoliers.
Between the lips and the voice something goes dying.
Something with the wings of a bird, something of anguish and oblivion.
The way nets cannot hold water.
My toy doll, only a few drops are left trembling.
Even so, something sings in these fugitive words.
Something sings, something climbs to my ravenous mouth.
Oh to be able to celebrate you with all the words of joy.
Sing, burn, flee, like a belfry at the hands of a madman.
My sad tenderness, what comes over you all at once?
When I have reached the most awesome and the coldest summit
my heart closes like a nocturnal flower.
Telah kuberi tanda pada peta di tubuhmu
dengan tanda bersilangan api.
Mulutku memapas melintasi: laba-laba hendak sembunyi.
Padamu, di sebalikmu, sungkanmalu, tersebab haus itu.
Cerita bagimu di pesisir petang, tentang
boneka lembut dan murung, tapi kau jangan bersedih.
Ada angsa, pohon, sesuatu yang jauh tapi bahagia.
Anggur sedang musim, musim panen membanjir buah.
Aku, yang tinggal di pelabuhan dimana aku mencintaimu.
Kesunyian melintas bersama mimpi dan kebisuan.
Terdesak ke sudut di antara laut dan kesedihan.
Mengigau, tanpa suara, di antara dua pendayung bisu.
Di antara bibir da suara sesuatu yang berangkat maut.
Sesuatu bersayap burung, sesuatu duka sesuatu terlupa.
Seperti jala tak bisa menahan air.
Boneka mainanku, hanya beberapa tetes sisa menggigil.
Walau, ada juga sesuatu menyanyikan kata yang diburu ini.
Sesuatu bernyanyi, sesuatu mendaki ke mulutku yang lapar.
Oh betapa inginnya merayakanmu dengan seluruh kata suka cita.
Menyanyi, terbakar, meruah, seperti menara lonceng di tangan si gila.
Kelembutan nestapaku, apa yang menjelangmu sekali tiba?
Ketika telah kuraih yang paling memukau puncak paling beku
hatiku jadi terkatup, bagai bunga malam hari.
I Have Gone Marking
I have gone marking the atlas of your body
with crosses of fire.
My mouth went across: a spider, trying to hide.
In you, behind you, timid, driven by thirst.
Stories to tell you on the shore of evening,
sad and gentle doll, so that you should not be sad.
A swan, a tree, something far away and happy.
The season of grapes, the ripe and fruitful season.
I who lived in a harbor from which I loved you.
The solitude crossed with dream and with silence.
Penned up between the sea and sadness.
Soundless, delirious, between two motionless gondoliers.
Between the lips and the voice something goes dying.
Something with the wings of a bird, something of anguish and oblivion.
The way nets cannot hold water.
My toy doll, only a few drops are left trembling.
Even so, something sings in these fugitive words.
Something sings, something climbs to my ravenous mouth.
Oh to be able to celebrate you with all the words of joy.
Sing, burn, flee, like a belfry at the hands of a madman.
My sad tenderness, what comes over you all at once?
When I have reached the most awesome and the coldest summit
my heart closes like a nocturnal flower.
Monday, November 1, 2004
Jiwa yang Tercekau
Sajak Pablo Neruda
Bahkan kita pun tersesat di senja kala ini.
Tak ada yang melihat kita berpegang tangan malam ini
malam yang meluruhkan birunya ke dunia.
Aku melihat dari jendela yang terbuka
matahari berpesta, tenggelam di kejauhan puncak gunung.
Sesekali tampak sepotong matahari
terbakar seperti keping uang di antar dua tanganku.
Aku terkenang engkau, hati tercekau
dalam duka itu, dukaku itu, engkau tahu.
Lalu engkau, dimanakah?
Lalu di sana itu, siapakah?
Lalu yang disebutnya, apakah?
Kenapa saat segenap cinta tiba tiba-tiba
saat itu duka meraja dan kurasa engkau jauh disana?
Buku tersia senantiasa tak terbuka saat senja tiba
dan sweater biruku teronggok: simpuh anjing luka.
Selalu, selalu saja engkau menyusut melintasi malam
melewati senja, gelap yang menelan patung-patung.
The Clenched Soul
We have lost event this twilight.
No one saw us this evening hand in hand
while the blue night dropped on the world.
I have seen from my window
the fiesta of sunset int he distant mountaintops.
Sometimes a piece of sun
burned like a coin between my hands.
I remembered you with my soul clenched
in that sadness of mine that you know.
Where were you then?
Who else was there?
Saying what?
Why will the whole of love come on me suddenly
when I am sad and feel you are far away?
The book fell that is always turned to at twilight
and my cape rolled like a hurt dog at my feet.
Always, always you recede through the evenings
towards where the twilight goes erasing statues.
Bahkan kita pun tersesat di senja kala ini.
Tak ada yang melihat kita berpegang tangan malam ini
malam yang meluruhkan birunya ke dunia.
Aku melihat dari jendela yang terbuka
matahari berpesta, tenggelam di kejauhan puncak gunung.
Sesekali tampak sepotong matahari
terbakar seperti keping uang di antar dua tanganku.
Aku terkenang engkau, hati tercekau
dalam duka itu, dukaku itu, engkau tahu.
Lalu engkau, dimanakah?
Lalu di sana itu, siapakah?
Lalu yang disebutnya, apakah?
Kenapa saat segenap cinta tiba tiba-tiba
saat itu duka meraja dan kurasa engkau jauh disana?
Buku tersia senantiasa tak terbuka saat senja tiba
dan sweater biruku teronggok: simpuh anjing luka.
Selalu, selalu saja engkau menyusut melintasi malam
melewati senja, gelap yang menelan patung-patung.
The Clenched Soul
We have lost event this twilight.
No one saw us this evening hand in hand
while the blue night dropped on the world.
I have seen from my window
the fiesta of sunset int he distant mountaintops.
Sometimes a piece of sun
burned like a coin between my hands.
I remembered you with my soul clenched
in that sadness of mine that you know.
Where were you then?
Who else was there?
Saying what?
Why will the whole of love come on me suddenly
when I am sad and feel you are far away?
The book fell that is always turned to at twilight
and my cape rolled like a hurt dog at my feet.
Always, always you recede through the evenings
towards where the twilight goes erasing statues.
Agar Kelak Kau Simak Aku
Sajak Pablo Neruda
Agar kelak kau simak aku
kata-kataku
kadang tumbuh menerawang
seperti jejak-jejak camar di sepanjang pantai.
Kalung, lonceng kerasukan
untuk tanganmu halus, selembut buah anggur.
Dan kusaksikan kata-kataku
Kata-kata yang lebih punyamu daripada milikku.
Kata-kata yang memanjati nestapa lama bagai liana.
Ia juga merambati dinding-dinding kabut.
Kau menanggung kutuk untuk pertarungan kejam ini.
Kata-kata melarikan diri dari jerumun gelapku.
Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya.
Sebelum engkau, mereka menghuni kesunyian yang kau
tinggali, mereka lebih berguna bagi dukaku daripada kau.
Sekarang aku ingin mereka berkata apa yang ingin kukatakan
padamu, membuat kau mendengar apa yang kuinginkan
kau mendengarnya.
Angin penderitaan masih terkandung seperti biasa.
Sesekali mimpi puting beliung mengetuk juga.
Kau dengar, suara lain di dalam suara nestapaku.
Keluh mulut yang dahulu, darah permohonan dahulu jua.
Cintai aku, kawan. Jangan abaikan. Ikuti aku. Ikuti aku,
kawan, di ombang-ambing gelombang penderitaan ini.
Tapi kata-kataku jandi ternoda oleh cintamu.
Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya.
Lalu kubuat kata-kataku menjadi kalung tak berujung
untuk tanganmu putih, halus selembut buah anggur.
So That You Will Hear Me
So that you will hear me
my words
sometimes grow thin
as the tracks of the gulls on the beaches.
Necklace, drunken bell
for your hands smooth as grapes.
And I watch my words from a long way off.
They are more yours than mine.
They climb on my old suffering like ivy.
It climbs the same way on damp walls.
