kimka: Jelas ia bukan untuk membalut luka, padahal tetes
       darah ini terus saja, minta dibebat minta diseka. Ia
       jelas bukan untuk menghapus air mata, padahal tangis
       ini mungkin saja bisa terseka oleh wangi tubuhmu yang
       kubayangkan ada pada halus seratnya yang berbunga-bunga.
kintaka: Akhirnya luka dan airmata itu semakin lengkap semakin
       sempurna. Tersimpan beruturan sejak kemarin, esok dan hari
       depan. Akhirnya luka dan airmata itu tersimpan rapi dalam
       kenang dalam renung. Dalam bayang dalam tenung.
       Dalam senang dan dalam murung. Kau tegas memberi tanda,
       pada tiap lembar halaman-halaman yang selalu kubaca juga.
kirana: Aku hanya berharap ada terang yang datang. Mungkin bukan
       dari sinar tubuhmu, bukan cahaya matamu. Sebab aku tak berharap
       lagi, sejak kelam mataku bisa membaca setiap nestapa dalam
       gelap yang paling hitam, dalam hitam yang paling pekat. Aku
       hanya berharap ada terang yang datang, pecah dalam kelopak,
       ketika kubuka dan kupejamkan mata.
kirah: Tetapi harapan itu katamu, adalah buah mentah yang harus
       ditunggu. Tetapi menunggu itu kataku, adalah satu-satunya
       alasan bagiku untuk tidak beranjak dahulu dari rindang pohon
       yang menawarkan sebuah bangku: aku duduk bersama teduhnya,
       bersama jatuh dedaunannya. Tetapi akulah kelelawar, katamu,
       yang mencuri buah mentah sebelum ia matang dan jatuh
       ke tadah tanganmu. Tetapi, aku memang hanya ingin menunggu,
       kataku, tak peduli apakah kau hewan pengerat atau hantu.