HARUSKAH seorang penyair punya "keterampilan" melisankan puisi sendiri? Tadinya saya berpikir tidak harus. Tadinya saya berpikir, "saya tidak berdosa apabila saya tidak pandai membacakan atau melisankan puisi saya sendiri di depan orang lain." Tadinya saya punya alasan kuat, alasan yang saya kutip dari penyair lain, "buat apa saya menuliskan puisi, kalau kemudian saya harus membacakannya untuk orang lain? Mereka kan bisa membaca sendiri?"
Tadinya saya takut, kalau saya berpikir puisi saya kelak dislisankan, maka ketika menulis puisi saya jadi terlalu mematut-matutkan kata untuk tujuan itu. Tadinya saya khawatir wilayah eksplorasi saya menjadi sempit kalau saya hanya membuat puisi untuk ditampilkan. Tadinya begitu.
Tapi sekarang saya punya pikiran lain. Potensi puisi untuk dilisankan menarik juga untuk dijelajahi. Tardji, Rendra, Taufik Ismail adalah mereka yang melaju di jalur itu. Jadi, tak ada bedanya menulislah puisi sebaik-baiknya, apakah untuk dibaca sambil tiduran di kamar, ataukah untuk dilisankan di panggung-panggung pertunjukan.