You are to blame for this cruel sport.
They are fleeing from my dark lair.
You fill everything, you fill everything.
Before you they peopled the solitude that you occupy,
and they are more used to my sadness than you are.
Now I want them to say what I want to say to you
to make you hear as I want you to hear me.
The wind of anguish still hauls on them as usual.
Sometimes hurricanes of dreams still knock them over.
You listen to other voices in my painful voice.
Lament of old mouths, blood of old supplications.
Love me, companion. Don't forsake me. Follow me.
Follow me, companion, on this wave of anguish.
But my words become stained with your love.
You occupy everything, you occupy everything.
I am making them into an endless necklace
for your white hands, smooth as grapes.
Agar kelak kau simak aku
kata-kataku
kadang tumbuh menerawang
seperti jejak-jejak camar di sepanjang pantai.
Kalung, lonceng kerasukan
untuk tanganmu halus, selembut buah anggur.
Dan kusaksikan kata-kataku
Kata-kata yang lebih punyamu daripada milikku.
Kata-kata yang memanjati nestapa lama bagai liana.
Ia juga merambati dinding-dinding kabut.
Kau menanggung kutuk untuk pertarungan kejam ini.
Kata-kata melarikan diri dari jerumun gelapku.
Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya.
Sebelum engkau, mereka menghuni kesunyian yang kau
tinggali, mereka lebih berguna bagi dukaku daripada kau.
Sekarang aku ingin mereka berkata apa yang ingin kukatakan
padamu, membuat kau mendengar apa yang kuinginkan
kau mendengarnya.
Angin penderitaan masih terkandung seperti biasa.
Sesekali mimpi puting beliung mengetuk juga.
Kau dengar, suara lain di dalam suara nestapaku.
Keluh mulut yang dahulu, darah permohonan dahulu jua.
Cintai aku, kawan. Jangan abaikan. Ikuti aku. Ikuti aku,
kawan, di ombang-ambing gelombang penderitaan ini.
Tapi kata-kataku jandi ternoda oleh cintamu.
Kau mengisi segalanya, kau mengisi semuanya.
Lalu kubuat kata-kataku menjadi kalung tak berujung
untuk tanganmu putih, halus selembut buah anggur.
So That You Will Hear Me
So that you will hear me
my words
sometimes grow thin
as the tracks of the gulls on the beaches.
Necklace, drunken bell
for your hands smooth as grapes.
And I watch my words from a long way off.
They are more yours than mine.
They climb on my old suffering like ivy.
It climbs the same way on damp walls.
You are to blame for this cruel sport.
They are fleeing from my dark lair.
You fill everything, you fill everything.
Before you they peopled the solitude that you occupy,
and they are more used to my sadness than you are.
Now I want them to say what I want to say to you
to make you hear as I want you to hear me.
The wind of anguish still hauls on them as usual.
Sometimes hurricanes of dreams still knock them over.
You listen to other voices in my painful voice.
Lament of old mouths, blood of old supplications.
Love me, companion. Don't forsake me. Follow me.
Follow me, companion, on this wave of anguish.
But my words become stained with your love.
You occupy everything, you occupy everything.
I am making them into an endless necklace
for your white hands, smooth as grapes.
Bersandar pada Hari Petang
Sajak Pablo Neruda
Bersandar pada hari petang kulempar jala dukaku
ke kedalaman samudera matamu.
Ada bubung lautan api amat tinggi, sepiku memanjang dan terkobar,
lengannya memutar arah seperti ada lelaki terbenam.
Kukirimkan sinyal merah ke seberang matamu yang tak ada
yang bergerak seperti laut di seputar mercusuar.
Yang tetap ada padamu adalah gelap, perempuan jauhku,
dari rasa hormatmu sesekali pantai ketakutan itu menjelma.
Bersandar pada hari petang kuterbangkan jala dukaku
ke laut itu yang mendebar-debar di samudera matamu.
Burung-burung malam mematuki bintang yang pertama
bintang yang berkilat seperti jiwaku kala kucinta engkau.
Malam menderap seperti bayang-bayang kuda betina
biru surainya berguguran menebar di muka bumi.
Leaning into the Afternoons
Leaning into the afternoons I cast my sad nets
towards your oceanic eyes.
There in the highest blaze my solitude lengthens and flames,
its arms turning like a drowning man's.
I send out red signals across your absent eyes
that move like the sea near a lighthouse.
You keep only darkness, my distant female,
from your regard sometimes the coast of dread emerges.
Leaning into the afternoons I fling my sad nets
to that sea that beats on your marine eyes.
The birds of night peck at the first stars
that flash like my soul when I love you.
The night gallops on its shadowy mare
shedding blue tassels over the land.
Bersandar pada hari petang kulempar jala dukaku
ke kedalaman samudera matamu.
Ada bubung lautan api amat tinggi, sepiku memanjang dan terkobar,
lengannya memutar arah seperti ada lelaki terbenam.
Kukirimkan sinyal merah ke seberang matamu yang tak ada
yang bergerak seperti laut di seputar mercusuar.
Yang tetap ada padamu adalah gelap, perempuan jauhku,
dari rasa hormatmu sesekali pantai ketakutan itu menjelma.
Bersandar pada hari petang kuterbangkan jala dukaku
ke laut itu yang mendebar-debar di samudera matamu.
Burung-burung malam mematuki bintang yang pertama
bintang yang berkilat seperti jiwaku kala kucinta engkau.
Malam menderap seperti bayang-bayang kuda betina
biru surainya berguguran menebar di muka bumi.
Leaning into the Afternoons
Leaning into the afternoons I cast my sad nets
towards your oceanic eyes.
There in the highest blaze my solitude lengthens and flames,
its arms turning like a drowning man's.
I send out red signals across your absent eyes
that move like the sea near a lighthouse.
You keep only darkness, my distant female,
from your regard sometimes the coast of dread emerges.
Leaning into the afternoons I fling my sad nets
to that sea that beats on your marine eyes.
The birds of night peck at the first stars
that flash like my soul when I love you.
The night gallops on its shadowy mare
shedding blue tassels over the land.
Aku Mengenangmu Seperti...
Sajak Pablo Neruda
Kukenang kau sebagai kau di musim gugur terakhir.
Dengan baret hijau dan senyap di hati kesunyian.
Di matamu lidah api senja hari bertarung berkobar.
Dan dedaunan berguguran ke muka kedung jiwamu.
Lenganku berangkulan seperti tanaman merambat.
Dalam teduh, dedaunan merangkum suaramu, perlahan.
Pukau unggun api membakar rasa hausku.
Anggun bakung biru, terpintal terjalin di jiwaku.
Seperti matamu mengembara, musim gugur jauh di sana:
baret kelabu, suara burung, hati seperti rumah mendekat
menjadi arah, kemana rindu yang parah berpindah
dan kecupan-kecupanku rubuh, bahagia bagai baraapi.
Langit dari sebuah kapal. Padang dari perbukitan:
Kenanganmu tercipta dari cahaya, kabut, dan kolam diam!
Melampaui matamu, menjauh lagi, malam-malam terbakar.
Dedaunan kering musim gugur menghambur di jiwamu.
I Remember You As You Were
I remember you as you were in the last autumn.
You were the grey beret and the still heart.
In your eyes the flames of the twilight fought on.
And the leaves fell in the water of your soul.
Clasping my arms like a climbing plant
the leaves garnered your voice, that was slow and at peace.
Bonfire of awe in which my thirst was burning.
Sweet blue hyacinth twisted over my soul.
I feel your eyes travelling, and the autumn is far off:
grey beret, voice of a bird, heart like a house
towards which my deep longings migrated
and my kisses fell, happy as embers.
Sky from a ship. Field from the hills:
Your memory is made of light, of smoke, of a still pond!
Beyond your eyes, farther on, the evenings were blazing.
Dry autumn leaves revolved in your soul.
Kukenang kau sebagai kau di musim gugur terakhir.
Dengan baret hijau dan senyap di hati kesunyian.
Di matamu lidah api senja hari bertarung berkobar.
Dan dedaunan berguguran ke muka kedung jiwamu.
