Hampir semua orang di negeri itu
pernah dipotretnya, baik yang baru mati,
atau yang baru lahir. Baik yang baru nikah
atau pun yang baru saja jadian. "Buat kenang-kenangan...
Siapa tahu, besok jadi orang gedean. Kan foto-foto ini
bisa dilampirkan..." begitulah kalimat para pelanggan
yang selalu diucapkan.
Dia mengangguk-angguk saja,
sama sekali tanpa beban, tanpa keinginan.
Beberapa pelanggan, akhirnya memang jadi orang gedean,
bikin buku biografi dan foto jepretannya ikut dicantumkan.
Dengar-dengar ada juga yang jadi calon presiden.
Sayang, namanya tidak dicantumkan, d bawah foto cuma
dituliskan: dokumen pribadi. "Ah, tak apa, saya toh
cuma seorang tukang foto keliling, bukan?"
Dia mengangguk-angguk saja,
tanpa gugatan, sama sekali tanpa keberatan.
Di era informasi ini, si tukang foto keliling makin sepi pelanggan.
orang-orang lebih suka memotret dengan kamera digital, "biar gampang,
kalau mau dikirim lewat e-mail, tak perlu lagi repot di-scan...."
Begitulah, kalimat para pelanggan
yang dipakai sebagai kalimat penolakan.
Dia mengangguk-angguk saja,
sepenuhnya mengerti, menerima perubahan zaman.
Yang bikin si tukang foto bersedih adalah soal warisan.
Soalnya, tak ada seorang pun anaknya yang mau meneruskan.
Anak-anaknya ada yang jadi perawat di klinik bersalin,
ada yang bekerja di kamar mayat, ada juga yang menjadi
penjaga perpustakaan. Maka, setiap kali melihat kamera tuanya,
si tukang foto selalu dibuat geleng-geleng kepala.....
Akhirnya, sampai juga azal menjemput si tukang foto tua,
Pelanggan-pelanggannya ramai datang melayat. Anak-anaknya,
pun berkumpul membicarakan harta peninggalan. Kamera
tua diputuskan untuk dimuseumkan.
Sementara itu ribuan foto pelayat yang dipernah dijepret
dibagikan sebagai souvenir terakhir, tanda perpisahan.
Dan yang membuat mereka tersentak adalah ternyata selama ini,
si tukang foto itu tak pernah memotret dirinya sendiri.