Memang benar sih sajak akan lebih bermakna dan indah kalau ia dibiarkan bercerita tentang keadaan atau situasi sendiri tanpa harus diverbalkan. Tetapi saya kok sering sekali masih tergoda untuk menuliskannya. Masalahnya ketika aku menulis sajak aku selalu berkata sebagai seorang yang bercerita dan sering tidak bisa melepaskan dari menuliskan keadaan itu. Adakah cara berlatih agar tidak tergoda lagi. [Randiananto - di buku tamu SEJUTA PUISI]
Ya itu masalahnya. Kita tidak harus selalu menempatkan diri kita sebagai orang yang bercerita kepada pembaca. Kita bisa membayangkan ada dua orang - kita dan entah siapa - yang sedang bercakap-cakap dan puisi merekamnya. Kita bisa membayangkan kita adalah orang lain yang sedang mengamati diri kita sendiri, dan ke dalam puisi pengamatan itu dicatatkan. Kita bahkan bisa menempatkan diri kita sebagai batu, angin, air, atau apa saja. Kita bisa keluar masuk diri kita sendiri. Atau bahkan kita bisa bukan apa-apa dalam puisi kita. Kita bisa jadi dalang sekaligus wayang dan sesekali jadi penonton dalam pertunjukan puisi kita sendiri.
Tetapi, ketika kita hanya ingin bercerita lewat puisi, toh itu juga bukan perkara terlarang. Hanya berceritalah dengan memberdayakan semaksimalnya seluruh perangkat puisi yang mungkin kita pakai.
Ayo kita berlatih. Saya setelah ini juga dirudung risau dan sedang dituntut mengamalkan omongan saya di atas.[hah]