Lenganku berangkulan seperti tanaman merambat.
Dalam teduh, dedaunan merangkum suaramu, perlahan.
Pukau unggun api membakar rasa hausku.
Anggun bakung biru, terpintal terjalin di jiwaku.
Seperti matamu mengembara, musim gugur jauh di sana:
baret kelabu, suara burung, hati seperti rumah mendekat
menjadi arah, kemana rindu yang parah berpindah
dan kecupan-kecupanku rubuh, bahagia bagai baraapi.
Langit dari sebuah kapal. Padang dari perbukitan:
Kenanganmu tercipta dari cahaya, kabut, dan kolam diam!
Melampaui matamu, menjauh lagi, malam-malam terbakar.
Dedaunan kering musim gugur menghambur di jiwamu.
I Remember You As You Were
I remember you as you were in the last autumn.
You were the grey beret and the still heart.
In your eyes the flames of the twilight fought on.
And the leaves fell in the water of your soul.
Clasping my arms like a climbing plant
the leaves garnered your voice, that was slow and at peace.
Bonfire of awe in which my thirst was burning.
Sweet blue hyacinth twisted over my soul.
I feel your eyes travelling, and the autumn is far off:
grey beret, voice of a bird, heart like a house
towards which my deep longings migrated
and my kisses fell, happy as embers.
Sky from a ship. Field from the hills:
Your memory is made of light, of smoke, of a still pond!
Beyond your eyes, farther on, the evenings were blazing.
Dry autumn leaves revolved in your soul.
Aku ingin jadi keheningan untukmu
Sajak Pablo Neruda
Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada,
dan kau dengar aku dari jauh, tapi suaraku tak menyentuhmu.
Seperti matamu yang mengalur hingga jauh
seperti ada sebuah kecupan yang mengunci mulutmu.
Seperti segalanya terpenuhi dengan jiwaku
Kau menjelma dari segalanya, memenuhi jiwaku.
Engkau seperti jiwaku, kupu-kupu mimpi,
dan engkau seperti kata Melakoli.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: dan kau berjauh jarak.
Suara itu seperti engkau meratap, seperti merpati suara kupu-kupu.
Kau mendengarku dari jauh, suaraku tak mencapaimu:
Biarkan aku datang padamu menjadi hening dalam sunyimu.
Dan biarkan aku bicara denganmu, dengan kesunyianmu
terang seperti lampu, seadanya bagai seutas cincin.
Engkau seperti malam, menyimpan keheningan dan konstelasi.
Sunyimu adalah bintang, memencil jauh dan bersembunyi.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada,
jauh jarak itu penuh nestapa itu seakan kau telah mati.
Lalu hanya satu kata, satu senyuman, cukup sudah.
Dan aku bahagia, bahagia karena segala menyaru palsu.
I like For You to be Still
I like for you to be still: it is as though you were absent,
and you hear me from far away and my voice does not touch you.
It seems as though your eyes had flown away
and it seems that a kiss had sealed your mouth.
As all things are filled with my soul
you emerge from the things, filled with my soul.
You are like my soul, a butterfly of dream,
and you are like the word Melancholy.
I like for you to be still, and you seem far away.
It sounds as though you were lamenting, a butterfly cooing like a dove.
And you hear me from far away, and my voice does not reach you:
Let me come to be still in your silence.
And let me talk to you with your silence
that is bright as a lamp, simple as a ring.
You are like the night, with its stillness and constellations.
Your silence is that of a star, as remote and candid.
I like for you to be still: it is as though you were absent,
distant and full of sorrow as though you had died.
One word then, one smile, is enough.
And I am happy, happy that it's not true.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada,
dan kau dengar aku dari jauh, tapi suaraku tak menyentuhmu.
Seperti matamu yang mengalur hingga jauh
seperti ada sebuah kecupan yang mengunci mulutmu.
Seperti segalanya terpenuhi dengan jiwaku
Kau menjelma dari segalanya, memenuhi jiwaku.
Engkau seperti jiwaku, kupu-kupu mimpi,
dan engkau seperti kata Melakoli.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: dan kau berjauh jarak.
Suara itu seperti engkau meratap, seperti merpati suara kupu-kupu.
Kau mendengarku dari jauh, suaraku tak mencapaimu:
Biarkan aku datang padamu menjadi hening dalam sunyimu.
Dan biarkan aku bicara denganmu, dengan kesunyianmu
terang seperti lampu, seadanya bagai seutas cincin.
Engkau seperti malam, menyimpan keheningan dan konstelasi.
Sunyimu adalah bintang, memencil jauh dan bersembunyi.
Aku ingin jadi keheningan untukmu: seakan kau tak ada,
jauh jarak itu penuh nestapa itu seakan kau telah mati.
Lalu hanya satu kata, satu senyuman, cukup sudah.
Dan aku bahagia, bahagia karena segala menyaru palsu.
I like For You to be Still
I like for you to be still: it is as though you were absent,
and you hear me from far away and my voice does not touch you.
It seems as though your eyes had flown away
and it seems that a kiss had sealed your mouth.
As all things are filled with my soul
you emerge from the things, filled with my soul.
You are like my soul, a butterfly of dream,
and you are like the word Melancholy.
I like for you to be still, and you seem far away.
It sounds as though you were lamenting, a butterfly cooing like a dove.
And you hear me from far away, and my voice does not reach you:
Let me come to be still in your silence.
And let me talk to you with your silence
that is bright as a lamp, simple as a ring.
You are like the night, with its stillness and constellations.
Your silence is that of a star, as remote and candid.
I like for you to be still: it is as though you were absent,
distant and full of sorrow as though you had died.
One word then, one smile, is enough.
And I am happy, happy that it's not true.
Semacam Wudhu yang
Sekian Lama Tertunda
Inikah awal subuh? Atau senja, hari yang lusuh?
Matahari disamarkan kabut. Matahari yang jauh.
Dan danau itu teramat damai. Aku curiga pada angin:
badai apa yang ia persiapkan sejak kemarin?
Inikah awal subuh? Atau senja, hari yang tak terbaca?
Langit gelap pada separuh lansekap. Aku berkaca pada
genangan air dua tangkup tangan. Aku tak lagi begitu
percaya pada bayangan itu: sungguhkah ini wajahku?
Sebenarnya aku hanya ingin membasuh muka:
semacam wudhu yang telah sekian lama tertunda.
7 karung topeng itu, memang harus kutinggalkan segera,
"Selamat tinggal dusta." Kutahu, pada siapa itu kukata.
Sekian Lama Tertunda
Inikah awal subuh? Atau senja, hari yang lusuh?
Matahari disamarkan kabut. Matahari yang jauh.
Dan danau itu teramat damai. Aku curiga pada angin:
badai apa yang ia persiapkan sejak kemarin?
Inikah awal subuh? Atau senja, hari yang tak terbaca?
Langit gelap pada separuh lansekap. Aku berkaca pada
genangan air dua tangkup tangan. Aku tak lagi begitu
percaya pada bayangan itu: sungguhkah ini wajahku?
Sebenarnya aku hanya ingin membasuh muka:
semacam wudhu yang telah sekian lama tertunda.
7 karung topeng itu, memang harus kutinggalkan segera,
"Selamat tinggal dusta." Kutahu, pada siapa itu kukata.
Saturday, October 30, 2004
Pagi yang Penuh Seluruh
Sajak Pablo Neruda
Pagi yang penuh dengan badai ganas
di hati yang kini musim panas.
Awan mengembara bagai sapu tangan putih perpisahan,
angin, bepergian, melambaikannya di segenap tangan.
Hati angin yang tak terbilang ada
berdebaran pada kebisuan cinta kita.
Seperti takdir dan orkestra, bersuara di antara pepohonan
seperti bahasa yang disesaki perang dan tembang.
Sehembus lekas angin membawa dedaunan mati
menangkis anak panah beruntuntun burung-burung.
Seombak angin menghembusnya telanjang dada
tanpa percik, ringan tapi ada, seperti api.
Kecupan-kecupannya pecah dan lalu tenggelam,
Menyerbu memburu ke pintu angin musim panas.
