Baca ini:
puntung rokok mengepung sepatuku
asap masih tebal mengawan di mataku
aku berharap kau yang menawarkan api
ketika batang terakhir kupersiapkan lagi
Bandingkan dengan ini:
Sudah sebungkus rokok kuhabiskan
puntung rokok bertebaran
mataku pun pedih karena asap
tapi kau belum juga datang,
aku masih sabar menunggu, dengan
sebatang rokok terakhirku.
MARI kita lihat kenapa puisi yang pertama lebih bernilai daripada yang kedua. Tema kedua puisi sama: kesabaran si aku menunggu si engkau, seseorang itu. Puisi yang pertama berhasil membangun suasana menunggu itu dengan pilihan kata yang nyaris sama dengan puisi kedua. Ada puntung rokok, asap. Tetapi pada puisi yang pertama tak ada satupun terucap kata menunggu itu sendiri. Di situlah letak kelebihannya. Tema itu dibangun suasananya sehingga bisa dirasakan oleh pembaca tanpa harus diverbalkan.
KITA masih bisa mengggali lebih banyak kesimpulan dari dua bait puisi pertama itu. Dari baris ... puntung rokok mengepung sepatuku..... kita bisa simpulkan bahwa si aku dalam puisi itu adalah orang yang sabar (lagi-lagi tanpa harus menghadirkan kata itu seperti dalam puisi kedua). Sabar, tapi kesedihan juga diam-diam hadir terasakan dari baris ...asap masih tebal mengawan di mataku. Tetapi si aku masih menunggu, masih mau bertahan, masih berharap si engkau itu datang. Meskipun mungkin itu harapan terakhir. Tersirat dari baris penutup ....ketika batang terakhir kupersiapkan lagi. Ada ironi di baris itu. Ironi antara kata "terakhir" dan "kupersiapkan lagi".
PUISI kedua juga sedikit bermain-main dengan bunyi. Ada upanya menyamakan bunyi di ujung baris. Upaya yang tidak sia-sia. Karena dengan itu, seluruhnya menjadi lebih puisi. Karena perangkat-perangkat puisi, sebagian sudah dipakai dalam puisi dua bait empat baris itu. Itu yang membuatnya lebih dalam bermakna dibandingkan puisi kedua.[hah]