/1/
"Hidup itu seperti perahu," kata penyair sok tahu,
"Usia dihabiskan dari pelabuhan ke pelabuhan."
"Hidupku adalah perahu," kata tukang perahu,
"Hidupku adalah laut. Kau tahu? Dan pelayaran
dari tambatan ke tambatan. Tak bersudahan."
/2/
Wahai, Tukang Perahu, pernahkah engkau bosan?
"Pernah, ketika itu saya ingin sekali, ada seseorang
yang minta diantarkan ke tempat yang tak berpelabuhan,
ke tempat di mana laut dan perahu tak bisa dipisahkan."
Wahai, Tukang Perahu, pernahkah engkau kelalahan?
"Aku sebenarnya ingin menjadi ikan. Yang tak pernah
letih berenang. Aku sebenarnya ingin seperti ikan. Yang
tubuhnya adalah perahu. Siripnya adalah kayuh dan kemudi.
Aku sebenanya ingin sekuat ikan. Yang tak pernah merisaukan
angin, yang tak pernah mengenal bertambat atau bertolak,
yang tak pernah rindu pada damai pelabuhan.
/3/
Tukang Perahu tua, perahu yang tua.
Di haluan dan buritannya tertinggal kenangan.
Bocah-bocah sekolah yang dulu jadi langganan.
Yang dulu suka duduk di buritan, kabarnya
kini sudah menjadi pegawai pemerintahan.
Yang suka berdiri di haluan, sudah jadi
bandar bahan bakar, jadi seorang juragan.
Yang suka duduk menghadap ke belakang,
konon jadi penyair besar teramat kondang.
/4/
Lalu tibalah, sebuah senja. Seperti saat yang
sudah lama dinantikannya. Datanglah seorang
lelaki setua dirinya, setua Tukang Perahu tua.
"Mau kemana, Saudara? Saya sudah mau pulang,
sudah senja. Sebaiknya kau kuantar besok
pagi saja," katanya seramah ia bisa.
"Justru aku yang ingin mengantarkanmu. Anda tenang
saja. Anda yang jadi penumpang saya. Istirahatkan saja
perahu tua. Istirahatkan saja......"