The Morning is Full
The morning is full of storm
in the heart of summer.
The clouds travel like white handkerchiefs of goodbye,
the wind, travelling, waving them in its hands.
The numberless heart of the wind
beating above our loving silence.
Orchestral and divine, resounding among the trees
like a language full of wars and songs.
Wind that bears off the dead leaves with a quick raid
and deflects the pulsing arrows of the birds.
Wind that topples her in a wave without spray
and substance without weight, and leaning fires.
Her mass of kisses breaks and sinks,
assailed in the door of the summer's wind.
Pagi yang penuh dengan badai ganas
di hati yang kini musim panas.
Awan mengembara bagai sapu tangan putih perpisahan,
angin, bepergian, melambaikannya di segenap tangan.
Hati angin yang tak terbilang ada
berdebaran pada kebisuan cinta kita.
Seperti takdir dan orkestra, bersuara di antara pepohonan
seperti bahasa yang disesaki perang dan tembang.
Sehembus lekas angin membawa dedaunan mati
menangkis anak panah beruntuntun burung-burung.
Seombak angin menghembusnya telanjang dada
tanpa percik, ringan tapi ada, seperti api.
Kecupan-kecupannya pecah dan lalu tenggelam,
Menyerbu memburu ke pintu angin musim panas.
The Morning is Full
The morning is full of storm
in the heart of summer.
The clouds travel like white handkerchiefs of goodbye,
the wind, travelling, waving them in its hands.
The numberless heart of the wind
beating above our loving silence.
Orchestral and divine, resounding among the trees
like a language full of wars and songs.
Wind that bears off the dead leaves with a quick raid
and deflects the pulsing arrows of the birds.
Wind that topples her in a wave without spray
and substance without weight, and leaning fires.
Her mass of kisses breaks and sinks,
assailed in the door of the summer's wind.
Nyaris Saja Melampaui Angkasa
Sajak Pablo Neruda
Nyaris saja melampaui angkasa, separo bulan
menautkan jangkar di antara dua pegunungan.
Bertukaran, malam melayah, si penggali mata.
Tengok, ada bintang-bintang terbanting di kolam.
Ada persimpangan duka antara dua mataku, dan lekas berlalu.
Menempa logam biru, malam bagi pertempuran kesunyian.
Hatiku bergulung bertukar, seperti roda-roda gila.
Gadis yang datang dari jauh, terbawa dari jauh,
sesekali kelebatmu menyambar di lengkung langit.
Gemuruh, badai guruh, puting beliung kemarahan,
kau memapas di atas hatiku tanpa terhentikan.
Angin dari pemakaman terbawa lari, merongsokkan,
menghamburkan akarmu yang tadinya lelap damai.
Pohon besar di sisian lain, sisiannya, terbantun.
Tapi kau, gadis tanpa awan, pertanyaan kabut, malai jagung.
Di belakang gunung-gunung malam, lily putih lautan api,
Ah, tak ada yang bisa kusebut lagi! Kau adalah segalanya.
Rindu yang mengiris dadaku berkepingan, inilah saatnya
melintasi ke jalan lain, mengelakinya, menghindar senyuman.
Badai mengubur lonceng-lonceng, pusaran lumpur penyiksaan,
kenapa menyentuhnya sekarang, kenapa memurungkannya.
Oh, ikuti saja jalan yang membawamu jauh dari segalanya.
tanpa nestapa, kematian, musim dingin menanti di sana
dengan matanya terbuka karena embun yang ada.
Almost Out of the Sky
Almost out of the sky, half of the moon
anchors between two mountains.
Turning, wandering night, the digger of eyes.
Let's see how many stars are smashed in the pool.
It makes a cross of mourning between my eyes, and runs away.
Forge of blue metals, nights of stilled combats,
my heart revolves like a crazy wheel.
Girl who have come from so far, been brought from so far,
sometimes your glance flashes out under the sky.
Rumbling, storm, cyclone of fury,
you cross above my heart without stopping.
Wind from the tombs carries off, wrecks, scatters your sleepy root.
The big trees on the other side of her, uprooted.
But you, cloudless girl, question of smoke, corn tassel.
You were what the wind was making with illuminated leaves.
Behind the nocturnal mountains, white lily of conflagration,
ah, I can say nothing! You were made of everything.
Longing that sliced my breast into pieces,
it is time to take another road, on which she does not smile.
Storm that buries the bells, muddy swirl of torments,
why touch her now, why make her sad.
Oh to follow the road that leads away from everything,
without anguish, death, winter waiting along it
with their eyes open through the dew.
Nyaris saja melampaui angkasa, separo bulan
menautkan jangkar di antara dua pegunungan.
Bertukaran, malam melayah, si penggali mata.
Tengok, ada bintang-bintang terbanting di kolam.
Ada persimpangan duka antara dua mataku, dan lekas berlalu.
Menempa logam biru, malam bagi pertempuran kesunyian.
Hatiku bergulung bertukar, seperti roda-roda gila.
Gadis yang datang dari jauh, terbawa dari jauh,
sesekali kelebatmu menyambar di lengkung langit.
Gemuruh, badai guruh, puting beliung kemarahan,
kau memapas di atas hatiku tanpa terhentikan.
Angin dari pemakaman terbawa lari, merongsokkan,
menghamburkan akarmu yang tadinya lelap damai.
Pohon besar di sisian lain, sisiannya, terbantun.
Tapi kau, gadis tanpa awan, pertanyaan kabut, malai jagung.
Di belakang gunung-gunung malam, lily putih lautan api,
Ah, tak ada yang bisa kusebut lagi! Kau adalah segalanya.
Rindu yang mengiris dadaku berkepingan, inilah saatnya
melintasi ke jalan lain, mengelakinya, menghindar senyuman.
Badai mengubur lonceng-lonceng, pusaran lumpur penyiksaan,
kenapa menyentuhnya sekarang, kenapa memurungkannya.
Oh, ikuti saja jalan yang membawamu jauh dari segalanya.
tanpa nestapa, kematian, musim dingin menanti di sana
dengan matanya terbuka karena embun yang ada.
Almost Out of the Sky
Almost out of the sky, half of the moon
anchors between two mountains.
Turning, wandering night, the digger of eyes.
Let's see how many stars are smashed in the pool.
It makes a cross of mourning between my eyes, and runs away.
Forge of blue metals, nights of stilled combats,
my heart revolves like a crazy wheel.
Girl who have come from so far, been brought from so far,
sometimes your glance flashes out under the sky.
Rumbling, storm, cyclone of fury,
you cross above my heart without stopping.
Wind from the tombs carries off, wrecks, scatters your sleepy root.
The big trees on the other side of her, uprooted.
But you, cloudless girl, question of smoke, corn tassel.
You were what the wind was making with illuminated leaves.
Behind the nocturnal mountains, white lily of conflagration,
ah, I can say nothing! You were made of everything.
Longing that sliced my breast into pieces,
it is time to take another road, on which she does not smile.
Storm that buries the bells, muddy swirl of torments,
why touch her now, why make her sad.
Oh to follow the road that leads away from everything,
without anguish, death, winter waiting along it
with their eyes open through the dew.
Thursday, October 28, 2004
Tiga Baris Cinta
Aku mau tenggelam dalam cinta yang menggenggam
tak ada lagi arus sungai, tak kita cari lagi jembatan
hanya tangan berpegangan. hanya kita berangkulan.
tak ada lagi arus sungai, tak kita cari lagi jembatan
hanya tangan berpegangan. hanya kita berangkulan.
Wednesday, October 27, 2004
Bayangan Mencair
: fotografi kegundahan
jika bukan tersebab basah disentuh lidah ombak,
tak kan tampak bayang di pantai: lantai batu itu.
jika bukan karena aku yang terdampar telanjang,
tak kan kucari wajahku pada bayang mencair itu.
jika tidak pada senja hitam, matahari nyaris silam,
hempas ombak itu tanpa suara. Laut yang diam.
kukira inilah fotografi kegundahan itu. Sehelai potret,
tanpa studio: ruang gelap membasuh selembar diriku.
jika bukan tersebab basah disentuh lidah ombak,
tak kan tampak bayang di pantai: lantai batu itu.
jika bukan karena aku yang terdampar telanjang,
tak kan kucari wajahku pada bayang mencair itu.
jika tidak pada senja hitam, matahari nyaris silam,
hempas ombak itu tanpa suara. Laut yang diam.
kukira inilah fotografi kegundahan itu. Sehelai potret,
tanpa studio: ruang gelap membasuh selembar diriku.
