: Harry Roesli
"Ajari aku main gitar. Gitar tanpa senar..."
Aku tak pernah bisa main gitar. Aku selalu kagum
kepada siapa saja yang pandai memadukan
kelihaian tangan: yang kanan memetik senar, yang
kiri memencet ruang bar, lalu mengalun suara yang
bukan sekedar gencreng-gencreng, bukan hingar-bingar.
Aku ini sebenarnya cuma gelandangan. Maka, karena aku
tahu kau orang yang tidak pernah mencumakan anak-anak
yang dilahirkan dan hidup di jalanan, kepadamu aku minta
diajari main gitar. Gitar tanpa senar. Aku mau menyanyi,
lagu Garuda Pancasila, dan negeri yang belum maju-maju.
"Ajari aku main teater. Teater tanpa skenario..."
Aku percaya pada kejujuran lakonanmu. Sementara,
begitu sempurna sandiwara dimainkan di negeri ini.
Aku percaya pada niat tulus pertunjukanmu. Meskipun,
begitu banyak sutradara gadungan yang tak pernah
berhenti curiga dan menakut-nakuti kami para penontonmu.
Aku sabar menunggu pelajaran di depan kelas panggungmu. Walau, banyak guru palsu yang merasa paling pintar
membodohi kami murid-murid negeri sakit ini.
"Ajari aku menulis kesaksian. 300 halaman tanpa tulisan..."
Agar aku kelak bisa mengisi halaman-halaman kosong itu.
Sehalaman pun jadi, sehuruf pun semoga ia berarti.