Sausalito, Singapura
dan Bintan Art Festival
Hasan Aspahani
Ketua I Dewan Kesenian
Kepulauan Riau
SAUSALITO, sebuah kota kecil di negara bagian California, Amerika Serikat bertukar rupa setiap jatuh perayaan Hari Buruh. Seniman dan penikmat seni beradu daya cipta di sana. Kreasi seni dan kerajinan kelas dunia dipamerkan. Perayaan seni bertajuk Sausalito Art Festival yang digelar sejak 1952 itupun telah dikunjungi lebih dari satu juta pengunjung.
Sausalito pun berkembang menjadi kota seni internasional yang mahsyur. Kota yang terletak di utara Jembatan Golden Gate itu terletak di Teluk San Francisco. Pada lansekap kota yang menghala laut berjajar galeri dan kedai seni bersejarah. Kolektor pun berdatangan ke sana.
Membayangkan keindahan kota itu Saya teringat sajak Taufik Ismail “Trem Berkelenengan di Kota San Francisco” …. Percintaan bulan dengan lekuk-lekuk tubuhmu semacam percintan anak-anak muda yang garang kemudian dilukiskan oleh pelukis-pelukis kubistis.
Kesana pula para seniman terbaik Amerika dan dari berbagai belahan dunia membuktikan kepiawaian. Setiap kali festival digelar maka lebih dari 20 ribu karya seni orisinal serta merta meriuhkan kota itu. Festival ini benar-benar sebuah perayaan seni. Dari seni lukis, seni patung, keramik, perhiasan, seni fiber, kristal, cukil kayu, media campuran hingga fotografi.
Dari seni yang fungsional hingga yang surealis. Dari seni yang praktis hingga yang dekoratif. Itulah yang diburu para kolektor yang gila seni dan tahu nilai seni. Jangan harap akan menemukan benda serupa di festival lain. Jangan harap pula seniman yang meramaikan festival itu membuat karya serupa. Kurasi pameran ini tampaknya berstandar ketat.
Sausalito Art Festival menjadi kian unik karena saat itu seniman membuka diri bagi penikmatnya. Ini kesempatan interaksi yang langka. Tak cukup itu sepanjang festival berlangsung ada hiburan yang tak putus digelar di tiga panggung besar plus hidangan paling nikmat dengan sampanye dan anggur pilihan.
Itulah sekilas gambaran tentang Bintan eh maksud saya Sausalito Art Festival (SAF). Menyanding dan menanding Bintan Art Festival (BAF) dengan SAF memang bukan pekerjaan pantas. BAF tahun ini baru yang keempat kali digelar. Sedangkan SAF sudah 52 kali dilaksanakan.
Saya belum pernah berkunjung ke SAF itu. Tapi lihatlah bagaimana mereka mempersiapkan. Untuk acara yang kelak digelar bulan September tahun depan, sudah diluncurkan sebuah situs resmi lengkap dengan jadwal dan siapa saja yang tampil. Sangat terencana, teramat tertata.
***
Tapi biarkanlah saya bermimpi, entah pada pelaksanaan BAF yang keberapa nanti Bintan pun bermandikan cahaya. Beberapa hari, Bintan seperti mandi cahaya. Beberapa hari seni benar-benar dirayakan. Seniman terpilih dengan karya terbaik berbondong-bondong datang. Kolektor seni nasional dan mancanegara merasa tak sah menyebut diri sebagai kolektor jika tak setor batang hidung.
Buku-buku sastra diterbitkan. Puisi-puisi terbaik dibacakan sang penyair. Ada workshop dengan diskusi yang antusias. Ada transaksi jual beli benda-benda seni yang menyumbangkan besar pada penghasilan daerah. Tari-tari gubahan baru digelar. Seni-seni tradisional dibangkitkan, diberi pemaknaan baru, disegarkan lagi.
Biarkan saya terus bermimpi. Penerbangan ke Provinsi Kepri jadi begitu sibuk. Hotel-hotel penuh pengunjung. Angkutan laut pun jadi seperti kekurangan trip keberangkatan. Seperti SAF yang digelar tiap liburan Hari Buruh, BAF pun ditetapkan sebagai "hari libur". Mungkinkah mimpi ini terwujud? Mari kita jawab bersama: kenapa tidak!
Atau biarkan saya bermimpi. Saya ingatkan sebait sajak “Di Tangan Anak-anak” karya Sapardi Djoko Damono, “Tuan jangan kau ganggu permainanku ini.”
***
Sementara itu berita ini bukan lagi mimpi. Negeri jiran terdekat kita Singapura pada bulan Februari hingga April tahun depan menggelar festival seni juga.
Bukan di Singapura tapi di Inggris. Festival itu diberi tajuk "Singapore Season". Apa yang ditampilkan kurang lebih sama, yakni musik, teater dan tari. Singapura berharap pelancongan ke negeri mereka bisa digenjot dengan festival itu. Dan bila sukses, sudah pula dicadangkan acara serupa digelar di India dan Cina.
Tapi ini bukan kerja seketika. Sepuluh tahun terakhir, Singapura sudah menginvestasi dana setara Rp5 triliun lebih khusus untuk membina kemajuan seni di negeri mereka. Pencapaian selama pembinaan sepuluh tahun itulah yang hendak ditampilkan dalam festival di seberang lautan itu. Saya ingat ada gadis muda melintas bergegas di depan sebuah hotel di singapura dengan menenteng biola. Mungkin dia ikut tampil dalam festival itu.
Saya tak berani bermimpi, hanya mencoba menghitung-hitung. Dengan dana sejumlah Rp5 triliun itu berarti per tahun teranggarkan dana Rp500 miliar. Atau Rp41 miliar lebih per bulan. Atau Rp1.4 miliar per hari! Saya tak berani bermimpi karena anggaran BAF tahun ini hanya Rp115 juta.***