Pada Sebuah Senja di Langitku
Sajak Pablo Neruda
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jadi cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, bagiku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
In My Sky at Twilight
This poem is a paraphrase
of the 30th poem in
Rabindranath Tagore's
The Gardener
In my sky at twilight you are like a cloud
and your form and color are the way I love them.
You are mine, mine, woman with sweet lips
and in your life my infinite dreams live.
The lamp of my soul dyes your feet,
My sour wine is sweeter on your lips,
oh reaper of my evening song,
how solitary dreams believe you to be mine!
You are mine, mine, I go shouting it to the afternoon's
wind, and the wind hauls on my widowed voice.
Huntress of the depths of my eyes, you plunder
stills your nocturnal regard as though it were water.
You are taken in the net of my music, my love,
and my nets of music are wide as the sky.
My soul is born on the shore of your eyes of mourning.
In your eyes of mourning the land of dreams begins.
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jadi cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, bagiku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
In My Sky at Twilight
This poem is a paraphrase
of the 30th poem in
Rabindranath Tagore's
The Gardener
In my sky at twilight you are like a cloud
and your form and color are the way I love them.
You are mine, mine, woman with sweet lips
and in your life my infinite dreams live.
The lamp of my soul dyes your feet,
My sour wine is sweeter on your lips,
oh reaper of my evening song,
how solitary dreams believe you to be mine!
You are mine, mine, I go shouting it to the afternoon's
wind, and the wind hauls on my widowed voice.
Huntress of the depths of my eyes, you plunder
stills your nocturnal regard as though it were water.
You are taken in the net of my music, my love,
and my nets of music are wide as the sky.
My soul is born on the shore of your eyes of mourning.
In your eyes of mourning the land of dreams begins.
Cukup Dadamu Saja Buatku
Sajak Pablo Neruda
Cukup dadamu saja buat hatiku,
dan sayapku untuk kebebasanmu.
Apa yang tertidur di jiwamu kelak
bangun dari mulutku, ke surga menuju.
Padamu ada ilusi segenap hari-hari.
Kau datang seperti embun ke mangkuk bunga-bunga.
Ketika kau tiada, kau guyahkan kaki langit.
Seperti ombak: terbang, mengangkasa, selamanya.
Telah kusabdakan: kau bernyanyi di deru angin
seperti guruh pinus, seperti dentang tiang.
Seperti keduanya, engkau tinggi, berdiam,
dirudung murung. Kau: bagai pelayaran itu.
Kau libatkan segalanya seperti jalanan tua.
Kau dihuni gema-gema dan suara nostalgia.
Aku bangun ketika burung terbang dan beralih benua
aku dan burung yang telah lama tidur di jiwamu.
Your Breast is Enough
Your breast is enough for my heart,
and my wings for your freedom.
What was sleeping above your soul will rise
out of my mouth to heaven.
In you is the illusion of each day.
You arrive like the dew to the cupped flowers.
You undermine the horizon with your absence.
Eternally in flight like the wave.
I have said that you sang in the wind
like the pines and like the masts.
Like them you are tall and taciturn,
and you are sad, all at once, like a voyage.
You gather things to you like an old road.
You are peopled with echoes and nostalgic voices.
I awoke and at times birds fled and migrated
that had been sleeping in your soul.
Cukup dadamu saja buat hatiku,
dan sayapku untuk kebebasanmu.
Apa yang tertidur di jiwamu kelak
bangun dari mulutku, ke surga menuju.
Padamu ada ilusi segenap hari-hari.
Kau datang seperti embun ke mangkuk bunga-bunga.
Ketika kau tiada, kau guyahkan kaki langit.
Seperti ombak: terbang, mengangkasa, selamanya.
Telah kusabdakan: kau bernyanyi di deru angin
seperti guruh pinus, seperti dentang tiang.
Seperti keduanya, engkau tinggi, berdiam,
dirudung murung. Kau: bagai pelayaran itu.
Kau libatkan segalanya seperti jalanan tua.
Kau dihuni gema-gema dan suara nostalgia.
Aku bangun ketika burung terbang dan beralih benua
aku dan burung yang telah lama tidur di jiwamu.
Your Breast is Enough
Your breast is enough for my heart,
and my wings for your freedom.
What was sleeping above your soul will rise
out of my mouth to heaven.
In you is the illusion of each day.
You arrive like the dew to the cupped flowers.
You undermine the horizon with your absence.
Eternally in flight like the wave.
I have said that you sang in the wind
like the pines and like the masts.
Like them you are tall and taciturn,
and you are sad, all at once, like a voyage.
You gather things to you like an old road.
You are peopled with echoes and nostalgic voices.
I awoke and at times birds fled and migrated
that had been sleeping in your soul.
Lebah Putih
Sajak Pablo Neruda
Lebah putih, kau mendengung di jiwaku, mabuk madu,
angin kibasan sayapmu melingkarkan asap perlahan.
Akulah dia yang tak berharapan, kata tanpa suara gema.
Akulah dia yang kehilangan, dan mendapatkan segalanya.
Pada tambang kapal penghabisan, berderit rinduku.
Pulauku kering, kau di sana bunga mawar terakhirku.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Biarkan ceruk matamu mengatup. Di sana malam gugup.
Ah tubuhmu, patung yang ketakutan. Sempurna telanjang.
Matamu, mata yang dalam, di mana melecut malam.
Lengan dingin bunga-bunga, dan selingkar mawar.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Ada kesunyian itu, tersebab engkau tak ada.
Hujan turun. Angin laut memburu camar tersasar.
Maka tampak payudaramu bagai siput putih.
Kupu-kupu bayang singgah tidur di perutmu.
Di jalanan basah, air melangkah dengan kaki telanjang.
Di pohon itu, dedaunan demam menggerutu.
Lebah putih, ketika kau tak ada pun, kau berdengung di jiwaku
Dalam waktu kau hadir lagi, tak kasat mata, tak bersuara.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
White Bee
White bee, you buzz in my soul, drunk with honey,
and your flight winds in slow spirals of smoke.
I am the one without hope, the word without echoes,
he who lost everything and he who had everything.
Last hawser, in you creaks my last longing.
In my barren land you are the final rose.
Ah you who are silent!
Let your deep eyes close. There the night flutters.
Ah your body, a frightened statue, naked.
You have deep eyes in which the night flails.
Cool arms of flowers and a lap of rose.
Your breasts seem like white snails.
A butterfly of shadow has come to sleep on your belly.
Ah you who are silent!
Here is the solitude from which you are absent.
It is raining. The sea wind is hunting stray gulls.
The water walks barefoot in the wet streets.
From that tree the leaves complain as though they were sick.
White bee, even when you are gone you buzz in my soul
You live again in time, slender and silent.
Ah you who are silent!
Lebah putih, kau mendengung di jiwaku, mabuk madu,
angin kibasan sayapmu melingkarkan asap perlahan.
Akulah dia yang tak berharapan, kata tanpa suara gema.
Akulah dia yang kehilangan, dan mendapatkan segalanya.
Pada tambang kapal penghabisan, berderit rinduku.
Pulauku kering, kau di sana bunga mawar terakhirku.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Biarkan ceruk matamu mengatup. Di sana malam gugup.
Ah tubuhmu, patung yang ketakutan. Sempurna telanjang.
Matamu, mata yang dalam, di mana melecut malam.
Lengan dingin bunga-bunga, dan selingkar mawar.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
Ada kesunyian itu, tersebab engkau tak ada.
Hujan turun. Angin laut memburu camar tersasar.
Maka tampak payudaramu bagai siput putih.
Kupu-kupu bayang singgah tidur di perutmu.
Di jalanan basah, air melangkah dengan kaki telanjang.
Di pohon itu, dedaunan demam menggerutu.
Lebah putih, ketika kau tak ada pun, kau berdengung di jiwaku
Dalam waktu kau hadir lagi, tak kasat mata, tak bersuara.
Ah, engkau. Engkau yang bergeming diam.
White Bee
White bee, you buzz in my soul, drunk with honey,
and your flight winds in slow spirals of smoke.
I am the one without hope, the word without echoes,
he who lost everything and he who had everything.
Last hawser, in you creaks my last longing.
In my barren land you are the final rose.
Ah you who are silent!
Let your deep eyes close. There the night flutters.
Ah your body, a frightened statue, naked.
You have deep eyes in which the night flails.
Cool arms of flowers and a lap of rose.
Your breasts seem like white snails.
A butterfly of shadow has come to sleep on your belly.
Ah you who are silent!
Here is the solitude from which you are absent.
It is raining. The sea wind is hunting stray gulls.
The water walks barefoot in the wet streets.
From that tree the leaves complain as though they were sick.
White bee, even when you are gone you buzz in my soul
You live again in time, slender and silent.
Ah you who are silent!
Tuesday, October 26, 2004
Saturday, October 23, 2004
Pada Sebuah Senja di Langitku
Sajak Pablo Neruda
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jatuh cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, milikku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
* Sajak ini adalah parafrase dari sajak ke-30 dalam Buku
Penjaga Taman (The Gardener) karya Rabindranath Tagore.
Pada sebuah senja, di langitku, kau menjelma jadi awan
aku jatuh cinta tersebab bentuk dan warna-warnamu itu.
Engkau milikku, milikku, perempuan berbibir madu
dan dalam hidupmu, mimpi-mimpiku tak mati-mati.
Nyala pelita di jiwaku membasuh kedua kakimu,
Anggurku yang masam, terasa lebih manis di bibirmu,
Lagu pujian malamku, seluruhnya hanya bagimu,
O betapa ada satu mimpi: meyakini kau jadi milikku!
Kau milikku. Milikku. Kuteriakkan pada angin petang,
dan angin pun menghela suaraku nelangsa di pundaknya.
Pemburu kedalaman mataku, engkau si perampas
sebab masih saja naluri malammu mengira ia telaga.
Kau terperangkap dalam jaring musikku, Sayangku,
dan perangkap musikku itu meluas seluas angkasa.
Jiwaku lahir pada pantai perkabungan di matamu.
Di mata berkabungmu itu, negeri mimpi memulai diri.
Friday, October 22, 2004
[Ruang Renung # 99] Baris Pertama Begitu Menggoda
SAYA tiba-tiba begitu tertarik dengan baris pertama puisi. Dalam sajak-sajak Pablo Neruda dan William Shakespeare, terutama yang tak berjudul, pada daftar isi bukunya hanya dituliskan baris pertama setiap sajak. Neruda pada usia dini sudah menulis kumpulan puisi "100 Soneta Cinta" dan "20 Sajak Cinta dan Nyanyian Putus Harapan". Keduanya hanya mengurutkan puisi dengan angka Romawi. Tanpa judul. Demikian halnya soneta-soneta Shakespeare.
MEMBACA sajak-sajak kedua penyair itulah saya jadi tiba-tiba tertarik dengan barit pertama. Ternyata, baris pertama bisa menjadi penanda sebuah puisi. Bisa menjadi semacam judul, yang membuat sang isi puisi jadi lebih nyaman dinikmati.
KARENA itu saya berpikir: barangkali memang ada sesuatu, semacam kekuatan, semacam daya tarik dalam baris pertama sebuah puisi. Dengan atau tanpa judul. Karena itu saya jadi menyusun semacam kecurigaan: barangkali memang harus begitulah puisi. Bukankah dalam tulisan jurnalistik ada yang dinamakan kepala berita. Pada kepala berita itulah dipertaruhkan apakah berita itu menarik dibaca atau tidak. Barangkali ada baiknya juga kita menulis kepala bait dalam puisi kita.
SAYA hanya membarangkalikan saja. Kalaupun mau dipercaya, mungkin kita harus mengutip kalimat dari sebuah iklan wewangian. "Kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah Anda." Kalau pada bait pertama saja kita berhasil menggoda pembaca, maka seharusnya pada bait-bait berikutnya godaan itu bisa lebih besar lagi adanya. Dan yang menggoda itu akan lebih menggoda kalau kita seolah membebaskan pembaca untuk terus membaca atau tidak. Pokoknya: terserah Anda, Pembaca. Juga terserah Anda, mau percaya tulisan ini atau tidak.[hah]
MEMBACA sajak-sajak kedua penyair itulah saya jadi tiba-tiba tertarik dengan barit pertama. Ternyata, baris pertama bisa menjadi penanda sebuah puisi. Bisa menjadi semacam judul, yang membuat sang isi puisi jadi lebih nyaman dinikmati.
KARENA itu saya berpikir: barangkali memang ada sesuatu, semacam kekuatan, semacam daya tarik dalam baris pertama sebuah puisi. Dengan atau tanpa judul. Karena itu saya jadi menyusun semacam kecurigaan: barangkali memang harus begitulah puisi. Bukankah dalam tulisan jurnalistik ada yang dinamakan kepala berita. Pada kepala berita itulah dipertaruhkan apakah berita itu menarik dibaca atau tidak. Barangkali ada baiknya juga kita menulis kepala bait dalam puisi kita.
SAYA hanya membarangkalikan saja. Kalaupun mau dipercaya, mungkin kita harus mengutip kalimat dari sebuah iklan wewangian. "Kesan pertama begitu menggoda. Selanjutnya terserah Anda." Kalau pada bait pertama saja kita berhasil menggoda pembaca, maka seharusnya pada bait-bait berikutnya godaan itu bisa lebih besar lagi adanya. Dan yang menggoda itu akan lebih menggoda kalau kita seolah membebaskan pembaca untuk terus membaca atau tidak. Pokoknya: terserah Anda, Pembaca. Juga terserah Anda, mau percaya tulisan ini atau tidak.[hah]
Tubuhnya: Tubuh Seorang Perempuan
Sajak Pablo Neruda
Tubuh seorang perempuan, putih pebukitan, putih dua paha,
Engkau tampak bagai dunia, pada pasrah menghampar.
Tubuh jumudku, akulah petani menggali pada tubuhmu
lalu kuciptakan anak berlompatan dari kedalaman bumi.
Aku sendiri bagai terowongan. Burung-burung berhamburan,
dan malam membanjiriku dengan invasi, sebenar serangan.
Aku bertahan, aku menempamu jadi serupa hunus senjata,
seperti panah di busurku, sebongkah batu dalam tali umban.
Tapi saat pembalasan dendam luruh, maka kucintai engkau.
Tubuhmu: kulit, lumut, desak hasrat, susu yang memadu.
O, gelas piala payudara. O, mata yang nyimpan ketiadaan!
O, mawar pinka di pupumu. O, suaramu, hanya bisik berduka.
Tubuh seorang perempuan. Aku bertahan dalam semarakmu.
Haus rasaku, tak berbatas hasratku, tak berujung jalanku.
Sungai bertebing gelap, di sana mengalir haus yang kekal
dan rasa letih menyusul. Lalu pedih yang terus berterusan.
Woman on Her Deathbed, April 1883, Vincent Van Gohg
Tubuh seorang perempuan, putih pebukitan, putih dua paha,
Engkau tampak bagai dunia, pada pasrah menghampar.
Tubuh jumudku, akulah petani menggali pada tubuhmu
lalu kuciptakan anak berlompatan dari kedalaman bumi.
Aku sendiri bagai terowongan. Burung-burung berhamburan,
dan malam membanjiriku dengan invasi, sebenar serangan.
Aku bertahan, aku menempamu jadi serupa hunus senjata,
seperti panah di busurku, sebongkah batu dalam tali umban.
Tapi saat pembalasan dendam luruh, maka kucintai engkau.
Tubuhmu: kulit, lumut, desak hasrat, susu yang memadu.
O, gelas piala payudara. O, mata yang nyimpan ketiadaan!
O, mawar pinka di pupumu. O, suaramu, hanya bisik berduka.
Tubuh seorang perempuan. Aku bertahan dalam semarakmu.
Haus rasaku, tak berbatas hasratku, tak berujung jalanku.
Sungai bertebing gelap, di sana mengalir haus yang kekal
dan rasa letih menyusul. Lalu pedih yang terus berterusan.
Woman on Her Deathbed, April 1883, Vincent Van Gohg
Nyanyian Putus Harapan
Sajak Pablo Neruda
Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.
Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, O aku yang tinggal sepi.
Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
O lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.
Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.
Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.
Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!
Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!
Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.
Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.
Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.
Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.
Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.
Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.
Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan
Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.
Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.
Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.
Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.
Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!
O puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.
Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.
Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
O puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.
Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.
Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.
Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku
.
O jauh dari segala, O terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. O seorang telah disiakan!
Kenangan tentangmu bangkit dari malam seputarku.
Sungai membaurkan keluh kesahnya dengan laut.
Tinggal sunyi sendiri, bagai para liliput di fajar hari.
Ini jam bagi keberangkatan, O aku yang tinggal sepi.
Bungkul kuntum bunga beku menghujani hatiku.
O lorong runtuh, puing berkeping kapal karam.
Padamu yang perang dan yang terbang tersatu.
Darimu sayap-sayap pada lagu burung terbangkit.
Engkau menelan habis segalanya, seperti jarak.
Seperti laut, seperti waktu. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya, waktu yang leluasa menyerang dan mengecup.
Waktu untuk mengeja apa yang berkobar: rumah cahaya.
Ketakutan penerbang pesawat, kegeraman pengemudi buta.
gerak acak Cinta yang mabuk. Padamu segala terbenam!
Di masa kanak kabut jiwaku, bersayap dan terluka.
Penjelajah pun tersesat. Padamu segala terbenam!
Maka kugambar lagi, kubangun dinding bayang,
antara bertindak dan angan, kaki kulangkahkan.
Oh daging, dagingku sendiri, perempuan terkasih yang hilang,
Aku memanggilmu di jam basah, kuteriakkan lagu bagimu.
Seperti guci, engkau berumah di kerapuhan tak hingga.
dan melupa yang tak hingga menghancurmu seperti guci.
Ada kesunyian pulau-pulau yang hitam. Dan di
sana, perempuan dengan cinta, tanganmu meraihku.
Ada rasa haus dan lapar, dan engkaulah buah-buahan.
Ada batu nisan dan reruntuhan, dan engkau keajaiban.
Ah perempuan, tak tahu aku, bagaimana kau mengisiku,
di bumi jiwamu, di dekap rengkuhnya kedua lenganmu.
Dahsyat dan ganasnya, angan inginku menuju engkau,
Betapa sulit dan kepayang, betapa keras dan keranjingan
Makam-makam kecupan, masih ada api di kuburmu,
masih ada buah terbakar, dipatuk-patuki burung.
Pada mulut yang tergigit, cabang-cabang terkecup,
pada geligi yang lapar, pada tubuh-tubuh terlilitkan.
Oh sepasang kegilaan: harapan dan kekuatan,
di mana kita bersatu menyatu lalu dikecewakan.
Dan kelembutan itu, sinar adalah air dan serbuk.
Dan kata-kata mencekam, mulai ada di bibir.
Inilah takdirku dan perjalananku, dan kerinduanku
dan ketika rindu menimpa, padamu segala terbenam!
O puing-puing reruntuhan, semua jatuh menimpamu,
derita yang tak kauucap, derita yang tak kau genangkan.
Dari gelombang ke gelombang masih kau seru berlagu
Berdiri tegak seperti pelaut di haluan kapal.
Engkau masih mekar dalam lagu, menunggangi arus.
O puing retuntuhan, membuka sumur yang empedu.
Si pengendara yang rabun, penyandang tanpa keberuntungan
si pencari jejak yang sesat. Padamu segala terbenam!
Ini saatnya keberangkatan, saat yang keras membeku
Malam yang dipercepat pada setiap jadwal-jadwal.
Debar sabuk-sabuk samudera membebat pantai
Bintang yang beku memberat, burung hitam beranjak.
Tertinggal sunyi sendiri, seperti dermaga di fajar hari,
Hanya ada bayang gemetar meliuk di dua tanganku
.
O jauh dari segala, O terpencil dari segala.
Ini saatnya berangkat. O seorang telah disiakan!
Wednesday, October 20, 2004
Kursus Kebohongan
/1/
aku sedang belajar bahasa diam
agar bisa kuterjemahkan
yang hendak, sedang dan telah
Engkau katakan, Puisiku.
/2/
aku sedang belajar bahasa puisi
agar bisa kutafsirkan
yang hendak, sedang dan telah
Engkau rahasiakan, Diamku.
Hae Kyong Lee Dancer
aku sedang belajar bahasa diam
agar bisa kuterjemahkan
yang hendak, sedang dan telah
Engkau katakan, Puisiku.
/2/
aku sedang belajar bahasa puisi
agar bisa kutafsirkan
yang hendak, sedang dan telah
Engkau rahasiakan, Diamku.
Hae Kyong Lee Dancer
Tuesday, October 19, 2004
Setelah Setahun Kesunyian
Syair Jalaluddin Rumi
Tentang seseorang di pintu Sang Kekasih
dan mengetuk. Ada suara bertanya, "Siapa di sana?"
Dia menjawab, "Ini Aku."
Sang suara berkata, "Tak ada ruang untuk Aku dan Kamu."
Pintu tetap menutup.
Setelah setahun kesunyian dan kehilangan, dia kembali
dan mengetuk lagi. Suara dari dalam bertanya, "Siapa di sana?"
Dia berkata, "Inilah Engkau."
Maka, sang pintu pun membuka untuknya.
Tentang seseorang di pintu Sang Kekasih
dan mengetuk. Ada suara bertanya, "Siapa di sana?"
Dia menjawab, "Ini Aku."
Sang suara berkata, "Tak ada ruang untuk Aku dan Kamu."
Pintu tetap menutup.
Setelah setahun kesunyian dan kehilangan, dia kembali
dan mengetuk lagi. Suara dari dalam bertanya, "Siapa di sana?"
Dia berkata, "Inilah Engkau."
Maka, sang pintu pun membuka untuknya.
Kegamangan Musim Semi
Syair Jalaluddin Rumi
Hari ini, seperti hari-hari lain, kita terbangun dengan perasaan
kosong dan dicekam ketakutan. Jangan buka pintu menuntut ilmu
dan mulailah saja membaca. Letakkan saja perangkat musik.
Biarkan keindahan yang kita cinta, menjadi apa yang kita kerjakan.
Ada seratus cara untuk bersujud dan mencium wajah tanah.
Hari ini, seperti hari-hari lain, kita terbangun dengan perasaan
kosong dan dicekam ketakutan. Jangan buka pintu menuntut ilmu
dan mulailah saja membaca. Letakkan saja perangkat musik.
Biarkan keindahan yang kita cinta, menjadi apa yang kita kerjakan.
Ada seratus cara untuk bersujud dan mencium wajah tanah.
Sejumlah Kartu yang Tak Pernah Kukirim Padamu
/1/
WALAU pun minta maaf itu sebuah kesalahan
aku akan terus memohonkannya padamu atas
kesalahan-kesalahanku, sampai aku menemukan
cara lain untuk menebus rasa salah ini hingga
tak tercatat sehuruf pun di buku tagihan piutangmu.
HINGGA lunas kau dan aku. Tutup buku.
/2/
AKU punya dua buku. Buku pertama untuk mencatat
kebaikan-kebaikanmu. Dan buku kedua untuk mengingat
kesalahan-kesalahanku padamu. Hanya saja aku kadang
lupa, lalai membedakan sebuah peristiwa harus dicatat
di buku pertama atau buku yang kedua. Maafkan aku,
"MUNGKIN kau perlu buku ketiga," dulu rasanya kau pernah
menyarankan itu. Tapi, aku tak mengingat apalagi mencatat.
/3/
AKU punya selembar kartu khusus buatmu. Aku sudah
lama ingin menuliskan sesuatu yang khusus buatmu
di kartu itu. Aku sejak dulu terus berupaya menggubah
kalimat khusus yang hendak kutulis di kartu buatmu itu.
TAPI, aku selalu merasa tidak teramat khusus buatmu,
jadi kutuliskan saja kalimat ini, dan tentu kau tidak tahu,
betapa bahagianya aku karena hingga saat ini aku bisa
menyimpannya di tempat yang khusus di dalam diriku.
WALAU pun minta maaf itu sebuah kesalahan
aku akan terus memohonkannya padamu atas
kesalahan-kesalahanku, sampai aku menemukan
cara lain untuk menebus rasa salah ini hingga
tak tercatat sehuruf pun di buku tagihan piutangmu.
HINGGA lunas kau dan aku. Tutup buku.
/2/
AKU punya dua buku. Buku pertama untuk mencatat
kebaikan-kebaikanmu. Dan buku kedua untuk mengingat
kesalahan-kesalahanku padamu. Hanya saja aku kadang
lupa, lalai membedakan sebuah peristiwa harus dicatat
di buku pertama atau buku yang kedua. Maafkan aku,
"MUNGKIN kau perlu buku ketiga," dulu rasanya kau pernah
menyarankan itu. Tapi, aku tak mengingat apalagi mencatat.
/3/
AKU punya selembar kartu khusus buatmu. Aku sudah
lama ingin menuliskan sesuatu yang khusus buatmu
di kartu itu. Aku sejak dulu terus berupaya menggubah
kalimat khusus yang hendak kutulis di kartu buatmu itu.
TAPI, aku selalu merasa tidak teramat khusus buatmu,
jadi kutuliskan saja kalimat ini, dan tentu kau tidak tahu,
betapa bahagianya aku karena hingga saat ini aku bisa
menyimpannya di tempat yang khusus di dalam diriku.
Saturday, October 16, 2004
Selalu Sesegar Cinta
Syair Jalaluddin Rumi
Taman Cinta
hijau tak berbatas warna
memberi panen seluruh buah
lebih dari derita
dan bahagia.
Cinta melampaui seluruh
musim yang ada:
tanpa musim semi,
tanpa musim gugur,
ia selalu sesegar Cinta.
Taman Cinta
hijau tak berbatas warna
memberi panen seluruh buah
lebih dari derita
dan bahagia.
Cinta melampaui seluruh
musim yang ada:
tanpa musim semi,
tanpa musim gugur,
ia selalu sesegar Cinta.
[Ruang Renung # 98] Puisi yang Cepat Berakhir
SEPANJANG apakah puisi harus ditulis? Tak ada ketentuan, kecuali untuk puisi-puisi yang memili bentuk tetap. Haiku misalnya. Puisi yang tidak tiga baris, dan tidak 17 suku kata dalam bahasa Jepang, pasti tak bisa disebut haiku. Kalau pantun pasti dia harus empat baris. Sebait gurindam isinya harus dua baris.
PUISI bebas tidak punya batasan panjang. Namanya juga bebas. Satu baris boleh. Satu kata saja pun boleh. Mau panjang? Tentu boleh juga. Ada lho puisi yang menghabiskan sembilan halaman buku.
TIDAK menulis apa-apa juga bisa disebut puisi. Beri judul lalu isikan saja titik-titik pada isinya. Asal judulnya cocok, bisa saja orang percaya bahwa apa yang kita tulis itu memang punya alasan untuk disebut puisi. Kalau pembaca tak menerima, berarti kita yang tidak bisa menyediakan alasan yang cukup untuk itu.
BEGITU juga kalau pembaca merasa puisi kita terlalu cepat berakhir. Mungkin saja dia benar, mungkin juga salah. Mungkin saja kita memang kurang menggali bahan yang tersedia untuk sebuah puisi kita. Mungkin saja kalau kita panjangkan lagi, puisi itu malah jadi tidak kompak. Isinya malah berceceran. Beberapa puisi pendek populer bisa kita beri contohnya di sini. Puisi yang panjang, cari saja sendiri contohnya.[hah]
Contoh 1.
Malam Lebaran
Sajak Sitor Situmorang
Bulan di atas kuburan.
Contoh 2.
Luka
Sajak Sutardji Calzhoum Bachri
Ha ha!
Contoh 3.
Tuan
Sajak Sapardi Djoko Damono
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
Contoh 4.
Kepada Puisi
Sajak Joko Pinurbo
Kau adalah mata, aku airmatamu.
PUISI bebas tidak punya batasan panjang. Namanya juga bebas. Satu baris boleh. Satu kata saja pun boleh. Mau panjang? Tentu boleh juga. Ada lho puisi yang menghabiskan sembilan halaman buku.
TIDAK menulis apa-apa juga bisa disebut puisi. Beri judul lalu isikan saja titik-titik pada isinya. Asal judulnya cocok, bisa saja orang percaya bahwa apa yang kita tulis itu memang punya alasan untuk disebut puisi. Kalau pembaca tak menerima, berarti kita yang tidak bisa menyediakan alasan yang cukup untuk itu.
BEGITU juga kalau pembaca merasa puisi kita terlalu cepat berakhir. Mungkin saja dia benar, mungkin juga salah. Mungkin saja kita memang kurang menggali bahan yang tersedia untuk sebuah puisi kita. Mungkin saja kalau kita panjangkan lagi, puisi itu malah jadi tidak kompak. Isinya malah berceceran. Beberapa puisi pendek populer bisa kita beri contohnya di sini. Puisi yang panjang, cari saja sendiri contohnya.[hah]
Contoh 1.
Malam Lebaran
Sajak Sitor Situmorang
Bulan di atas kuburan.
Contoh 2.
Luka
Sajak Sutardji Calzhoum Bachri
Ha ha!
Contoh 3.
Tuan
Sajak Sapardi Djoko Damono
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar,
saya sedang ke luar.
Contoh 4.
Kepada Puisi
Sajak Joko Pinurbo
Kau adalah mata, aku airmatamu.
Friday, October 15, 2004
[Ruang Renung # 95] Puisi yang Tak Bisa Diulangi
ADA puisi yang begitu uniknya, hingga keunikan itu abadi menjadi miliknya sendiri. Sayang rasanya mengulang bentuknya dengan ide isi yang lain - sayang puisi baru itu, sayang juga puisi yang unik itu. Saya kira ini adalah salah satu bentuk dari sebuah puisi yang berhasil. Puisi yang unik seperti itu, kepada kita ia menantang: ayo, cari keunikan lain dari puisi yang hendak kau tulis, buktinya si penyair yang menulis saya sudah berhasil menemukan saya!
INI salah satu contoh puisi yang unik seperti itu. Apa keunikan puisi ini? Silakan temukan sendiri. Kalau menemukan saja kita tidak mampu, apatah lagi mau menciptakan keunikan lain!
Peristiwa Pagi Tadi
Sajak Sapardi Djoko Damono
             kepada GM
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor
     tentang seorang lelaki yang terlanggar motor wakt menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang
     sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, mem-
     bentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang
     terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu
     diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah
     jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai
     di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita kepadaku tentang peristiwa
     itu.
SUDAH ketemu?[hah]
INI salah satu contoh puisi yang unik seperti itu. Apa keunikan puisi ini? Silakan temukan sendiri. Kalau menemukan saja kita tidak mampu, apatah lagi mau menciptakan keunikan lain!
Peristiwa Pagi Tadi
Sajak Sapardi Djoko Damono
             kepada GM
Pagi tadi seorang sopir oplet bercerita kepada pesuruh kantor
     tentang seorang lelaki yang terlanggar motor wakt menyeberang.
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang
     sahabatmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, mem-
     bentur aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan.
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang
     terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu
     diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah
     jam sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai
     di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita kepadaku tentang peristiwa
     itu.
SUDAH ketemu?[hah]
Subscribe to:
Posts (Atom)